[iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-07 Thread Rovicky Dwi Putrohari
Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil,
tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual,
belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh
(Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya
ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam
negeri yg mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang
basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik
> (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa
> meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi
> Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan
> fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias
> dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih,
> apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang
> sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan
> sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil
> pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda
> kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom).
> Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali
> posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya
> dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan
> apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient
> DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh
> metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan
> karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau
> sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang
> sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak,
> diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di
> mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut
> suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak,
> rambutnya siapa.
>
> Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke
> klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita
> beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme
> tertentu yang kami anggap salah letak.
>
> Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali
> masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing
> penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA
> utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga
> kalau pun kita membangunkan kembali dinosaurus,
> mimpinya masih sangat jauh, karena kita harus tau
> pasti the whole sekuens dari genom dinosaurus. Kalau
> pun sudah tahu, living organism itu sangat kompleks,
> dan tidak sama dengan bakteri yang one gene one
> product. Pada eukariot itu one product could be
> expressed by multigenes, even hundred of genes.
>
>
>
> --- Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> > WOW sangat menarik DNA on Fossil
> >
> > Kalau saja DNA ini terpreserved sangat bagus di
> > alam, tentunya
> > perkembangan teori evolusi dsb bisa lebih jelas.
> > Studi mengenai DNA
> > pada fossil ini sudah berjalan beebrapa waktu
> > silahkan klick :
> > http://www.mhrc.net/ancientDNA.htm
> > Abstract dari studi-studi inipun sepertinya
> > "menjanjikan" pencerahan
> > dimasa datang.
> > Nantinya kalau DNA dapat dipakai utk menentukan umur
> > ... huebatt deh.
> > Saat ini memang kebanyakan masih berada di dunia
> > riset, belum nyampai
> > ke bisnis. Kecuali bisnis Science Fiction Movie ...
> > but it's a good
> > dream
> >
> > RDP
> > On 2/7/06, [EMAIL PROTECTED]
> > <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > > ini ada pendapat dari teman yang bekerja banyak di
> > dna . barangkali
> > > memang perlu biomoleculair untuk bidang geologi:
> > > salam
> > > widya
>
>
> __
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com
>


--
--Writer need 10 steps faster than readeR --

-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-


RE: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-07 Thread Maryanto (Maryant)

Baguslah kalau ahli evolusi (biota) mau crita evolusi itu. 

> Sejauh ini filogenetik (berdasarkan 
> sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di 
> biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan 
> fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias dan memerlukan 
> orang-orang yang sangat terlatih, apalagi untuk membedakan 
> spesies-spesies kriptik (yang sulit dibedakan secara morfologi). Akan 
> tetapi dengan sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil 
> pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda kalau bicara soal 
> nanomolecular, ngomongin atom-atom).

Kecuali dengan pengukuran dengan atom, maka DNA lebih bagus resolusi
pemeriannya di banding alat ukur lain.  

Mestinya memang ada korelasi antara ketelitian dengan resolusi alat
ukurnya. Semakin tinggi frekwensinya, maka resolusi semakin bagus.
Gelombang elektromagnite, dari terendah misalnya frekwensi 10^-20 hz,
ditulis E-20 Hz, sebagai Universe E+26 meter, hingga gamma-ray, E+24 Hz,
E-16 meter.  Ini meliputi gelombang radio, tv, inframerah, pelangi,
ultraviolet, x-ray, gammaray. 

Ukuran dari terkecil ke besar kelipatan 10'an: atom 0.3-0.6 nm, DNA 3
nm, virus (procaryote, ecuariote) 11 nm, gen 140 nm, pelangi 300-700 nm
atau clay, silt, finesand, coarsesand, pebble, cobble, block atau human,
...

Ada unsur ukuran pengukur itukan dalam ketelitian pemerian umur benda ?

Salam,
MAR.

  

-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, February 08, 2006 9:41 AM
To: Trina Tallei; iagi-net@iagi.or.id
Cc: Widya Utama
Subject: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l]
Biostratigraphi di shelf atau delta

Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya
sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum
otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah
Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau
apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg
mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi
Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic
dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik (berdasarkan 
> sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di 
> biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan 
> fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias dan memerlukan 
> orang-orang yang sangat terlatih, apalagi untuk membedakan 
> spesies-spesies kriptik (yang sulit dibedakan secara morfologi). Akan 
> tetapi dengan sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil 
> pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda kalau bicara soal 
> nanomolecular, ngomongin atom-atom).
> Nah yang kami lakukan adalah menempatkan


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-08 Thread Awang Satyana
Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui 
zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan 
lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. 
   
  Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa 
hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan 
puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat 
ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai 
sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang 
sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA 
pun. 
   
  Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. 
Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada 
komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 
kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar 
nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen 
itu hanya mirip "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita tak memahami 
bahasa mereka.
   
  Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info 
yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa 
melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil 
polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi 
spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan 
kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh 
aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana 
hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, 
yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu 
tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi.
   
  Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di 
biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu 
spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak 
informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan 
ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup.
   
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil,
tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual,
belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh
(Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya
ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam
negeri yg mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang
basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei wrote:
> Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik
> (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa
> meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi
> Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan
> fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias
> dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih,
> apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang
> sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan
> sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil
> pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda
> kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom).
> Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali
> posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya
> dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan
> apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient
> DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh
> metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan
> karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau
> sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang
> sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak,
> diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di
> mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut
> suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak,
> rambutnya siapa.
>
> Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke
> klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita
> beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme
> tertentu yang kami anggap salah letak.
>
> Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali
> masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing
> penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA
> utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga
> kalau pun kita membangunkan kem

Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-08 Thread Yahdi Zaim

Teman2,

Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil 
polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal 
tersebut ya sah-sah saja.
Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk 
fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok 
kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, 
Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit 
mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang 
diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, 
berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu 
namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama 
dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang 
tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya 
sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses 
ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. 
Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis 
keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA.


Wassalam,

Yahdi Zaim
Prodi Teknik Geologi
KK Geologi dan Paleontologi
FIKTM - ITB


- Original Message - 
From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>

To: ; <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] 
Biostratigraphi di shelf atau delta



Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar 
diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran 
stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu.


 Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa 
hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, 
dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa 
sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu 
mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain 
identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik 
yang terkunci di sekuen DNA pun.


 Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang 
menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, 
sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang 
jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya 
bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi 
molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip "celotehan-celotehan" yang 
riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka.


 Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak 
info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia 
tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi 
fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya 
identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun 
belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. 
Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia 
meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang 
pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai 
sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa 
diperoleh dari sekedar deskripsi.


 Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di 
biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu 
spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak 
informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari 
puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup.


 salam,
 awang

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
 Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil,
tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual,
belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh
(Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya
ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam
negeri yg mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang
basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei wrote:

Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik
(berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa
meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taks

Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-09 Thread Awang Satyana
Thor Heyerdahl, anthropologist Norwegia unik itu, sekitar pertengahan abad lalu 
sengaja membuat rakit bernama Kon-Ti-Ki dan bersama teman2nya menyebrangkan 
rakit itu dari Amerika Selatan melintasi Samudra Pasifik dan berhasil mencapai 
Fiji. Heyerdahl berhasil membuktikan hipotesisnya bahwa orang2 Fiji dan Oseania 
sekitarnya berasal dari suku Indian di Amerika Selatan.
   
  Tetapi, teori Heyerdahl itu kini sudah tak dianut orang lagi. Orang2 Oseania 
bukan berasal dari timur, tetapi justru dari barat, dari Asia Timur. Buktinya 
mengalir bak sungai deras : aliran bukti renik biomolekuler DNA !
   
  Biomolekuler DNA sudah memetakan penyebaran seluruh ras manusia atau hominid 
di 5 atau 6 juta tahun terakhir. Begitu kuat biomolekuler ini menjadi aalat 
analisis dalam paleo-antropologi. Migrasi makhluk hidup, termasuk vertebrata 
masa lalu, bisa diketahuinya, seperti kata Pak Zaim.
   
  Di bawah ini kesimpulan2 yang sedang dipegang kebanyakan para ahli 
paleo-antropologi. Meskipun kesimpulan ini mengundang banyak sanggahan yang 
keras selama dua dasawarsa terakhir, sebagian besar ahli genetika dan 
paleoantropologi kini menerima kesimpulan2 tsb. dengan beberapa catatan (mis : 
Jorde et al., 1998 : Using mitochondrial and nuclear DNA markers to reconstruct 
human evolution, BioEssays 20, 1998, p. 126-136).
   
