Re: [iagi-net-l] Schoell Plot
Herry, Jarang sekali terjadi untuk sampel yang sama dianalisis oleh dua laboratorium yang berbeda, tujuannya tidak ada. Laboratorium2 yang ada menggunakan metode analisis yang sama. Misalnya untuk isotop karbon dan hidrogen dari gas. Kebanyakan prosedur analisis adalah dengan memisahkan metan dari hidrokarbon yang lebih berat menggunakan kromatograffi gas untuk mengukur komposisi istopik methan murni. Misalnya menggunakan set peralatan yang disebut Leco carbon analyzer dengan spesifikasi peralatan terdiri atas induction furnace, CO2 trap, CO2 detector, O2 stream tool, recorder digital voltmeter dan kromatograf gas. Bila menggunakan metode yang sama hasil analisisnya lebih kurang akan sama, perbedaan bisa ada, tetapi hanya pada skala sangat kecil (masalah presisi alat saja). Normalisasi atau koreksi baru dilakukan bila ada penyimpangan atas nilai rata-rata atau umum. Untuk kasus pengukuran isotop dari berbagai laboratorium jarang sekali ada nilai yang anomali. Kasus2 vitrinite reflactance supression suka terjadi, nah yang ini baru kita koreksi atau normalisasikan ke keadaan seharusnya. Paper2 yang diperlukan akan saya kirim via ja-pri. salam, awang Herry Maulana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Mantap sekali pak Awang, tepat seperti yang saya cari. Pertanyaan lebih lanjut, apa sample processing oleh lab yg berbeda akan memberikan value isotop yang berbeda? bagaimana normalisasi hasil-hasil dari lab yg berbeda? Kalau boleh paper IPA nya dikirim japri, saya berterima kasih sekali. Salam, Herry - Original Message From: Awang Satyana To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad ; Forum HAGI ; Eksplorasi BPMIGAS Sent: Sunday, 11 May, 2008 3:20:17 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Schoell Plot Herry,   Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional gas geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell (1983) tersebut kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data paling melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data komposisinya (C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya untuk isotop karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop karbon-13 metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 metana dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi keterbatasan data gas geochemistry.   Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut :     Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III (fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking.     Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell (1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari situ bisa dibedakan mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction.   Refererensi2 di atas :   Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation â isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v.
Re: [iagi-net-l] Schoell Plot
Mantap sekali pak Awang, tepat seperti yang saya cari. Pertanyaan lebih lanjut, apa sample processing oleh lab yg berbeda akan memberikan value isotop yang berbeda? bagaimana normalisasi hasil-hasil dari lab yg berbeda? Kalau boleh paper IPA nya dikirim japri, saya berterima kasih sekali. Salam, Herry - Original Message From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Forum HAGI <[EMAIL PROTECTED]>; Eksplorasi BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Sunday, 11 May, 2008 3:20:17 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Schoell Plot Herry, Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional gas geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell (1983) tersebut kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data paling melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data komposisinya (C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya untuk isotop karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop karbon-13 metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 metana dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi keterbatasan data gas geochemistry. Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut : Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III (fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking. Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell (1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari situ bisa dibedakan mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction. Refererensi2 di atas : Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation – isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v. 50, p. 693-709. James, A.T., 1983. Correlation of natural gas by use of carbon isotopic distribution between hydrocarbon components. American Association of Petroleum Geologists Bulletin, v. 67, p. 1176-1191. Lorant, F., Prinzhofer, A., Behar, F., and Huc, A.Y., 1998. Carbon isotopic and molecular constraints on the formation and the expulsion of thermogenic hydrocarbon gases. Chemical Geology, v. 147, p. 249-264. Geokimia gas maupun minyak sangat bergantung kepada data geokimia minyak dan gas hasil analisis lab, semakin lengkap datanya akan semakin lengkap pula pengetahuan yang bisa digali daripadanya. Petroleum system baru bisa ditemukan bila data geokimia suatu cekungan lengkap. Salam, awang The Thirty-First Annual IPA Convention & Exhibition Jakarta Convention Centre, May 14-16, 2007 REGIONAL GAS GEOCHEMISTRY OF INDONESIA : GENETIC CHARACTERIZATION AND HABITAT OF NATURAL GASES Awang H. Satyana (BPMIGAS) Lambok P. Marpaung (PetroChina) Margaretha E.M. Purwaningsih (ConocoPhillips) M. Kusuma Utama (BPMIGAS) ABSTRACT Strong growth of gas reserves in Indonesia as mature oil fields are depleted
Re: [iagi-net-l] Schoell Plot
Herry, Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional gas geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell (1983) tersebut kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data paling melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data komposisinya (C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya untuk isotop karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop karbon-13 metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 metana dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi keterbatasan data gas geochemistry. Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut : Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III (fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking. Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell (1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari situ bisa dibedakan mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction. Refererensi2 di atas : Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v. 50, p. 693-709. James, A.T., 1983. Correlation of natural gas by use of carbon isotopic distribution between hydrocarbon components. American Association of Petroleum Geologists Bulletin, v. 67, p. 1176-1191. Lorant, F., Prinzhofer, A., Behar, F., and Huc, A.Y., 1998. Carbon isotopic and molecular constraints on the formation and the expulsion of thermogenic hydrocarbon gases. Chemical Geology, v. 147, p. 249-264. Geokimia gas maupun minyak sangat bergantung kepada data geokimia minyak dan gas hasil analisis lab, semakin lengkap datanya akan semakin lengkap pula pengetahuan yang bisa digali daripadanya. Petroleum system baru bisa ditemukan bila data geokimia suatu cekungan lengkap. Salam, awang The Thirty-First Annual IPA Convention & Exhibition Jakarta Convention Centre, May 14-16, 2007 REGIONAL GAS GEOCHEMISTRY OF INDONESIA : GENETIC CHARACTERIZATION AND HABITAT OF NATURAL GASES Awang H. Satyana (BPMIGAS) Lambok P. Marpaung (PetroChina) Margaretha E.M. Purwaningsih (ConocoPhillips) M. Kusuma Utama (BPMIGAS) ABSTRACT Strong growth of gas reserves in Indonesia as mature oil fields are depleted will cause a continued shift from oil to gas production. Exploration during the last ten years has resulted in discoveries of large gas fields widely distributed across the Indonesian archipelago. Understanding the origin, distribution, and habitat of natural gases is important for continued gas exploration. This paper presents the first regional geochemistry study of natural gases in Indonesian basins. Based on molecular composition and isotope data, both thermogenic and biogenic (bacterial) gas types can be recognized in Indonesia. Mixing between the two types is also commonly
[iagi-net-l] Schoell Plot
IAGI-Netters, Dalam klasifikasi genesa gas berdasarkan isotop karbon, Schoell plot sering digunakan sebagai "baseline" untuk dasar pengkasifikasian, tetapi plot ini adalah hasil empiris percobaan lab dengan berbagai macam tipe batuan induk. 1. Untuk "type III Kerogen" seperti umumnya di Indonesia (barat), apa ada rekan-rekan yang yang mempunyai studi kasus untuk validasi Schoell Plot ini? 2. Apa ada alternatif lain untuk klasifikasi gas berdasarkan isotop karbon sehingga genesa gas nya bisa diketahui (misal thermogenic vs. biogenic, primary oil cracking vs. secondary cracking)? Terima kasih, Herry __ Sent from Yahoo! Mail. A Smarter Email http://uk.docs.yahoo.com/nowyoucan.html