RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia

2005-05-16 Terurut Topik M. Fakhrur Razi
Pak Harto lebih nasionalis lho pak, lihat aja waktu dia sakit kemaren,
dia gak berobat ke luar negeri tuh, tapi milih berobat ke RSPP, rumah
sakit nasional dengan dokter nasional juga. 



Republika Jumat, 13 Mei 2005
Resonansi
Ketika Pak Harto Sakit
By: zaim uchrowi

Kualitas seseorang dapat dilihat dari hal sederhana yang dilakukannya.
Itulah yang terjadi pada Pak Harto. Awal pekan, mantan presiden ini
jatuh sakit. Sakitnya serius. Ia mengalami perdarahan usus. Untuk
seseorang dengan usia 84 tahun, peluang sembuhnya hanya 50 persen. Tapi,
di saat sakit seperti itulah kualitas pribadinya justru mencuat. Seperti
biasanya bila sakit, Pak Harto tidak berobat ke luar negeri. Ia akan
selalu berobat di Indonesia. Tempat berobat langganannya adalah RSP
Pertamina. Di sanalah, pekan ini, Pak Harto dirawat.

Kalau mau, Pak Harto bisa berobat ke manapun di dunia ini yang dianggap
mempunyai kemampuan medis terbaik. Atau setidaknya ke Singapura, seperti
yang banyak dilakukan tokoh dan pejabat Indonesia. Termasuk oleh
presiden-presiden kita sebelum ini. Tapi, tidak. Ia selalu mempercayakan
penanganan kesehatan dirinya pada putra-putra bangsa.

Di saat sakit seperti itu, ia menunjukkan karakternya sebagai pemimpin.
Seorang pemimpin harus yakin dengan kemampuan bangsanya sendiri. Seorang
pemimpin justru harus membangkitkan kemampuan bangsa dengan
keyakinannya. Ia menunjukkan karakter kepemimpinannya itu dengan langkah
nyata. Bukan dengan kata-kata. 

Sikap Pak Harto itu terasa langka di masa ini. Kesungguhan untuk
mengoptimalkan potensi sendiri masih terasa lemah di seluruh lini
bangsa. Termasuk pada para tokoh yang secara formal menjadi pemimpinnya.
Kita semua seperti kental mewarisi mental bangsa terjajah: Kagum pada
segala yang beratribut asing. 

Sebagian lagi bahkan mengidap penyakit feodal para priyayi: Mau berkuasa
dan kaya tanpa harus bersusah payah. Mereka hanya peduli soal
''persenan'', dan tidak pada lainnya. Apalagi menyangkut urusan nasib
bangsa.

Lemahnya visi berbangsa tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Kita
acap menilai kehormatan diri dengan atribut material yang sama sekali
tidak berbasis pada kekuatan bangsa sendiri. Atribut itu dapat sekadar
berupa telepon genggam atau perabotan rumah. 

Banyak di antara kita mengharuskan diri menggunakan telepon genggam
termahal. Bukan karena kita benar-benar memerlukan fungsi HP itu, tapi
lebih karena menganggapnya sebagai simbol status. Sebagian besar wakil
rakyat, yang katanya mencintai bangsa ini, memakai jenis HP itu.

Banyak pula di antara kita yang memilih mebel kursi kulit impor gaya
Victoria, atau mebel impor lain. Dalam sebuah foto di majalah beberapa
tahun lalu, seorang petinggi KPU terlihat berada di rumah dengan kursi
macam itu. Sedangkan banyak petugas hukum seperti polisi dan jaksa gemar
memakai kacamata sekelas Cartier. 

Banyak pejabat negara maupun BUMN tak merasa risi memakai
atribut-atribut seperti itu, meskipun hampir seluruh penghasilannya
berasal dari negara atau proyek-proyek negara. 

Sudah saatnya kita lebih menghargai diri (bangsa) sendiri. Salah satunya
adalah dengan membatasi diri untuk tidak mudah menghamburkan devisa
keluar. Pemerintah bisa memulainya, antara lain, dengan mengharuskan
pengadaan barang buat negara hanya yang bermuatan lokal (local content)
tertinggi, baik kendaraan, komputer, maupun barang lainnya.

Di bidang pertahanan misalnya, semestinya 3/4 bagian dari puluhan
triliun anggaran digunakan buat menumbuhkan industri pertahanan di dalam
negeri dibanding buat membeli peralatan dari luar. Pak Juwono Sudarsono
tentu sangat paham, persoalan terpenting pertahanan adalah sikap mental
baru kemudian peralatan. Bukan sebaliknya.

Pak Harto jelas sakit. Tapi, dalam sakitnya ia justru menunjukkan mental
yang sehat: Mental seorang pemimpin yang mencintai dan percaya pada
bangsanya sendiri.



-Original Message-
From: Sudana, Surya [mailto:[EMAIL PROTECTED] 

Pak Rovicky ingkang minulyo,

Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg setelahnya
(karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata membawa Indonesia ke
jaman enak.

Menurut saya kok gak ada hubungan antara kemampuan berbahasa Inggris dg
nasionalisme.
Kalo pak Harto tidak pake bhs Inggris saya yakin itu masalah protokoler
kepresidenan saja. Pak Harto tidak tahu bahasa Inggris ?? Heee...rasanya
kok tidak masuk akal...apalagi seorang Suharto..yg presiden, jendral,
ketua ini - itu dll yg kelasnya internasional. Konon katanya alm. Bu
Tien juga wasis berbahasa Inggris...itu katanya lho..
Kalo sopir nya saja bisa bhs Inggris mosok si babe Harto gak bisa ...opo
tumon ?? 

merdeka,
ss

-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy 

RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia

2005-05-16 Terurut Topik Taufik Manan
Sahabat,

Saya tidak mau terpaku atas istilah nasionalis
berdasarkan pemilihan sesuatu yang hanya produk
nasional namun penuh dengan kontroversi.

Namun saya ingat beberapa pendapat, pertama dari J. F.
Kennedy yaitu Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan
Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Kamu Berikan Bagi
Negara. Jadi lebih kepada prestasi atau usaha yang
kita berikan untuk mengharumkan negara kita (serta
mensejahterakan rakyatnya).

Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi dengan
globalisasi saat ini maka pernah pula ada pendapat
lainnya oleh Presiden AAPG pada acara IPA Luncheon
Talk beberapa waktu yang lalu, tentang Thinking Out
Of The Box. Saya menafsirkannya adalah kita harus
keluar dari paradigma lama untuk menganalisis semua
permasalahan dari luarnya.

Marilah kita berikan kontribusi dan prestasi kita
dalam bidang apapun bagi harumnya nama Indonesia dan
kesejahteraan rakyatnya, mulai saat ini juga, dari
diri kita masing-masing serta dari hal yang paling
kecil (keluarga dan pekerjaan kita).

Salam buat semua.

TAM

--- M. Fakhrur Razi [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Pak Harto lebih nasionalis lho pak, lihat aja waktu
 dia sakit kemaren,
 dia gak berobat ke luar negeri tuh, tapi milih
 berobat ke RSPP, rumah
 sakit nasional dengan dokter nasional juga. 
 
 
 
 Republika Jumat, 13 Mei 2005
 Resonansi
 Ketika Pak Harto Sakit
 By: zaim uchrowi
 
 Kualitas seseorang dapat dilihat dari hal sederhana
 yang dilakukannya.
 Itulah yang terjadi pada Pak Harto. Awal pekan,
 mantan presiden ini
 jatuh sakit. Sakitnya serius. Ia mengalami
 perdarahan usus. Untuk
 seseorang dengan usia 84 tahun, peluang sembuhnya
 hanya 50 persen. Tapi,
 di saat sakit seperti itulah kualitas pribadinya
 justru mencuat. Seperti
 biasanya bila sakit, Pak Harto tidak berobat ke luar
 negeri. Ia akan
 selalu berobat di Indonesia. Tempat berobat
 langganannya adalah RSP
 Pertamina. Di sanalah, pekan ini, Pak Harto dirawat.
 
 Kalau mau, Pak Harto bisa berobat ke manapun di
 dunia ini yang dianggap
 mempunyai kemampuan medis terbaik. Atau setidaknya
 ke Singapura, seperti
 yang banyak dilakukan tokoh dan pejabat Indonesia.
 Termasuk oleh
 presiden-presiden kita sebelum ini. Tapi, tidak. Ia
 selalu mempercayakan
 penanganan kesehatan dirinya pada putra-putra
 bangsa.
 
 Di saat sakit seperti itu, ia menunjukkan
 karakternya sebagai pemimpin.
 Seorang pemimpin harus yakin dengan kemampuan
 bangsanya sendiri. Seorang
 pemimpin justru harus membangkitkan kemampuan bangsa
 dengan
 keyakinannya. Ia menunjukkan karakter
 kepemimpinannya itu dengan langkah
 nyata. Bukan dengan kata-kata. 
 
 Sikap Pak Harto itu terasa langka di masa ini.
 Kesungguhan untuk
 mengoptimalkan potensi sendiri masih terasa lemah di
 seluruh lini
 bangsa. Termasuk pada para tokoh yang secara formal
 menjadi pemimpinnya.
 Kita semua seperti kental mewarisi mental bangsa
 terjajah: Kagum pada
 segala yang beratribut asing. 
 
 Sebagian lagi bahkan mengidap penyakit feodal para
 priyayi: Mau berkuasa
 dan kaya tanpa harus bersusah payah. Mereka hanya
 peduli soal
 ''persenan'', dan tidak pada lainnya. Apalagi
 menyangkut urusan nasib
 bangsa.
 
 Lemahnya visi berbangsa tampak jelas dalam kehidupan
 sehari-hari. Kita
 acap menilai kehormatan diri dengan atribut material
 yang sama sekali
 tidak berbasis pada kekuatan bangsa sendiri. Atribut
 itu dapat sekadar
 berupa telepon genggam atau perabotan rumah. 
 
 Banyak di antara kita mengharuskan diri menggunakan
 telepon genggam
 termahal. Bukan karena kita benar-benar memerlukan
 fungsi HP itu, tapi
 lebih karena menganggapnya sebagai simbol status.
 Sebagian besar wakil
 rakyat, yang katanya mencintai bangsa ini, memakai
 jenis HP itu.
 
 Banyak pula di antara kita yang memilih mebel kursi
 kulit impor gaya
 Victoria, atau mebel impor lain. Dalam sebuah foto
 di majalah beberapa
 tahun lalu, seorang petinggi KPU terlihat berada di
 rumah dengan kursi
 macam itu. Sedangkan banyak petugas hukum seperti
 polisi dan jaksa gemar
 memakai kacamata sekelas Cartier. 
 
 Banyak pejabat negara maupun BUMN tak merasa risi
 memakai
 atribut-atribut seperti itu, meskipun hampir seluruh
 penghasilannya
 berasal dari negara atau proyek-proyek negara. 
 
 Sudah saatnya kita lebih menghargai diri (bangsa)
 sendiri. Salah satunya
 adalah dengan membatasi diri untuk tidak mudah
 menghamburkan devisa
 keluar. Pemerintah bisa memulainya, antara lain,
 dengan mengharuskan
 pengadaan barang buat negara hanya yang bermuatan
 lokal (local content)
 tertinggi, baik kendaraan, komputer, maupun barang
 lainnya.
 
 Di bidang pertahanan misalnya, semestinya 3/4 bagian
 dari puluhan
 triliun anggaran digunakan buat menumbuhkan industri
 pertahanan di dalam
 negeri dibanding buat membeli peralatan dari luar.
 Pak Juwono Sudarsono
 tentu sangat paham, persoalan terpenting pertahanan
 adalah sikap mental
 baru kemudian peralatan. Bukan sebaliknya.
 
 Pak Harto jelas sakit. Tapi, dalam sakitnya ia
 justru menunjukkan mental
 yang sehat: Mental seorang pemimpin 

RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia

2005-05-16 Terurut Topik Leonard Lisapaly

Versi para koruptor :
Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Bisa Kamu 
Ambil Dari Negara 

Versi pembayar pajak :
Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Yang Mestinya 
Kamu Dapat Dari Negara

Versi orang apatis :
Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa Memang Kamu 
Bisa Dapat Sesuatu Dari Negara

Versi orang easy going :
Jangan tanya-tanya aaahh 


LL

-Original Message-
From: Taufik Manan [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, May 16, 2005 1:47 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia

deleted

Namun saya ingat beberapa pendapat, pertama dari J. F.
Kennedy yaitu Jangan Tanya Apa Yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyalah Apa 
Yang Kamu Berikan Bagi Negara. Jadi lebih kepada prestasi atau usaha yang kita 
berikan untuk mengharumkan negara kita (serta mensejahterakan rakyatnya).

deleted

-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
-



RE: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia

2005-05-16 Terurut Topik mail
Mungkin Nasionalisme perlu didevinisi ulang,
Nasionalisme jika mereka dapt memberikan manfaat kepada negara
tanpa melihat keberadaannya, kebalikan Tdk Nasionalisme kalau
hanya menggerogoti uang negara saja, dll .Seorang TKI/TKW lebih Nasionalis 
meskipun dia ada LN karena
dapat menambah devisa Negara dan menciptakan lapangan kerja,
Kebalikannya Mereka yang yang berada di DN dan dg jorgan jorgan
Nasionalismenya Tapi hanya menggerogoti uang Negara saja jauh
lebih tidak Nasionalis dari pada para TKI/TKW tsb.Jadi yg dilihat dari segi 
Azas Manfaatnya thd Negara bukan
keberadaanya.dll
Ism

 Pak Rovicky ingkang minulyo,

 Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg
 setelahnya (karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata
 membawa Indonesia ke jaman enak.

 Menurut saya kok gak ada hubungan antara kemampuan berbahasa
 Inggris dg nasionalisme.
 Kalo pak Harto tidak pake bhs Inggris saya yakin itu masalah
 protokoler kepresidenan saja. Pak Harto tidak tahu bahasa
 Inggris ?? Heee...rasanya kok tidak masuk akal...apalagi
 seorang Suharto..yg presiden, jendral, ketua ini - itu dll
 yg kelasnya internasional. Konon katanya alm. Bu Tien juga
 wasis berbahasa Inggris...itu katanya lho..
 Kalo sopir nya saja bisa bhs Inggris mosok si babe Harto gak
 bisa ...opo tumon ??

 merdeka,
 ss

 -Original Message-
 From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Sent: Saturday, May 14, 2005 11:07 AM
 To: iagi-net@iagi.or.id; Himpunan Ahli Geofisika Indonesia
 (HAGI)
 Subject: [iagi-net-l] Kebanggaan Bernama Indonesia


 On 5/13/05, R.P. Koesoemadinata [EMAIL PROTECTED]
 wrote:
 Lho sekarang ke mana nasionalismenya Pak Rovicky ini?

 Waduh, nasionalismeku sudah ketuker dengan Ringgit kali ya.
 he 3x

 dibawah sana ada sebuah tulisan ttg nasionalisme, apa iya
 masih
 diperlukan ?
 Bahkan sekarang banyak yg lebih suka dengan istilah
 Internasionalisme, yg dengan bangga memiliki kemampuan
 bahasa
 inggrisnya menganggap bs menjadi warga dunia ketimbang warga
 Indonesia.
 Lah pak Harto itu lak ngga mau pakai bhasa inggris, malah
 pakai
 penerjemah. bahkan bliau lebih suka pakai bahasa jawa.
 Hayoo, sapa yg ngga bilang bahwa jaman pak harto lebih enak
 dari sekarang ? Tapi sapa brani juga bilang Pak Harto lebih
 baik ? Emang pak Harto itu
 nasionalis ngga, anda ragu2 ?
 Apa iya Pak Harto lebih nasionalis ketimbang pemimpin yg
 setelahnya (karena tidak tahu bahasa Inggris), dan ternyata
 membawa Indonesia ke jaman enak.

 Tapi masiih ada juga yg merasa lebih enak menjadi jajahan
 blanda, banyak yg maju pada jaman blanda dan mundur ketika
 merdeka ... lebih mundur lagi ketika jaman repotnasi 
 jadi apa iya kita mesti minta balik wong londo ?

 RDP
 =

 - To 
 unsubscribe, send email to:
 [EMAIL PROTECTED]
 To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
 Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
 IAGI-net Archive 1:
 http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net
 Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
 Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy
 Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : 
 Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
 Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
 Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
 Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau
 [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi
 Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi :
 Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
 -


___
indomail - Your everyday mail - http://indomail.indo.net.id



-
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
-