  Ini kesimpulan2 dari analisis DNA.
   
  - sekitar 6 Ma : populasi kera Afrika membelah jadi dua spesies : simpanse 
moderen dan hominid (setelah melalui beberapa spesies penengah dan perantara)
   
  - sekitar 4 Ma : hominid menjadi bipedalitas (berjalan dengan dua kaki), 
genus Australopithecus - transisi vertikal spesies ini sangat penting dalam 
evolusi manusia
   
  - sekitar 2 Ma : muncul spesies yang punya daya menggunakan bebatuan dll di 
alam menjadi peralatan : inilah Homo erectus
   
  -sekitar 0.2-0.1 Ma : muncul Homo sapiens, manusia moderen yang menurunkan 
manusia saat ini, dan mereka mulai keluar dari Afrika ke seluruh dunia.

  Kita mungkin pernah melihat gambar berantai dari makhluk bungkuk seperti kera 
ke makhluk tegak seperti manusia sekarang, lalu kita menganggap inilah evolusi 
manusia. Akan tetapi, gambar tentang evolusi manusia itu salah, atau sangat 
tidak lengkap sehingga sungguh menyesatkan (maka bisa dimaklumi orang suka 
bilang bahwa evolusi mengatakan  manusia itu dari kera !)
   
  Evolusi manusia bukanlah sebuah hasil lukisan yang menggambarkan perubahan 
langsung dari makhluk tingkat rendah ke tingkat tinggi. Evolusi manusia adalah 
sebuah jaringan jalan yang ruwet dan berliku-liku, berputar-putar, dengan 
ujung-ujung jalan yang buntu dan arah-arah yang berubah2. Banyak fosil yang 
semula kita duga milik leluhur kita mungkin memperlihatkan eksperimen evolusi 
yang gagal - garis-garis keturunan beragam jenis manusia yang tidak mampu 
bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mungkin adalah produk dari sebuah proses 
seleksi tanpa jeda, sebuah "trial by extinction"
   
  Itu sedikit tentang bagaimana penguraian sekuen DNA mitokondria sampai ke 
penguraian evolusi manusia - sepenuhnya masih bisa diperdebatkan, tentu !
   
  salam,
  awang
  
Yahdi Zaim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Teman2,

Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil 
polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal 
tersebut ya sah-sah saja.
Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk 
fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok 
kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, 
Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit 
mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang 
diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, 
berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu 
namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama 
dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang 
tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya 
sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses 
ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. 
Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis 
keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA.

Wassalam,

Yahdi Zaim
Prodi Teknik Geologi
KK Geologi dan Paleontologi
FIKTM - ITB


- Original Message - 
From: "Awang Satyana" 
To: ; 
Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] 
Biostratigraphi di shelf atau delta


> Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
> ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar 
> diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran 
> stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung pol

Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-08 Thread Rovicky Dwi Putrohari
-- Forwarded message --
--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya
kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa
DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah
yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan
PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens
DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita
amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik
primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan
kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat,
sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai
adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun
yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya
nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR,
dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau
alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu
seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita
bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR.

Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa
tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis
molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap
rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti
yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya
argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka
argumenasi bisa lebih terarah.

Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di
Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di
Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp.
100.000, ya wajar karena mereka profit oriented.
Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali
running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang
sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for
Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu
Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau
punya alat sekuensing (yang mahal harganya).

Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10
pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing
kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap
bagi kami molecular biologist, punya genetic marker
untuk menentukan masing-masing kedudukan living
organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam
sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable
(yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan
oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan
untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik)
dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat
terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di
atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang
namanya bioinformatics yang urusannya membantu para
ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan
kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi
taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan
evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman
genetiknya bagaimana dan lain-lain.

Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in
using DNA sequence for your own research, it is up to
you, folks.

wassalam,
Trina


>  Original Message
> 
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:

>
--
>
> Teman2,
>
> Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang
> analisis DNA untuk fosil
> polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut
> ilmu pengetahuan hal
> tersebut ya sah-sah saja.
> Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut
> saja paleo-DNA untuk
> fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari
> fosil Bovidae (kelompok
> kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah
> dari Formasi Kabuh,
> Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara
> megaskopis sangat
> sedikit  mengalami ubahan ataupun proses
> mineralisasi, karena untuk
> analisis DNA yang  diperlukan salah satunya yang
> penting adalah
> kandungan/unsur zat organiknya,  berupa protein.
> Analisis saya lakukan di
> Laboratorium DNA Prodi (dulu  namanya Departemen)
> Biologi ITB, yang
> alatnya cukup canggih, hasil kerjasama  dengan pihak
> Jepang, kalau tidak
> salah dari University of Nagoya. Sayang  tidak
> berhasil, karena ternyata
> yang namanya fosil, semua unsur organiknya  sangat2
> sedikit bahkan dapat
> dikatakan sudah hilang akibat proses
> ubahan/mineralisasi dan impurities
> yang terjadi selama proses fosilisasi.  Jadi ya
> sayang sekali, karena
> tadinya saya berharap bisa melacak garis  keturunan
> fosil yang saya
> analisis tersebut melalui paleo-DNA.
>
> Wassalam,
>
> Yahdi Zaim
> Prodi Teknik Geologi
> KK Geologi dan Paleontologi
> FIKTM - ITB
>
>
> - Original Message -----
> From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: ;
> <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:
> [iagi-net-l]
> Biostra

Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Thread Awang Satyana
kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah
> dari Formasi Kabuh,
> Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara
> megaskopis sangat
> sedikit mengalami ubahan ataupun proses
> mineralisasi, karena untuk
> analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang
> penting adalah
> kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein.
> Analisis saya lakukan di
> Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen)
> Biologi ITB, yang
> alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak
> Jepang, kalau tidak
> salah dari University of Nagoya. Sayang tidak
> berhasil, karena ternyata
> yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2
> sedikit bahkan dapat
> dikatakan sudah hilang akibat proses
> ubahan/mineralisasi dan impurities
> yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya
> sayang sekali, karena
> tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan
> fosil yang saya
> analisis tersebut melalui paleo-DNA.
>
> Wassalam,
>
> Yahdi Zaim
> Prodi Teknik Geologi
> KK Geologi dan Paleontologi
> FIKTM - ITB
>
>
> ----- Original Message -----
> From: "Awang Satyana" 
> To: ;
> 
> Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:
> [iagi-net-l]
> Biostratigraphi di shelf atau delta
>
>
> > Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu
> spesies pollen atau foram
> ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui
> spesiesnya agar
> diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk
> membantu penafsiran
> stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang
> mengandung polen itu.
> >
> > Kalau sang palinologist sudah tahu itu
> Florschuetzia trilobata yang biasa
> > hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang
> biasa hidup di 25-10 Ma,
> dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia
> untuk Recent taxa
> sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck,
> 1977), apakah perlu
> mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau
> diambil selain
> identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa
> mengurai kode2
> genetik yang terkunci di sekuen DNA pun.
> >
> > Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat
> informasi yang
> > menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG
> (adenin, timin,
> sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat
> variasi sekuen yang
> jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma
> atau telur misalnya
> bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi,
> semaju sekarang pun
> biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya
> mirip
> "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita
> tak memahami bahasa
> mereka.
> >
> > Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita
> perlu menggali lebih banyak
> > info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens -
> manusia. Mengenal manusia
> tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi
> untuk
> mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan
> melibatkan DNA, padahal
> tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya
> sih berlebihan,
> sementara kita pun belum bisa menguraikan kode
> miliaran kombinasi
> sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui
> seluruh aspek kehidupan
> Florschuetzia
> > meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana
> hidupnya, perkawinan2 yang
> pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu,
> yah memang mengurai
> sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan
> sebab itu tak bisa
> diperoleh dari sekedar deskripsi.
> >
> > Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA
> adalah alat utama di
> > biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya
> berhubungan dengan satu
> spesies : manusia (atau hominid), sementara kita
> ingin menggali banyak
> informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin
> mengenal spesies dari
> puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah
> cukup.
> >
> > salam,
> > awang
> >
> > Rovicky Dwi Putrohari wrote:
> > Dear Trina,
> > Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga
> dilakukan di Indonesia ?
> Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI.
> Tetapi mereka
> menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai
> ke fossil,
> > tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda.
> Namun masih manual,
> belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?
> >
> > Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi
> DNA masih relatip
> mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk
> kebutuhan klinis looh (Rumah
> Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih
> impor. Saya ngga tau
> apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat
> didalam negeri yg
> mungkin lebih ekonomis.
> >
> > Kalau boleh Trina cerita

Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Thread Noor Syarifuddin
Memang ujungnya harus dibedakan antara perlu dan ingin...
Mirip bikin logging program, inginnya sih semua di run supaya ada overlap
data yang bisa dipakai konfirmasi, tapi khan tidak perlu se-ideal itu...
bisa-bisa AFEnya gak lolos he  he  he

Namun sebagai riset dasar, kenapa tidak...?

salam,


- Original Message -
From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
To: ; <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Thursday, February 09, 2006 6:54 PM
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:
[iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


> Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi
dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi.
>
>   Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
>
>   Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ?
Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan.
Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan
penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of Tropical
Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley
(palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
>
>   Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
>
>   salam,
>   awang
>
> Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   -- Forwarded message --
> --
>
> Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya
> kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa
> DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah
> yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan
> PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens
> DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita
> amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik
> primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan
> kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat,
> sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai
> adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun
> yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya
> nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
> teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR,
> dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau
> alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu
> seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita
> bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR.
>
> Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa
> tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis
> molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap
> rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti
> yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya
> argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka
> argumenasi bisa lebih terarah.
>
> Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di
> Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di
> Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp.
> 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented.
> Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali
> running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang
> sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for
> Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu
> Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau
> punya alat sekuensing (yang mahal harganya).
>
> Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10
> pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing
> kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap
> bagi kami molecular biologist, punya genetic marker
> untuk menentukan masing-masing kedudukan living
> organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam
> sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable
> (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan
> oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan
> untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik)
> dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat
> terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di
> atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang
> namanya bioinformatics yang urusannya membantu para
> ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan
> kemudian menempatkan masing-masing ke

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Thread Maryanto (Maryant)
sing itu Rp.
165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau punya alat sekuensing
(yang mahal harganya).

Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 pangkat sembilan
panjangnya untuk masing-masing kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi
bumi), tetap bagi kami molecular biologist, punya genetic marker untuk
menentukan masing-masing kedudukan living organism dalam pohon
filogenetiknya, karena dalam sekuens DNA itu ada yang namanya highly
variable (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan oleh
rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan untuk menentukan
subspesies bahkan spesies kriptik) dan yang higly conserved, yaitu DNA
yang sangat terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di atas
ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang namanya bioinformatics yang
urusannya membantu para ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA
dan kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi taksonominya,
otomatis keluar dengan titik percabangan evolusinya ada di mana, indeks
keanekaragaman genetiknya bagaimana dan lain-lain.

Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in using DNA sequence
for your own research, it is up to you, folks.

wassalam,
Trina


>  Original Message
> 
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:

>

--
>
> Teman2,
>
> Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk 
> fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu 
> pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja.
> Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA 
> untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae 
> (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari 
> Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara 
> megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses 
> mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya 
> yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein.
> Analisis saya lakukan di
> Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang 
> alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau 
> tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena 
> ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit 
> bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi 
> dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang 
> sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan 
> fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA.
>
> Wassalam,
>
> Yahdi Zaim
> Prodi Teknik Geologi
> KK Geologi dan Paleontologi
> FIKTM - ITB
>
>
> ----- Original Message -----
> From: "Awang Satyana" 
> To: ;
> 
> Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
> Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:
> [iagi-net-l]
> Biostratigraphi di shelf atau delta
>
>
> > Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu
> spesies pollen atau foram
> ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar 
> diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran 
> stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen 
> itu.
> >
> > Kalau sang palinologist sudah tahu itu
> Florschuetzia trilobata yang biasa
> > hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang
> biasa hidup di 25-10 Ma,
> dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa 
> sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah 
> perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain 
> identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 
> genetik yang terkunci di sekuen DNA pun.
> >
> > Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat
> informasi yang
> > menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG
> (adenin, timin,
> sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang

> jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur 
> misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju 
> sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip 
> "celotehan-celotehan" yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa

> mereka.
> >
> > Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita
> perlu menggali lebih banyak
> > info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens -
> manusia. Mengenal manusia
> tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk 
> mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal

> tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, 
> sementara kita pun belum bisa menguraikan kode mil

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Thread Ukat Sukanta

Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah,
compressi lempeng maximum,low-stand.

