[iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik > (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa > meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi > Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan > fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias > dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih, > apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang > sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan > sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil > pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda > kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom). > Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali > posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya > dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan > apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient > DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh > metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan > karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau > sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang > sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak, > diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di > mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut > suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak, > rambutnya siapa. > > Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke > klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita > beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme > tertentu yang kami anggap salah letak. > > Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali > masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing > penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA > utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga > kalau pun kita membangunkan kembali dinosaurus, > mimpinya masih sangat jauh, karena kita harus tau > pasti the whole sekuens dari genom dinosaurus. Kalau > pun sudah tahu, living organism itu sangat kompleks, > dan tidak sama dengan bakteri yang one gene one > product. Pada eukariot itu one product could be > expressed by multigenes, even hundred of genes. > > > > --- Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > WOW sangat menarik DNA on Fossil > > > > Kalau saja DNA ini terpreserved sangat bagus di > > alam, tentunya > > perkembangan teori evolusi dsb bisa lebih jelas. > > Studi mengenai DNA > > pada fossil ini sudah berjalan beebrapa waktu > > silahkan klick : > > http://www.mhrc.net/ancientDNA.htm > > Abstract dari studi-studi inipun sepertinya > > "menjanjikan" pencerahan > > dimasa datang. > > Nantinya kalau DNA dapat dipakai utk menentukan umur > > ... huebatt deh. > > Saat ini memang kebanyakan masih berada di dunia > > riset, belum nyampai > > ke bisnis. Kecuali bisnis Science Fiction Movie ... > > but it's a good > > dream > > > > RDP > > On 2/7/06, [EMAIL PROTECTED] > > <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > ini ada pendapat dari teman yang bekerja banyak di > > dna . barangkali > > > memang perlu biomoleculair untuk bidang geologi: > > > salam > > > widya > > > __ > Do You Yahoo!? > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around > http://mail.yahoo.com > -- --Writer need 10 steps faster than readeR -- - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
RE: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Baguslah kalau ahli evolusi (biota) mau crita evolusi itu. > Sejauh ini filogenetik (berdasarkan > sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di > biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan > fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias dan memerlukan > orang-orang yang sangat terlatih, apalagi untuk membedakan > spesies-spesies kriptik (yang sulit dibedakan secara morfologi). Akan > tetapi dengan sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil > pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda kalau bicara soal > nanomolecular, ngomongin atom-atom). Kecuali dengan pengukuran dengan atom, maka DNA lebih bagus resolusi pemeriannya di banding alat ukur lain. Mestinya memang ada korelasi antara ketelitian dengan resolusi alat ukurnya. Semakin tinggi frekwensinya, maka resolusi semakin bagus. Gelombang elektromagnite, dari terendah misalnya frekwensi 10^-20 hz, ditulis E-20 Hz, sebagai Universe E+26 meter, hingga gamma-ray, E+24 Hz, E-16 meter. Ini meliputi gelombang radio, tv, inframerah, pelangi, ultraviolet, x-ray, gammaray. Ukuran dari terkecil ke besar kelipatan 10'an: atom 0.3-0.6 nm, DNA 3 nm, virus (procaryote, ecuariote) 11 nm, gen 140 nm, pelangi 300-700 nm atau clay, silt, finesand, coarsesand, pebble, cobble, block atau human, ... Ada unsur ukuran pengukur itukan dalam ketelitian pemerian umur benda ? Salam, MAR. -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, February 08, 2006 9:41 AM To: Trina Tallei; iagi-net@iagi.or.id Cc: Widya Utama Subject: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik (berdasarkan > sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di > biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan > fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias dan memerlukan > orang-orang yang sangat terlatih, apalagi untuk membedakan > spesies-spesies kriptik (yang sulit dibedakan secara morfologi). Akan > tetapi dengan sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil > pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda kalau bicara soal > nanomolecular, ngomongin atom-atom). > Nah yang kami lakukan adalah menempatkan - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi. Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei wrote: > Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik > (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa > meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi > Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan > fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias > dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih, > apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang > sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan > sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil > pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda > kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom). > Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali > posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya > dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan > apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient > DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh > metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan > karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau > sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang > sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak, > diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di > mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut > suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak, > rambutnya siapa. > > Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke > klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita > beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme > tertentu yang kami anggap salah letak. > > Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali > masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing > penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA > utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga > kalau pun kita membangunkan kem
Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Teman2, Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA. Wassalam, Yahdi Zaim Prodi Teknik Geologi KK Geologi dan Paleontologi FIKTM - ITB - Original Message - From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> To: ; <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi. Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei wrote: Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taks
Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Thor Heyerdahl, anthropologist Norwegia unik itu, sekitar pertengahan abad lalu sengaja membuat rakit bernama Kon-Ti-Ki dan bersama teman2nya menyebrangkan rakit itu dari Amerika Selatan melintasi Samudra Pasifik dan berhasil mencapai Fiji. Heyerdahl berhasil membuktikan hipotesisnya bahwa orang2 Fiji dan Oseania sekitarnya berasal dari suku Indian di Amerika Selatan. Tetapi, teori Heyerdahl itu kini sudah tak dianut orang lagi. Orang2 Oseania bukan berasal dari timur, tetapi justru dari barat, dari Asia Timur. Buktinya mengalir bak sungai deras : aliran bukti renik biomolekuler DNA ! Biomolekuler DNA sudah memetakan penyebaran seluruh ras manusia atau hominid di 5 atau 6 juta tahun terakhir. Begitu kuat biomolekuler ini menjadi aalat analisis dalam paleo-antropologi. Migrasi makhluk hidup, termasuk vertebrata masa lalu, bisa diketahuinya, seperti kata Pak Zaim. Di bawah ini kesimpulan2 yang sedang dipegang kebanyakan para ahli paleo-antropologi. Meskipun kesimpulan ini mengundang banyak sanggahan yang keras selama dua dasawarsa terakhir, sebagian besar ahli genetika dan paleoantropologi kini menerima kesimpulan2 tsb. dengan beberapa catatan (mis : Jorde et al., 1998 : Using mitochondrial and nuclear DNA markers to reconstruct human evolution, BioEssays 20, 1998, p. 126-136). Ini kesimpulan2 dari analisis DNA. - sekitar 6 Ma : populasi kera Afrika membelah jadi dua spesies : simpanse moderen dan hominid (setelah melalui beberapa spesies penengah dan perantara) - sekitar 4 Ma : hominid menjadi bipedalitas (berjalan dengan dua kaki), genus Australopithecus - transisi vertikal spesies ini sangat penting dalam evolusi manusia - sekitar 2 Ma : muncul spesies yang punya daya menggunakan bebatuan dll di alam menjadi peralatan : inilah Homo erectus -sekitar 0.2-0.1 Ma : muncul Homo sapiens, manusia moderen yang menurunkan manusia saat ini, dan mereka mulai keluar dari Afrika ke seluruh dunia. Kita mungkin pernah melihat gambar berantai dari makhluk bungkuk seperti kera ke makhluk tegak seperti manusia sekarang, lalu kita menganggap inilah evolusi manusia. Akan tetapi, gambar tentang evolusi manusia itu salah, atau sangat tidak lengkap sehingga sungguh menyesatkan (maka bisa dimaklumi orang suka bilang bahwa evolusi mengatakan manusia itu dari kera !) Evolusi manusia bukanlah sebuah hasil lukisan yang menggambarkan perubahan langsung dari makhluk tingkat rendah ke tingkat tinggi. Evolusi manusia adalah sebuah jaringan jalan yang ruwet dan berliku-liku, berputar-putar, dengan ujung-ujung jalan yang buntu dan arah-arah yang berubah2. Banyak fosil yang semula kita duga milik leluhur kita mungkin memperlihatkan eksperimen evolusi yang gagal - garis-garis keturunan beragam jenis manusia yang tidak mampu bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mungkin adalah produk dari sebuah proses seleksi tanpa jeda, sebuah "trial by extinction" Itu sedikit tentang bagaimana penguraian sekuen DNA mitokondria sampai ke penguraian evolusi manusia - sepenuhnya masih bisa diperdebatkan, tentu ! salam, awang Yahdi Zaim <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Teman2, Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA. Wassalam, Yahdi Zaim Prodi Teknik Geologi KK Geologi dan Paleontologi FIKTM - ITB - Original Message - From: "Awang Satyana" To: ; Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta > Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram > ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar > diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran > stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung pol
Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
-- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka argumenasi bisa lebih terarah. Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp. 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented. Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau punya alat sekuensing (yang mahal harganya). Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap bagi kami molecular biologist, punya genetic marker untuk menentukan masing-masing kedudukan living organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik) dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang namanya bioinformatics yang urusannya membantu para ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman genetiknya bagaimana dan lain-lain. Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in using DNA sequence for your own research, it is up to you, folks. wassalam, Trina > Original Message > > Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: > -- > > Teman2, > > Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang > analisis DNA untuk fosil > polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut > ilmu pengetahuan hal > tersebut ya sah-sah saja. > Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut > saja paleo-DNA untuk > fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari > fosil Bovidae (kelompok > kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah > dari Formasi Kabuh, > Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara > megaskopis sangat > sedikit mengalami ubahan ataupun proses > mineralisasi, karena untuk > analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang > penting adalah > kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. > Analisis saya lakukan di > Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) > Biologi ITB, yang > alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak > Jepang, kalau tidak > salah dari University of Nagoya. Sayang tidak > berhasil, karena ternyata > yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 > sedikit bahkan dapat > dikatakan sudah hilang akibat proses > ubahan/mineralisasi dan impurities > yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya > sayang sekali, karena > tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan > fosil yang saya > analisis tersebut melalui paleo-DNA. > > Wassalam, > > Yahdi Zaim > Prodi Teknik Geologi > KK Geologi dan Paleontologi > FIKTM - ITB > > > - Original Message ----- > From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> > To: ; > <[EMAIL PROTECTED]> > Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM > Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: > [iagi-net-l] > Biostra
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah > dari Formasi Kabuh, > Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara > megaskopis sangat > sedikit mengalami ubahan ataupun proses > mineralisasi, karena untuk > analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang > penting adalah > kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. > Analisis saya lakukan di > Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) > Biologi ITB, yang > alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak > Jepang, kalau tidak > salah dari University of Nagoya. Sayang tidak > berhasil, karena ternyata > yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 > sedikit bahkan dapat > dikatakan sudah hilang akibat proses > ubahan/mineralisasi dan impurities > yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya > sayang sekali, karena > tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan > fosil yang saya > analisis tersebut melalui paleo-DNA. > > Wassalam, > > Yahdi Zaim > Prodi Teknik Geologi > KK Geologi dan Paleontologi > FIKTM - ITB > > > ----- Original Message ----- > From: "Awang Satyana" > To: ; > > Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM > Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: > [iagi-net-l] > Biostratigraphi di shelf atau delta > > > > Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu > spesies pollen atau foram > ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui > spesiesnya agar > diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk > membantu penafsiran > stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang > mengandung polen itu. > > > > Kalau sang palinologist sudah tahu itu > Florschuetzia trilobata yang biasa > > hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang > biasa hidup di 25-10 Ma, > dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia > untuk Recent taxa > sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, > 1977), apakah perlu > mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau > diambil selain > identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa > mengurai kode2 > genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. > > > > Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat > informasi yang > > menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG > (adenin, timin, > sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat > variasi sekuen yang > jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma > atau telur misalnya > bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, > semaju sekarang pun > biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya > mirip > "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita > tak memahami bahasa > mereka. > > > > Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita > perlu menggali lebih banyak > > info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - > manusia. Mengenal manusia > tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi > untuk > mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan > melibatkan DNA, padahal > tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya > sih berlebihan, > sementara kita pun belum bisa menguraikan kode > miliaran kombinasi > sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui > seluruh aspek kehidupan > Florschuetzia > > meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana > hidupnya, perkawinan2 yang > pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, > yah memang mengurai > sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan > sebab itu tak bisa > diperoleh dari sekedar deskripsi. > > > > Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA > adalah alat utama di > > biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya > berhubungan dengan satu > spesies : manusia (atau hominid), sementara kita > ingin menggali banyak > informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin > mengenal spesies dari > puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah > cukup. > > > > salam, > > awang > > > > Rovicky Dwi Putrohari wrote: > > Dear Trina, > > Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga > dilakukan di Indonesia ? > Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. > Tetapi mereka > menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai > ke fossil, > > tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. > Namun masih manual, > belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? > > > > Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi > DNA masih relatip > mahal (100-200 ribu rups ini harga utk > kebutuhan klinis looh (Rumah > Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih > impor. Saya ngga tau > apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat > didalam negeri yg > mungkin lebih ekonomis. > > > > Kalau boleh Trina cerita
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Memang ujungnya harus dibedakan antara perlu dan ingin... Mirip bikin logging program, inginnya sih semua di run supaya ada overlap data yang bisa dipakai konfirmasi, tapi khan tidak perlu se-ideal itu... bisa-bisa AFEnya gak lolos he he he Namun sebagai riset dasar, kenapa tidak...? salam, - Original Message - From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> To: ; <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Thursday, February 09, 2006 6:54 PM Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] > Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. > > Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. > > Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of Tropical Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). > > Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. > > salam, > awang > > Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > -- Forwarded message -- > -- > > Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya > kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa > DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah > yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan > PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens > DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita > amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik > primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan > kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, > sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai > adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun > yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya > nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak > teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, > dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau > alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu > seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita > bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. > > Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa > tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis > molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap > rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti > yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya > argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka > argumenasi bisa lebih terarah. > > Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di > Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di > Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp. > 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented. > Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali > running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang > sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for > Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu > Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau > punya alat sekuensing (yang mahal harganya). > > Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 > pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing > kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap > bagi kami molecular biologist, punya genetic marker > untuk menentukan masing-masing kedudukan living > organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam > sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable > (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan > oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan > untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik) > dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat > terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di > atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang > namanya bioinformatics yang urusannya membantu para > ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan > kemudian menempatkan masing-masing ke
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
