Re: [iagi-net-l] Schoell Plot

2008-05-11 Terurut Topik Awang Satyana
Herry,
   
  Jarang sekali terjadi untuk sampel yang sama dianalisis oleh dua laboratorium 
yang berbeda, tujuannya tidak ada. Laboratorium2 yang ada menggunakan metode 
analisis yang sama.
   
  Misalnya untuk isotop karbon dan hidrogen dari gas. Kebanyakan prosedur 
analisis adalah dengan memisahkan metan dari hidrokarbon yang lebih berat 
menggunakan kromatograffi gas untuk mengukur komposisi istopik methan murni. 
Misalnya menggunakan set peralatan yang disebut Leco carbon analyzer dengan 
spesifikasi peralatan terdiri atas induction furnace, CO2 trap, CO2 detector, 
O2 stream tool, recorder digital voltmeter dan kromatograf gas.
   
  Bila menggunakan metode yang sama hasil analisisnya lebih kurang akan sama, 
perbedaan bisa ada, tetapi hanya pada skala sangat kecil (masalah presisi alat 
saja). Normalisasi atau koreksi baru dilakukan bila ada penyimpangan atas nilai 
rata-rata atau umum. Untuk kasus pengukuran isotop dari berbagai laboratorium 
jarang sekali ada nilai yang anomali.
   
  Kasus2 vitrinite reflactance supression suka terjadi, nah yang ini baru kita 
koreksi atau normalisasikan ke keadaan seharusnya.
   
  Paper2 yang diperlukan akan saya kirim via ja-pri.
   
  salam,
  awang

Herry Maulana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Mantap sekali pak Awang, tepat seperti yang saya cari. 
Pertanyaan lebih lanjut, apa sample processing oleh lab yg berbeda akan 
memberikan value isotop yang berbeda? 
bagaimana normalisasi hasil-hasil dari lab yg berbeda?
Kalau boleh paper IPA nya dikirim japri, saya berterima kasih sekali.
Salam,
Herry



- Original Message 
From: Awang Satyana 
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad ; Forum HAGI ; Eksplorasi BPMIGAS 
Sent: Sunday, 11 May, 2008 3:20:17 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Schoell Plot

Herry,
  
  Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional  gas 
geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai 
cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell 
(1983)  tersebut  kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data 
paling melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data 
komposisinya (C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya 
untuk isotop karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop 
karbon-13 metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 
metana dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi 
keterbatasan data gas geochemistry.
  
  Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut : 
  
    
  Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, 
Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III 
(fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi 
khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga 
melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; 
Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting 
menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types 
menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di 
Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas 
prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking. 
  
    
  Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. 
Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell 
(1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, 
apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk 
membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi 
CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan 
isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan 
oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop 
deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan 
gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari 
secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). 
yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari 
propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari
situ bisa dibedakan
mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking 
dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, 
gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari 
craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary 
cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction.
  
  Refererensi2 di atas : 
  
  Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation 
in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation 
– isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v.

Re: [iagi-net-l] Schoell Plot

2008-05-10 Terurut Topik Herry Maulana
Mantap sekali pak Awang, tepat seperti yang saya cari. 
Pertanyaan lebih lanjut, apa sample processing oleh lab yg berbeda akan 
memberikan value isotop yang berbeda? 
bagaimana normalisasi hasil-hasil dari lab yg berbeda?
Kalau boleh paper IPA nya dikirim japri, saya berterima kasih sekali.
Salam,
Herry



- Original Message 
From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Forum HAGI <[EMAIL 
PROTECTED]>; Eksplorasi BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Sunday, 11 May, 2008 3:20:17 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Schoell Plot

Herry,
  
  Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional  gas 
geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai 
cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell 
(1983)  tersebut  kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data paling 
melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data komposisinya 
(C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya untuk isotop 
karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop karbon-13 
metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 metana 
dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi keterbatasan 
data gas geochemistry.
  
  Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut : 
  
    
  Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, 
Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III 
(fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi 
khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga 
melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; 
Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting 
menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types 
menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di 
Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas 
prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking. 
  
    
  Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. 
Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell 
(1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, 
apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk 
membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi 
CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan 
isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan 
oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop 
deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan 
gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari 
secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). 
yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari 
propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari
 situ bisa dibedakan
mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking 
dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, 
gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari 
craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary 
cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction.
  
