Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan sangat jelas keterlibatannya dalam collision. RPK - Original Message - From: Ben Sapiie [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] FYI, telah diterbitkan berupa buku, The Collisional Delamination in New Guinea GSA Special Paper 400. Kebetulan saya salah satu Authornya, model tektonik yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja. Salam, Ben Sapiie - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) - - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
FYI, telah diterbitkan berupa buku, The Collisional Delamination in New Guinea GSA Special Paper 400. Kebetulan saya salah satu Authornya, model tektonik yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja. Salam, Ben Sapiie - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka argumenasi bisa lebih terarah. Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp. 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented. Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau punya alat sekuensing (yang mahal harganya). Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap bagi kami molecular biologist, punya genetic marker untuk menentukan masing-masing kedudukan living organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik) dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang namanya bioinformatics yang urusannya membantu para ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman genetiknya bagaimana dan lain-lain. Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in using DNA sequence for your own research, it is up to you, folks. wassalam, Trina Original Message Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: -- Teman2, Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur.
Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Memang ujungnya harus dibedakan antara perlu dan ingin... Mirip bikin logging program, inginnya sih semua di run supaya ada overlap data yang bisa dipakai konfirmasi, tapi khan tidak perlu se-ideal itu... bisa-bisa AFEnya gak lolos he he he Namun sebagai riset dasar, kenapa tidak...? salam, - Original Message - From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Sent: Thursday, February 09, 2006 6:54 PM Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka argumenasi bisa lebih terarah. Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp. 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented. Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau punya alat sekuensing (yang mahal harganya). Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10 pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap bagi kami molecular biologist, punya genetic marker untuk menentukan masing-masing kedudukan living organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik) dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang namanya bioinformatics yang urusannya membantu para ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman genetiknya bagaimana dan lain-lain. Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in using DNA sequence for your own research, it is up to you, folks. wassalam, Trina
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai. Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu. Memang mahal sekali ya ? Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia (80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys, merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika, Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus 7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700 tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD, 1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum, low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ? Salam, Maryanto. -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka argumenasi bisa lebih terarah. Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp. 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented. Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu Rp. 165.000 or so. Modalnya
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,low-stand. Mar, Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Salam, US -Original Message- From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai. Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu. Memang mahal sekali ya ? Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia (80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys, merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika, Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus 7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700 tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD, 1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum, low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ? Salam, Maryanto. -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR. Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya
RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]
Asyiiik, ada Pak Ukat komentar. Bagus. Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Apa ada data yang menunjangnya Pak Ukat? Minta datanya dong. Apa skala pereodenya sama pada tiap analisa ? Misal 7 annum, 70 a, 700 a, 7 Ka, , 70 ka, ..., 7 Ma, 70 Ma, 700 Ma. Juga seberapa simpangan (error) pengukurannya ? Wassalam, maryanto. -Original Message- From: Ukat Sukanta [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:32 AM To: [EMAIL PROTECTED] Cc: iagi-net@iagi.or.id Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,low-stand. Mar, Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand dimana-mana. Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus compresi. Salam, US -Original Message- From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]] Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai. Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu. Memang mahal sekali ya ? Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia (80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys, merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika, Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus 7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700 tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD, 1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum, low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ? Salam, Maryanto. -Original Message- From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi. Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV. Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor). Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: -- Forwarded message -- -- Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer