Pak Ketum IAGI
 
Mohon klarifikasi, apakah pendapat Pak RDP di artikel di bawah ini , merupakan 
pendapat pribadi atau sudah pendapat/sikap IAGI ?
Kalau sebagai sikap IAGI, rasanya di milis ini belum dibahas rinci maupun 
dielaborasi bersama tentang konsep/gagasan 'Izin Usaha" yang dimaksud ? apalagi 
disepakati sebagai usulan untuk diterapkan sebagai revisi atas kontrak PSC yang 
sudah berjalan (?) . Juga tentang Bentuk Badan serupa BI sebagai pengganti 
fungsi Bpmigas (?) (Entah kalau sudah dibahas dan disepakati di antara Pengurus 
serta Dewan Penasehat)
 
Apakah seperti IUP di Pertambangan ? 
 
Entah bagaimana detail maupun implementasinya gagasan ini,  namun menurut hemat 
Saya, konsep/gagasan 'izin usaha' ini, ibarat sistem pertandingan olahraga, di 
babak penyisihan-pun akan langsung terdepak, karena nantinya bakal 
dipertanyakan (khususnya para pemohon penggugat kemaren), yang ingin penguasaan 
dan pengusahaan Negara lebih besar, melalui Perusahaan Negara (PN?)/BUMN. Bisa 
Kontrak kerjasama, tapi dalam sistem bagi hasil produksi (PSC). Jadi Penguasaan 
dan pengusahaan tetap oleh PN(?)/BUMN(?) dan tetap dapat Mengendalikan rencana 
kegiatan dan anggaran (untuk biaya operasi) Kontractor. Nah kalau "Izin Usaha". 
Jika seperti di Pertambangan, nilai penguasaan dan pengusahaan oleh negaranya 
akan dipertanyakan? selain itu, pengendalian dan pengawasan atas rencana 
kegiatan dan anggaran tidak dapat dilakukan (cukup terima royalti&tax ?)
 
Salam,
BKG
 
-------------------------------------BP Migas Bubar, Segera Ubah Kontrak Bagi 
Hasil Menjadi Izin Usaha
Rista Rama Dhany - detikfinance 
Senin, 19/11/2012 11:39 WIB
 
< img 
src="http://images.detik.com/content/2012/11/19/1034/114332_kantorbpmigas2.jpg"; 
alt=""   />Foto: Dok. detikFinance
Jakarta - Pembubaran BP Migas dinilai menjadi momentum untuk mengubah kontrak 
migas selama ini yakni bagi hasil atau production Sharing Contract (PSC) 
menjadi izin usaha.

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi 
Putrohari kepada detikFinance, Minggu (18/11/2012).

"Revisi segera kontrak Migas dari awalnya bagi hasil menjadi kontrak izin 
usaha, jadi posisi pemerintah lebih tinggi dibandingkan kontraktor," kata 
Rovicky.

Lewat revisi kontrak tersebut, kata Rovicky, pemerintah tinggal mengeluarkan 
undang-undang untuk membentuk badan seperti Bank Indonesia (BI).

"Dengan dibentuknya badan seperti Bank Indonesia, badan tersebut hanya 
mengawasi, tidak beroperasi seperti BP Migas dulu. Namun pembentukan badan ini 
tidak bisa dengan Keppres, tetapi harus dengan undang-undang," ucapnya.

Diakui Rovicky, bagi IAGI, kontrak BP Migas dengan para kontrakornya terkesan 
lebih menguntungkan kontraktor terutama perusahaan asing.

"Pasalnya selama kontrak berjalan, kontraktor sangat menutup data-data yang 
dimilikinya, padahal sesuai undang-undang data tersebut dikuasai negara," 
ungkapnya.

Akibatnya suatu wilayah kerja yang 'dikangkangi' kontraktor tersebut membuat 
data geologi terkotak-kotak. Padahal data potensi geologi tidak bisa 
dibagi-bagi, merupakan satu-kesatuan.

"Kondisi inilah yang membuat kawan-kawan geologi menjadi kesulitan untuk 
mencari data potensi sumber daya alam baik itu migas maupun lainnya," cetus 
Rovicky.



(rrd/dnl)

 
 
 
 

________________________________
 Dari: "abacht...@cbn.net.id" <abacht...@cbn.net.id>
Kepada: iagi-net@iagi.or.id 
Dikirim: Selasa, 20 November 2012 5:58
Judul: [iagi-net-l] Penyadaran Masyarakat ttg Pembodohan Publik di Kasus 
Pembubaran BPMigas
  
Banyak tulisan yang bagus baik dr kalangan internal (ex)BPMIGAS, kalangan 
masyarakat migas, maupun kalangan luar migas yg menunjukkan kekeliruan - salah 
alamatnya tuduhan2 ke BPMigas terkait dg pembubarannya oleh putusan MK 13 nov 
2012 kemarin. Bagaimana kira2 kelanjutan - follow upnya? Apakah tulisan2 
koreksi - penyadaran itu akan bisa jadi gerakan yg cukup signifikan u/mengubah 
apa yg terjadi?

Untuk menghadapi gerakan politik sebenarnya tidak harus selalu frontal dg 
gerakan serupa. Salah satu caranya ya dg membuat gerakan intelektual - budaya - 
penyadaran yg mengalir seperti bentuk2 tulisan kawan2 BPMigas di internet, 
tulisan Prof Hikmahanto, dll.  Tetapi itu semua harus dengan syarat minimal: 
para proponennya juga harus banyak yg punya level militansi yg sama sehingga 
bisa menggumpal ujungnya jadi gerakan politik: siapapun di ujungnya yang akan 
menyimpulkan dan membuat ini semua jadi "pukulan politik" untuk "melawan balik" 
... 

Sama dg di kasus "pemolitikan" lumpur Lapindo dulu. Gerakan politik bisnis 
untuk mengkambinghitamkan gempa/tektonik sbg penyebab utama bencana Lumpur 
Lapindo tidak dihadapi dengan militansi yg sama diantara proponen2 pendukung 
akal sehat intelektual yg ada, meskipun popular vote masyarakat menginginkan 
adanya gerakan itu. Maka kandaslah tulisan2 analisis2 riset2 ilmiah bagus yg 
punya latarbelakang independen yg mengkaitkan itu semua dg kecerobohan pemboran 
dan substandard operasional Lapindonya,.... Banyak kaum intelektual waktu itu 
(dan sampai sekarang) merasa tidak punya kepentingan langsung dg usaha "melawan 
pembodohan akal sehat" itu sama juga situasinya dg "pembodohan ttg pembubaran 
bpmigas" ini.

Maka, seharusnya kalau mau: iAGI, HAGI, IATMI, mungkin bersama Asosiasi 
Pedagang Kakilima X, Persaudaraan Buruh Pasar Ikan Y, dan Ikatan Sepeda Gowes 
Z, dll bersama-sama terus menerus melakukan advokasi ke masyarakat memakai 
bahan2 seperti yg dituliskan oleh kawan2 semua. Itu kalau kita mau dg militan 
menyelesaikan masalah politik ini. Kalau tidak,...ya dagelan politik ini akan 
terus berlangsung dimanfaatkan oleh para politisi dan pemain2 kekuasaan, 
kemudian nantinya akan dilupakan,..spt kasus Lumpur Lapindo,.... 

Ayo pak dhe RDP, bisa ngak kita gulirkan ide dan pemikiran semacam yg 
berkembang di milis IAGInet ini jadi "gerakan politik" anti pembodohan migas 
Indonesia?

ADB
Dewan Penasehat IAGI
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kirim email ke