  Refererensi2 di atas : 
  
  Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation 
in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation – 
isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v. 50, p. 693-709. 
  
  James, A.T., 1983. Correlation of natural gas by use of carbon isotopic 
distribution between hydrocarbon components. American Association of Petroleum 
Geologists Bulletin, v. 67, p. 1176-1191.
  
  Lorant, F., Prinzhofer, A., Behar, F., and Huc, A.Y., 1998. Carbon isotopic 
and molecular constraints on the formation and the expulsion of thermogenic 
hydrocarbon gases. Chemical Geology, v. 147, p. 249-264.
  
  Geokimia gas maupun minyak sangat bergantung kepada data geokimia minyak dan 
gas hasil analisis lab, semakin lengkap datanya akan semakin lengkap pula 
pengetahuan yang bisa digali daripadanya. Petroleum system baru bisa ditemukan 
bila data geokimia suatu cekungan lengkap.
  
  Salam,
  awang
    
  
  The Thirty-First Annual IPA Convention & Exhibition
  Jakarta Convention Centre, May 14-16, 2007
  
  REGIONAL GAS GEOCHEMISTRY OF INDONESIA :
  GENETIC CHARACTERIZATION AND HABITAT OF NATURAL GASES
  
  Awang H. Satyana (BPMIGAS)
  Lambok P. Marpaung (PetroChina)
  Margaretha E.M. Purwaningsih (ConocoPhillips)
  M. Kusuma Utama (BPMIGAS)
  
  ABSTRACT
  
  Strong growth of gas reserves in Indonesia as mature oil fields are depleted 

Re: [iagi-net-l] Schoell Plot

2008-05-10 Terurut Topik Awang Satyana
Herry,
   
  Di bawah ada abstrak paper saya dkk (IPA 2007) untuk regional  gas 
geochemistry of Indonesia. Dalam paper itu, kami menggunakan berbagai 
cross-plot genetic gas type termasuk dari Martin Schoell. Crossplot Schoell 
(1983)  tersebut  kami gunakan secara intensif dengan alasan bahwa data paling 
melimpah untuk isotop gas adalah isotop karbon-13 metana, dan data komposisinya 
(C1, C2, dst). Tidak banyak company yang melakukan analisis gasnya untuk isotop 
karbon-13 etana, propana, butana, dst., kebanyakan hanya isotop karbon-13 
metana. Maka, cross plot Schoell (1983) yang dibangun sumbu karbon-13 metana 
dan sumbu C2+ adalah yang paling sederhana untuk mengakomodasi keterbatasan 
data gas geochemistry.
   
  Menjawab pertanyaan Herry, bisa saya kemukakan hal-hal sebagai berikut : 
   

   Saat melakukan plotting gas-gas di Indonesia Barat (Sumatra, Jawa, Natuna, 
Kalimantan) yang kita tahu banyak dikontribusi kerogen tipe III 
(fluvio-deltaik), kami tak menemukan problem sehingga diperlukan validasi 
khusus plotting Schoell (1983) tersebut. Hal ini diketahui ketika kami juga 
melakukan plotting gas-gas tersebut menggunakan metode lain (misal James, 1983; 
Whiticar et al., 1986; Loran et al., 1998) hasilnya mirip dengan plotting 
menggunakan Schoell (1983). Maka, saya pikir determinasi genetic gas types 
menggunakan metode Schoell (1983) dapat dipercaya. Lagipula, kebanyakan gas di 
Indonesia adalah gas primer yang digenerasikan dari refractory kerogen yang gas 
prone (kerogen tipe III), bukan dominant gas sekunder hasil oil cracking. 
   

   Semakin lengkap data isotopnya, maka semakin lengkap yang bisa kita ketahui. 
Untuk membedakan gas biogenic dan termogenik cukup dengan crossplot Schoell 
(1983) tersebut sebab isotop karbon-13 dari metana cukup tegas membedakannya, 
apalagi digabung dengan data komposisi gasnya (C1, C2+). Tetapi untuk 
membedakan gas biogenic hasil fermentasi (continental/darat) atau hasil reduksi 
CO2 (marin) kita harus menggunakan crossplot Whiticar (1986) yang memerlukan 
isotop deuterium. Untuk minyak, isotop deuterium cukup ampuh buat membedakan 
oil hasil generasi carbonate source rock dan shale source rock. Tanpa isotop 
deuterium, asal biogenic gas tak bisa dibuktikan secara tepat. Untuk membedakan 
gas hasil primary generation dari cracking refractory kerogen atau dari 
secondary oil cracking harus digunakan cross plot dari Lorant et al. (1998). 
yang memerlukan perbedaan antara rasio karbon-13 dari etana dan karbon-13 dari 
propana serta rasio komposisi C2/C3. Dari situ bisa dibedakan
 mana gas primary cracking, mana gas cracking dari wet gas, mana gas craking 
dari oil, mana gas cracking dari fraksi aspalthene. Sebuah kasus menarik, 
gas-gas termogenik di Sumatra Tengah (misal Libo Field), gasnya bukan dari 
craking oil meskipun cekungan ini sangat oil prone, tetapi dari primary 
cracking kerogen tipe III (dominant) dan cracking dari asphaltene fraction.
   
  Refererensi2 di atas : 
   
  Whiticar, M.J., Faber, E., and Schoell, M., 1986. Biogenic methane formation 
in marine and freshwater environments: CO2 reduction vs. acetate fermentation – 
isotope evidence. Geochimica et Cosmochimica Acta, v. 50, p. 693-709. 
   
  James, A.T., 1983. Correlation of natural gas by use of carbon isotopic 
distribution between hydrocarbon components. American Association of Petroleum 
Geologists Bulletin, v. 67, p. 1176-1191.
   
  Lorant, F., Prinzhofer, A., Behar, F., and Huc, A.Y., 1998. Carbon isotopic 
and molecular constraints on the formation and the expulsion of thermogenic 
hydrocarbon gases. Chemical Geology, v. 147, p. 249-264.
   
  Geokimia gas maupun minyak sangat bergantung kepada data geokimia minyak dan 
gas hasil analisis lab, semakin lengkap datanya akan semakin lengkap pula 
pengetahuan yang bisa digali daripadanya. Petroleum system baru bisa ditemukan 
bila data geokimia suatu cekungan lengkap.
   
  Salam,
  awang

   
  The Thirty-First Annual IPA Convention & Exhibition
  Jakarta Convention Centre, May 14-16, 2007
   
  REGIONAL GAS GEOCHEMISTRY OF INDONESIA :
  GENETIC CHARACTERIZATION AND HABITAT OF NATURAL GASES
   
  Awang H. Satyana (BPMIGAS)
  Lambok P. Marpaung (PetroChina)
  Margaretha E.M. Purwaningsih (ConocoPhillips)
  M. Kusuma Utama (BPMIGAS)
   
  ABSTRACT
   
  Strong growth of gas reserves in Indonesia as mature oil fields are depleted 
will cause a continued shift from oil to gas production. Exploration during the 
last ten years has resulted in discoveries of large gas fields widely 
distributed across the Indonesian archipelago. Understanding the origin, 
distribution, and habitat of natural gases is important for continued gas 
exploration. This paper presents the first regional geochemistry study of 
natural gases in Indonesian basins.
   
  Based on molecular composition and isotope data, both thermogenic and 
biogenic (bacterial) gas types can be recognized in Indonesia. Mixing between 
the two types is also commonly

[iagi-net-l] Schoell Plot

2008-05-09 Terurut Topik Herry Maulana
IAGI-Netters,
Dalam klasifikasi genesa gas berdasarkan isotop karbon, Schoell plot sering 
digunakan sebagai "baseline" untuk dasar pengkasifikasian, tetapi plot ini 
adalah hasil empiris percobaan lab dengan berbagai macam tipe batuan induk. 
1. Untuk "type III Kerogen" seperti umumnya di Indonesia (barat), apa ada 
rekan-rekan yang yang mempunyai studi kasus untuk validasi Schoell Plot ini?
2. Apa ada alternatif lain untuk klasifikasi gas berdasarkan isotop karbon 
sehingga genesa gas nya bisa diketahui (misal thermogenic vs. biogenic, primary 
oil cracking vs. secondary cracking)?
Terima kasih,
Herry


  __
Sent from Yahoo! Mail.
A Smarter Email http://uk.docs.yahoo.com/nowyoucan.html