Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: ikusum...@gmail.com Date: Mon, 1 Oct 2012 01:56:44 To: <iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: ikusum...@gmail.com Subject: Re: [iagi-net-l] Kuasai 47% Ladang Minyak RI, Tapi Produksi Pertamina Cuma Nomor 3
Pak Ong Ysh. Pang Ong wrote : Saya usulkan untuk kebaikan Negara, untuk semua extension dilakukan tender terbatas dan terbuka. Perusahaan yang diundang termasuk Pertamina, seperti halnya tender blok baru. Menurut saya utk suatu blok yg sudah berakhir kontraknya dan masih punya potensi Migas yg besar seyogyanya ditawarkan ke BUMN (PTM) terlebih dahulu. Begitu juga dengan Blok baru seharusnya ditawarkan dahulu ke Pertamina sebelum ditawarkan ke perusahaan Migas lain. Dalam hal ini apa yg dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan ketentuan UU. Rasanya pemerintah tidak akan mengizinkan/membolehkan/melarang PTM mengikuti tender utk mendapatkan blok Migas di negara sendiri, itulah previlege yg diberikan pemerintah kepada PTM. Namun sayangnya dalam implementasinya dengan berbagai macam alasan previlege ini jarang diaplikasikan. Why? Karena banyaknya kepentingan bermain. Jadi karena PTM tidak diizinkan utk mengikuti tender seperti usulan Pak Ong, maka pemerintah dalam memberikan blok Mahakam ini ke PTM agar jangan blank check, diberikan saja persyaratan2 ketat yg harus dipenuhinya. Seyogyanya keuntungan yg dilihat bukan keuntungan finansial semata, tapi yg jauh lebih penting adalah mengamankan kebutuhan energi dalam negeri. Saya kira itulah yg dilakukan oleh negara2 lain, baik sebagai penghasil migas maupun tidak, spt halnya Malaysia dan China. Saya pribadi menginginkan adanya suatu PMN (NOC) di negara ini, kalau tidak didukung oleh pemerintahnya siapa lagi yg diharapkan. Janganla kita berfikiran terlalu liberal yg menyebabkan kita hanya jadi penonton di negara sendiri, alangkah menyedihkannya Mohon ma'af kalau tidak berkenan Salam, MIK Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: Ong Han Ling <hl...@geoservices.co.id> Date: Mon, 1 Oct 2012 06:25:57 To: <iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id> Subject: RE: [iagi-net-l] Kuasai 47% Ladang Minyak RI, Tapi Produksi Pertamina Cuma Nomor 3 Pak Rovicky. Rambu-rambu terukur. Betul Pak Rovicky, kita perlu memberikan preference dan kemudahan kepada Pertamina tetapi bukan blank cek. Kita harus memberikan rambu-rambu yang bisa kita ukur. Hal ini karena kepentingan Pertamina dan Pemerintah tidak selalu sejalan, dan bahkan ada kalanya bertentangan. Pemerintah memikirkan Negara secara keseluruhan. Sedangkan Pertamina khusus untuk migas dan kemajuan perusahaan. Saya usulkan untuk kebaikan Negara, untuk semua extension dilakukan tender terbatas dan terbuka. Perusahaan yang diundang termasuk Pertamina, seperti halnya tender blok baru. Umpama dalam hal Mahakam, bisa diundang Total dan Inpex, sendiri-sendiri. Keduanya sudah mengetahui betul kondisi lapangan. Kriteria tender yang dipakai bisa macam-macam. Salah satu adalah menggunakan Net Present Value (NPV) bagi keuntungan Negara. Kita pakai NPV full cycle waktu memasukan POD. Pengikut tender terbatas menghitung keuntungan yang akan diberikan kepada Pemerintah dengan mengunakan suatu discount rate tertentu, umpama 10%. Pemenang tender adalah yang memberikan keuntungan NPV tertinggi kepada Negara (bukan kepada Pertamina). Umpama salah satu peserta tender memberikan harga paling tinggi 100. Pertamina sebagai perusahaan Negara diberi preference, umpamanya sebesar 10%. Kalau Pertamina memasukkan tender dengan NPV antara 90-100, kita memenangkan Pertamina. Namun kalau Pertamina memasukan NPV dibawah 90, Pertamina kalah. Kita juga bisa memberikan preference yang lebih tinggi kepada Pertamina, umpama 