sing itu Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau punya alat sekuensing (yang mahal harganya). Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap bagi kami molecular biologist, punya genetic marker untuk menentukan masing-masing kedudukan living organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik) dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang namanya bioinformatics yang urusannya membantu para ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman genetiknya bagaimana dan lain-lain. Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in using DNA sequence for your own research, it is up to you, folks. wassalam, Trina > Original Message > > Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: > -- > > Teman2, > > Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk > fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu > pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. > Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA > untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae > (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari > Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara > megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses > mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya > yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. > Analisis saya lakukan di > Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang > alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau > tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena > ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit > bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi > dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang > sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan > fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA. > > Wassalam, > > Yahdi Zaim > Prodi Teknik Geologi > KK Geologi dan Paleontologi > FIKTM - ITB > > > ----- Original Message ----- > From: "Awang Satyana" > To: ; > > Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM > Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: > [iagi-net-l] > Biostratigraphi di shelf atau delta > > > > Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu > spesies pollen atau foram > ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar > diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran > stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen > itu. > > > > Kalau sang palinologist sudah tahu itu > Florschuetzia trilobata yang biasa > > hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang > biasa hidup di 25-10 Ma, > dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa > sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah > perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain > identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 > genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. > > > > Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat > informasi yang > > menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG > (adenin, timin, > sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang > jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur > misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju > sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip > "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa > mereka. > > > > Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita > perlu menggali lebih banyak > > info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - > manusia. Mengenal manusia > tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk > mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal > tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, > sementara kita pun belum bisa menguraikan kode mil
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,low-stand. Mar, Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Salam, US -Original Message- From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Dugaan saya, pembentukan evolusi "life" dengan analisa DNA akan lebih bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai. Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu. Memang mahal sekali ya ? Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia (80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys, merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika, Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus 7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700 tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD, 1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum, low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ? Salam, Maryanto. -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of Tropical Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis moleku
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Asyiiik, ada Pak Ukat komentar. Bagus. > Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. > Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. > Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Apa ada data yang menunjangnya Pak Ukat? Minta datanya dong. Apa skala pereodenya sama pada tiap analisa ? Misal 7 annum, 70 a, 700 a, 7 Ka, , 70 ka, ..., 7 Ma, 70 Ma, 700 Ma. Juga seberapa simpangan (error) pengukurannya ? Wassalam, maryanto. -Original Message- From: Ukat Sukanta [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:32 AM To: [EMAIL PROTECTED] Cc: iagi-net@iagi.or.id Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,low-stand. Mar, Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Salam, US -Original Message- From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Dugaan saya, pembentukan evolusi "life" dengan analisa DNA akan lebih bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai. Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu. Memang mahal sekali ya ? Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia (80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys, merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika, Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus 7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700 tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD, 1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum, low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ? Salam, Maryanto. -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of Tropical Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi men
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New Guinea" GSA Special Paper 400. Kebetulan saya salah satu Authornya, model tektonik yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja. Salam, Ben Sapiie - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan sangat jelas keterlibatannya dalam collision. RPK - Original Message - From: "Ben Sapiie" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New Guinea" GSA Special Paper 400. Kebetulan saya salah satu Authornya, model tektonik yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja. Salam, Ben Sapiie - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) - - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Terimakasih informasi nya pak Koesoema,nanti saya minta tolong ke Sdr. Benyamin S supaya dicopy kan buat kami di Medco. Salam, Rudhy Tarigan -Original Message- From: R.P. Koesoemadinata [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, February 14, 2006 6:09 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan sangat jelas keterlibatannya dalam collision. RPK - Original Message - From: "Ben Sapiie" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] > FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New > Guinea" GSA Special Paper 400. Kebetulan saya salah satu Authornya, model > tektonik yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang > sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master > thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan > hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at > USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat > saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja. > > Salam, > > Ben Sapiie > > > - > To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id > To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id > Visit IAGI Website: http://iagi.or.id > IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ > IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi > Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina > (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id > Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) > Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) > Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) > Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau > [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) > Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) > - > - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) - - This message has been certified virus free by Medcoenergi Antivirus - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -