RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia
Pak Harto lebih nasionalis lho pak, lihat aja waktu dia sakit kemaren, dia gak berobat ke luar negeri tuh, tapi milih berobat ke RSPP, rumah sakit nasional dengan dokter nasional juga. Republika Jumat, 13 Mei 2005 Resonansi Ketika Pak Harto Sakit By: zaim uchrowi Kualitas seseorang dapat dilihat dari hal sederhana yang dilakukannya. Itulah yang terjadi pada Pak Harto. Awal pekan, mantan presiden ini jatuh sakit. Sakitnya serius. Ia mengalami perdarahan usus. Untuk seseorang dengan usia 84 tahun, peluang sembuhnya hanya 50 persen. Tapi, di saat sakit seperti itulah kualitas pribadinya justru mencuat. Seperti biasanya bila sakit, Pak Harto tidak berobat ke luar negeri. Ia akan selalu berobat di Indonesia. Tempat berobat langganannya adalah RSP Pertamina. Di sanalah, pekan ini, Pak Harto dirawat. Kalau mau, Pak Harto bisa berobat ke manapun di dunia ini yang dianggap mempunyai kemampuan medis terbaik. Atau setidaknya ke Singapura, seperti yang banyak dilakukan tokoh dan pejabat Indonesia. Termasuk oleh presiden-presiden kita sebelum ini. Tapi, tidak. Ia selalu mempercayakan penanganan kesehatan dirinya pada putra-putra bangsa. Di saat sakit seperti itu, ia menunjukkan karakternya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus yakin dengan kemampuan bangsanya sendiri. Seorang pemimpin justru harus membangkitkan kemampuan bangsa dengan keyakinannya. Ia menunjukkan karakter kepemimpinannya itu dengan langkah nyata. Bukan dengan kata-kata. Sikap Pak Harto itu terasa langka di masa ini. Kesungguhan untuk mengoptimalkan potensi sendiri masih terasa lemah di seluruh lini bangsa. Termasuk pada para tokoh yang secara formal menjadi pemimpinnya. Kita semua seperti kental mewarisi mental bangsa terjajah: Kagum pada segala yang beratribut asing. Sebagian lagi bahkan mengidap penyakit feodal para priyayi: Mau berkuasa dan kaya tanpa harus bersusah payah. Mereka hanya peduli soal ''persenan'', dan tidak pada lainnya. Apalagi menyangkut urusan nasib bangsa. Lemahnya visi berbangsa tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Kita acap menilai kehormatan diri dengan atribut material yang sama sekali tidak berbasis pada kekuatan bangsa sendiri. Atribut itu dapat sekadar berupa telepon genggam atau perabotan rumah. Banyak di antara kita mengharuskan diri menggunakan telepon genggam termahal. Bukan karena kita benar-benar memerlukan fungsi HP itu, tapi lebih karena menganggapnya sebagai simbol status. Sebagian besar wakil rakyat, yang katanya mencintai bangsa ini, memakai jenis HP itu. Banyak pula di antara kita yang memilih mebel kursi kulit impor gaya Victoria, atau mebel impor lain. Dalam sebuah foto di majalah beberapa tahun lalu, seorang petinggi KPU terlihat berada di rumah dengan kursi macam itu. Sedangkan banyak petugas hukum seperti polisi dan jaksa gemar memakai kacamata sekelas Cartier. Banyak pejabat negara maupun BUMN tak merasa risi memakai atribut-atribut seperti itu, meskipun hampir seluruh penghasilannya berasal dari negara atau proyek-proyek negara. Sudah saatnya kita lebih menghargai diri (bangsa) sendiri. Salah satunya adalah dengan membatasi diri untuk tidak mudah menghamburkan devisa keluar. Pemerintah bisa memulainya, antara lain, dengan mengharuskan pengadaan barang buat negara hanya yang bermuatan lokal (local content) tertinggi, baik kendaraan, komputer, maupun barang lainnya. Di bidang pertahanan misalnya, semestinya 3/4 bagian dari puluhan triliun anggaran digunakan buat menumbuhkan industri pertahanan di dalam negeri dibanding buat membeli peralatan dari luar. Pak Juwono Sudarsono tentu sangat paham, persoalan terpenting pertahanan adalah sikap mental baru kemudian peralatan. Bukan sebaliknya. Pak Harto jelas sakit. Tapi, dalam sakitnya ia justru menunjukkan mental yang sehat: Mental seorang pemimpin yang mencintai dan percaya pada bangsanya sendiri. -Original Message- From: Sudana, Surya [mailto:[EMAIL PROTECTED] Pak Rovicky ingkang minulyo, Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg setelahnya (karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata membawa Indonesia ke jaman enak. Menurut saya kok gak ada hubungan antara kemampuan berbahasa Inggris dg nasionalisme. Kalo pak Harto tidak pake bhs Inggris saya yakin itu masalah protokoler kepresidenan saja. Pak Harto tidak tahu bahasa Inggris ?? Heee...rasanya kok tidak masuk akal...apalagi seorang Suharto..yg presiden, jendral, ketua ini - itu dll yg kelasnya internasional. Konon katanya alm. Bu Tien juga wasis berbahasa Inggris...itu katanya lho.. Kalo sopir nya saja bisa bhs Inggris mosok si babe Harto gak bisa ...opo tumon ?? merdeka, ss - To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy
RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia
Sahabat, Saya tidak mau terpaku atas istilah nasionalis berdasarkan pemilihan sesuatu yang hanya produk nasional namun penuh dengan kontroversi. Namun saya ingat beberapa pendapat, pertama dari J. F. Kennedy yaitu Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Kamu Berikan Bagi Negara. Jadi lebih kepada prestasi atau usaha yang kita berikan untuk mengharumkan negara kita (serta mensejahterakan rakyatnya). Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi dengan globalisasi saat ini maka pernah pula ada pendapat lainnya oleh Presiden AAPG pada acara IPA Luncheon Talk beberapa waktu yang lalu, tentang Thinking Out Of The Box. Saya menafsirkannya adalah kita harus keluar dari paradigma lama untuk menganalisis semua permasalahan dari luarnya. Marilah kita berikan kontribusi dan prestasi kita dalam bidang apapun bagi harumnya nama Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya, mulai saat ini juga, dari diri kita masing-masing serta dari hal yang paling kecil (keluarga dan pekerjaan kita). Salam buat semua. TAM --- M. Fakhrur Razi [EMAIL PROTECTED] wrote: Pak Harto lebih nasionalis lho pak, lihat aja waktu dia sakit kemaren, dia gak berobat ke luar negeri tuh, tapi milih berobat ke RSPP, rumah sakit nasional dengan dokter nasional juga. Republika Jumat, 13 Mei 2005 Resonansi Ketika Pak Harto Sakit By: zaim uchrowi Kualitas seseorang dapat dilihat dari hal sederhana yang dilakukannya. Itulah yang terjadi pada Pak Harto. Awal pekan, mantan presiden ini jatuh sakit. Sakitnya serius. Ia mengalami perdarahan usus. Untuk seseorang dengan usia 84 tahun, peluang sembuhnya hanya 50 persen. Tapi, di saat sakit seperti itulah kualitas pribadinya justru mencuat. Seperti biasanya bila sakit, Pak Harto tidak berobat ke luar negeri. Ia akan selalu berobat di Indonesia. Tempat berobat langganannya adalah RSP Pertamina. Di sanalah, pekan ini, Pak Harto dirawat. Kalau mau, Pak Harto bisa berobat ke manapun di dunia ini yang dianggap mempunyai kemampuan medis terbaik. Atau setidaknya ke Singapura, seperti yang banyak dilakukan tokoh dan pejabat Indonesia. Termasuk oleh presiden-presiden kita sebelum ini. Tapi, tidak. Ia selalu mempercayakan penanganan kesehatan dirinya pada putra-putra bangsa. Di saat sakit seperti itu, ia menunjukkan karakternya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus yakin dengan kemampuan bangsanya sendiri. Seorang pemimpin justru harus membangkitkan kemampuan bangsa dengan keyakinannya. Ia menunjukkan karakter kepemimpinannya itu dengan langkah nyata. Bukan dengan kata-kata. Sikap Pak Harto itu terasa langka di masa ini. Kesungguhan untuk mengoptimalkan potensi sendiri masih terasa lemah di seluruh lini bangsa. Termasuk pada para tokoh yang secara formal menjadi pemimpinnya. Kita semua seperti kental mewarisi mental bangsa terjajah: Kagum pada segala yang beratribut asing. Sebagian lagi bahkan mengidap penyakit feodal para priyayi: Mau berkuasa dan kaya tanpa harus bersusah payah. Mereka hanya peduli soal ''persenan'', dan tidak pada lainnya. Apalagi menyangkut urusan nasib bangsa. Lemahnya visi berbangsa tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Kita acap menilai kehormatan diri dengan atribut material yang sama sekali tidak berbasis pada kekuatan bangsa sendiri. Atribut itu dapat sekadar berupa telepon genggam atau perabotan rumah. Banyak di antara kita mengharuskan diri menggunakan telepon genggam termahal. Bukan karena kita benar-benar memerlukan fungsi HP itu, tapi lebih karena menganggapnya sebagai simbol status. Sebagian besar wakil rakyat, yang katanya mencintai bangsa ini, memakai jenis HP itu. Banyak pula di antara kita yang memilih mebel kursi kulit impor gaya Victoria, atau mebel impor lain. Dalam sebuah foto di majalah beberapa tahun lalu, seorang petinggi KPU terlihat berada di rumah dengan kursi macam itu. Sedangkan banyak petugas hukum seperti polisi dan jaksa gemar memakai kacamata sekelas Cartier. Banyak pejabat negara maupun BUMN tak merasa risi memakai atribut-atribut seperti itu, meskipun hampir seluruh penghasilannya berasal dari negara atau proyek-proyek negara. Sudah saatnya kita lebih menghargai diri (bangsa) sendiri. Salah satunya adalah dengan membatasi diri untuk tidak mudah menghamburkan devisa keluar. Pemerintah bisa memulainya, antara lain, dengan mengharuskan pengadaan barang buat negara hanya yang bermuatan lokal (local content) tertinggi, baik kendaraan, komputer, maupun barang lainnya. Di bidang pertahanan misalnya, semestinya 3/4 bagian dari puluhan triliun anggaran digunakan buat menumbuhkan industri pertahanan di dalam negeri dibanding buat membeli peralatan dari luar. Pak Juwono Sudarsono tentu sangat paham, persoalan terpenting pertahanan adalah sikap mental baru kemudian peralatan. Bukan sebaliknya. Pak Harto jelas sakit. Tapi, dalam sakitnya ia justru menunjukkan mental yang sehat: Mental seorang pemimpin
RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia
Versi para koruptor : Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Bisa Kamu Ambil Dari Negara Versi pembayar pajak : Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Mestinya Kamu Dapat Dari Negara Versi orang apatis : Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Memang Kamu Bisa Dapat Sesuatu Dari Negara Versi orang easy going : Jangan tanya-tanya aaahh LL -Original Message- From: Taufik Manan [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, May 16, 2005 1:47 PM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia deleted Namun saya ingat beberapa pendapat, pertama dari J. F. Kennedy yaitu Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Kamu Berikan Bagi Negara. Jadi lebih kepada prestasi atau usaha yang kita berikan untuk mengharumkan negara kita (serta mensejahterakan rakyatnya). deleted - To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) -
RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia
Mungkin Nasionalisme perlu didevinisi ulang, Nasionalisme jika mereka dapt memberikan manfaat kepada negara tanpa melihat keberadaannya, kebalikan Tdk Nasionalisme kalau hanya menggerogoti uang negara saja, dll .Seorang TKI/TKW lebih Nasionalis meskipun dia ada LN karena dapat menambah devisa Negara dan menciptakan lapangan kerja, Kebalikannya Mereka yang yang berada di DN dan dg jorgan jorgan Nasionalismenya Tapi hanya menggerogoti uang Negara saja jauh lebih tidak Nasionalis dari pada para TKI/TKW tsb.Jadi yg dilihat dari segi Azas Manfaatnya thd Negara bukan keberadaanya.dll Ism Pak Rovicky ingkang minulyo, Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg setelahnya (karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata membawa Indonesia ke jaman enak. Menurut saya kok gak ada hubungan antara kemampuan berbahasa Inggris dg nasionalisme. Kalo pak Harto tidak pake bhs Inggris saya yakin itu masalah protokoler kepresidenan saja. Pak Harto tidak tahu bahasa Inggris ?? Heee...rasanya kok tidak masuk akal...apalagi seorang Suharto..yg presiden, jendral, ketua ini - itu dll yg kelasnya internasional. Konon katanya alm. Bu Tien juga wasis berbahasa Inggris...itu katanya lho.. Kalo sopir nya saja bisa bhs Inggris mosok si babe Harto gak bisa ...opo tumon ?? merdeka, ss -Original Message- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, May 14, 2005 11:07 AM To: iagi-net@iagi.or.id; Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Subject: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia On 5/13/05, R.P. Koesoemadinata [EMAIL PROTECTED] wrote: Lho sekarang ke mana nasionalismenya Pak Rovicky ini? Waduh, nasionalismeku sudah ketuker dengan Ringgit kali ya. he 3x dibawah sana ada sebuah tulisan ttg nasionalisme, apa iya masih diperlukan ? Bahkan sekarang banyak yg lebih suka dengan istilah Internasionalisme, yg dengan bangga memiliki kemampuan bahasa inggrisnya menganggap bs menjadi warga dunia ketimbang warga Indonesia. Lah pak Harto itu lak ngga mau pakai bhasa inggris, malah pakai penerjemah. bahkan bliau lebih suka pakai bahasa jawa. Hayoo, sapa yg ngga bilang bahwa jaman pak harto lebih enak dari sekarang ? Tapi sapa brani juga bilang Pak Harto lebih baik ? Emang pak Harto itu nasionalis ngga, anda ragu2 ? Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg setelahnya (karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata membawa Indonesia ke jaman enak. Tapi masiih ada juga yg merasa lebih enak menjadi jajahan blanda, banyak yg maju pada jaman blanda dan mundur ketika merdeka ... lebih mundur lagi ketika jaman repotnasi jadi apa iya kita mesti minta balik wong londo ? RDP = - To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) - ___ indomail - Your everyday mail - http://indomail.indo.net.id - To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) -