50. Artinya kalau Pertamina waktu memasukan tender memberi kepada Negara hanya 50, kita tetap berikan kepada Pertamina. Yang saya maksudkan sebagai blank cek diberikan kepada Pertamina adalah pembatasan. Bukan at any cost. Bagaimana kalau Pertamina hanya memberikan NPV "zero" kepada Negara, sedangkan pemenang tender 100. Apakah kita tetap ingin memilih Pertamina. Apakah National pride at any cost, even if the NPV is zero? Kan tidak. Keseimbangan angka preference inilah yang ingin kita cari. Parameter lain yang bisa dipakai adalah facilitas produksi yang diserahkan kepada Pemerintah (Note: bukan milik Pertamina) pada akir kontrak. Pada waktu bidding, Pertamina diberi preference untuk menggunakan semua production facilities yang ada free. Namun demikian facilitas tsb. perlu ditentukan berapa harganya dan kepada pengikut tender lainnya diharuskan sewa. Memang harga buku untuk production facilities sudah "nil", tetapi kita pakai "replacemnt value". Kembali evaluasi tender dilakukan berdasarkan NPV bagi Negara. NPV adalah keuntungan yang dijanjikan para pengikut tender. Belum tentu mereka bisa tepati. Untuk ini saya mengusulkan dipakai rambu-rambu "Cost Recovery Limit" atau "cost over revenue" yang merupakan ciri khas suatu PSC. CRL memberikan kepastian kepada Negara berapa besarnya uang setiap tahun akan diterima. Besarnya CRL sebaiknya sekitar 40-60%, yaitu range yang umum dan diikuti 75% PSC dunia. Besarnya preference NPV yang akan kita berikan untuk Pertamina juga tergantung pada parameter lainnya. Salah satu adalah technical skill dan program kerja. Pengalaman pengikut tender serta program kerja yang diajukan harus dievaluasi. Siapa tahu ada peserta tender yang mempunyai program kerja dengan terobosan-terobosan baru. Parameter lain adalah opportunity. Kalau pemenang tender adalah perusahaan asing, ini berarti ada fresh money masuk, sesuatu yang Indonesia sangat perlukan saat ini. Sedangkan parameter plus jika diberikan kepada Pertamina adalah National pride. Semua hal tsb. diatas adalah terukur hingga mempermudah evaluasi pemenang tender. Semua transparen. Yang perlu dipertimbangan adalah menentukan besarnya preference yang akan diberikan kepada Pertamina. Secara teoritis berkisar antara 0 sampai 100% NPV. Silahkan anda pillih. Namun kalau terlalu besar preference yang diberikan kepada Pertamina, tidak ada yang ikut tender. Pertamina jadi TBK Usulan Pak Ketua yang kedua, untuk dijadikan Pertamina sebagai TBK atau public company bagus sekali. Ini akan menciptakan profesionalism yang Anda sebutkan. Namun ini masih jauh karena masih banyak kendalanya. Umpama Anda usulkan bertahap, dimulai dengan PHE untuk dijadikan TBK duluan. Tapi PHE adalah money making, jadi gampang untuk dijadikan TBK. Pembelinya pasti berebutan. Tetapi bagaimana yang lain seperti penanggulangan subsidi BBM, PatraJasa, Pelita, Tongkang, Refinaries, dsb. yang adakalanya rugi atau untungnya pas-pasan? Sebaiknya dicampur yang untung dan yang rugi. Tapi yang mana, perlu dipilah satu persatu, dan ini perlu waktu. Untuk dijadikan TBK, hal pertama yang diperlukan adalah berapa modal awal yang dimiliki. Modal terdiri dari cash, utang-piutang, cadangan migas, barang-barang, aset bangunan, pabrik, dan tanah, dsb. Namun harus diingat bahwa asset Pertamina kembali ke zaman Belanda. Banyak yang tidak ada surat-suratnya dan banyak yang tidak jelas. Bahkan banyak pabrik ataupun bangunan berdiri diatas tanah yang pemiliknya tidak diketahui. Waktu itu mungkin ada tanah kosong lalu dibangun kompleks ataupun dibangun pabrik, tanpa izin apa-apa. Jadi untuk dijadikan pemilik atau modal/asset perlu UU Agraria dirubah untuk akomodir hal-hal tsb. Ini tidak akan mudah dan perlu waktu. Kalau tidak salah sudah lebih dari 10 tahun asset Pertmina diteliti tapi sampai sekarang belum konklusif. Padahal aset adalah step pertama yang harus dilakukan untuk pembukuan yang benar dan merupakan persaratan utama untuk perusahaan TBK. Selain itu yang lebih penting adalah ketergantungan Pemerintah kepada Pertamina dan seballiknya. Pemerintah masih memerlukan Pertamina untuk menalangi biaya-biaya CSR seperti subsidi BBM yang tiap tahun membengkak dan akir-akir ini pemakain BBG. Dilain pihak, Pertamina juga menerima proyek-proyek monopoli yang sangat menguntungkan dari Pemerintah. Ini membuat kesulitan untuk Pertamina berdiri sendiri sebagai TBK. Adalah bagusnya kalau hubungan ini bisa diputus. Ini merupakan hadiah terbesar yang bisa diberikan Pemerintah kepada Pertamina supaya bisa independent dan akirnya accountable to the public. Tapi kalau diputuskan siapa yang akan menaggulangi subsidi BBM yang begitu besar? Jadi rasa-rasanya masih jauh untuk Pertamina dijadikan Tbk. Memang ada arah kesana tetapi masih terlalu dini dan banyak kendalanya termasuk perlunya perubahan (dan pembuatan) beberapa undang-undang dan peraturan. Salam, HL Ong From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:rovi...@gmail.com] Sent: Thursday, September 27, 2012 7:23 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Kuasai 47% Ladang Minyak RI, Tapi Produksi Pertamina Cuma Nomor 3 2012/9/27 Ong Han Ling <wim...@singnet.com.sg> Pak Andang, saya kira kita banyak "miss" nya. Mungkin apa yang saya tulis kurang jelas. Perbedaan yang saya lihat ada dua hal. Menurut Anda, Pertamina adalah kepanjangan dari Pemerintah. Memang betul tetapi kepentigannya tidak selalu sejalan. Perbedaan kedua, kalau saya tidak salah tangkap, adalah bahwa saya menyarankan untuk Mahakam extension diberikan ke Total. Saya tidak pernah mengatakan demikian. Saya menangkap dari Pak Ong ini utamanya seperti tulisan sebelumnya bila asset negara akan diberikan ke Pertamina sebagai operator, yaitu : quote " Jangan diberikan blank cek. Sebaiknya Pertamina diberikan rambu-rambu dan pembatasan yang terukur hingga bisa dilakukan evaluasi secara kwantitatip. Harus ada escape clause seandainya tidak berhasil. Risk analysis perlu dilakukan." Saya kira yang ditulis diatas (rambu-rambu) itu yang perlu disiapkan bila pertamina menjadi operator apapun. Tentunya perlunya rambu-rambu berlaku tidak hanya pada mahakam dan juga tidak hanya pada kegiatan eksplorasi tetapi juga produksi bahkan distribusi. Rambu-rambu itu saya yakin perlu dimiliki oleh stake holder Pertamina. Bahkan saya yakin rambu ini diperlukan untuk membantu manajemen pertamina memperbaiki diri. Memang setiap rambu akan terkesan 'membatasi ruang gerak', namun saya kira perusahaan swasta (MNC)pun juga punya rambu, supaya jalannya lurus. Mungkin Pak Ong dapat memberikan contoh-contoh rambu yang diperlukan Pertamina. Nah dalam hal pengawasan, ini akan menjadi efisien dan efektif bila Pertamina menjadi perusahaan terbuka, walau hanya 5% di bursa saham. Ya di bursa saha, bukan 5% sebagai ownership kepemilikan. Dengan keterbukaan informasi publik ini maka yg mengawasi menjadi beragam. Kalau belum memungkinkan Pertamina Persero menjadi terbuka semuanya, mungkin PHE dapat dipakai sebagai uji coba dibuka IPO di BEJ. Syukur-syukur IAGI diberi jatah 0.001% saja sebagai modal kerja organisasi ;-) .... mimpi kali yeee. Info tambahan. Seingat saya IAGI pernah mengusulkan ke DPR (lupa kapan RDPnya), yang isinya IAGI menyarankan setiap perusahaan (satu Blok PSC) yg sudah berproduksi diatas 10 000 BOePD diwajibkan membuka IPO di BEJ minimal 5%. Kalau ini berhasil tentunya dunia migas Indonesia menjadi milik publik (rakyat) akan terjadi dengan sendirinya. Salam pagi rdp -- "Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"