Mar,

Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand.
Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.

Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Salam,
US

-Original Message-
From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
-->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Dugaan saya, pembentukan evolusi "life" dengan analisa DNA akan lebih
bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics
lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter
physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding
rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai.

Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih
suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal
science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu.
Memang mahal sekali ya ?

Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di
ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia
(80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh
manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys,
merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya
lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala
arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika,
Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin.

Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila
siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu
yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus
7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700
tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD,
1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya
seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global
temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,
low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ?


Salam,
Maryanto.



-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan
lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA
teramplifikasi.
  
  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
  
  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram
? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah ..
berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan
dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of
Tropical Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini,
oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
  
  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
  
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  -- Forwarded message --

--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih
begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah
terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi
menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA
pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan
forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial.
Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga
DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu
teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi.
Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal
yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita
bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa
estimasi perlu tidaknya re-PCR.

Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja
sudah cukup dan bahwa analisis moleku

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Thread Maryanto (Maryant)
 

Asyiiik, ada Pak Ukat komentar. Bagus.

> Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. 
> Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.
> Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Apa ada data yang menunjangnya Pak Ukat? Minta datanya dong. 
Apa skala pereodenya sama pada tiap analisa ? Misal 7 annum, 70 a, 700
a, 7 Ka, , 70 ka, ..., 7 Ma, 70 Ma, 700 Ma.  

Juga seberapa simpangan (error) pengukurannya ? 

Wassalam,
maryanto.

-Original Message-
From: Ukat Sukanta [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, February 10, 2006 7:32 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
-->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah,
compressi lempeng maximum,low-stand.


Mar,

Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand.

Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.

Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Salam,
US

-Original Message-
From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
-->Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Dugaan saya, pembentukan evolusi "life" dengan analisa DNA akan lebih
bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics
lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter
physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding
rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai.

Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih
suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal
science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu.
Memang mahal sekali ya ?

Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di
ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia
(80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh
manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys,
merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya
lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala
arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika,
Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin.


Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila
siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu
yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus
7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700
tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD,
1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya
seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global
temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,
low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ?


Salam,
Maryanto.



-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]


Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan
lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA
teramplifikasi.
  

  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
  

  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram
? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah ..
berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan
dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca "History of
Tropical Mangrove", yang bercerita tentang polen purba dan masa kini,
oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
  

  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
  

  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  -- Forwarded message --

--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih
begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah
terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi
men

Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-13 Thread Ben Sapiie
FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New 
Guinea" GSA Special Paper 400.  Kebetulan saya salah satu Authornya, model 
tektonik  yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. 
Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di 
University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya 
lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak 
mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan 
copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja.


Salam,

Ben Sapiie 




-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-14 Thread R.P. Koesoemadinata
Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah 
Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision 
serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan 
sangat jelas keterlibatannya dalam collision.

RPK
- Original Message - 
From: "Ben Sapiie" <[EMAIL PROTECTED]>

To: 
Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: 
[iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]



FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New 
Guinea" GSA Special Paper 400.  Kebetulan saya salah satu Authornya, model 
tektonik  yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang 
sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master 
thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan 
hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at 
USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat 
saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja.


Salam,

Ben Sapiie


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id

Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau 
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)

Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-




-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-14 Thread Rudhy Tarigan

Terimakasih informasi nya pak Koesoema,nanti saya minta tolong ke Sdr. 
Benyamin S supaya dicopy kan buat kami di Medco.

Salam,

Rudhy Tarigan

-Original Message-
From: R.P. Koesoemadinata [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, February 14, 2006 6:09 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -->
Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah
Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision
serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan
sangat jelas keterlibatannya dalam collision.
RPK
- Original Message -
From: "Ben Sapiie" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --> Re:
[iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


> FYI, telah diterbitkan berupa buku, The "Collisional Delamination in New
> Guinea" GSA Special Paper 400.  Kebetulan saya salah satu Authornya, model
> tektonik  yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang
> sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master
> thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan
> hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at
> USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat
> saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja.
>
> Salam,
>
> Ben Sapiie
>
>
> -
> To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
> To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
> Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina
> (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
> Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
> Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
> Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
> Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau
> [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
> Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
> -
>


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-


-
This message has been certified virus free by Medcoenergi Antivirus

-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-