Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-14 Terurut Topik R.P. Koesoemadinata
Buku ini sangat baik, saya sangat terkesan membacanya. Untuk peserta kuliah 
Geoconcepts S-2 Caltex saya anjurkan, karena juga menjelaskan collision 
serta pengertian lithosphere -asthenosphere, mantle dan earth's crust dengan 
sangat jelas keterlibatannya dalam collision.

RPK
- Original Message - 
From: Ben Sapiie [EMAIL PROTECTED]

To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Monday, February 13, 2006 8:49 PM
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: 
[iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]



FYI, telah diterbitkan berupa buku, The Collisional Delamination in New 
Guinea GSA Special Paper 400.  Kebetulan saya salah satu Authornya, model 
tektonik  yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang 
sudah-2. Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master 
thesis di University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan 
hubungi saya lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at 
USD30.00) saya tidak mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat 
saya dapat membuatkan copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja.


Salam,

Ben Sapiie


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id

Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau 
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)

Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-




-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-13 Terurut Topik Ben Sapiie
FYI, telah diterbitkan berupa buku, The Collisional Delamination in New 
Guinea GSA Special Paper 400.  Kebetulan saya salah satu Authornya, model 
tektonik  yang kita presentasikan disini berbeda dengan model yang sudah-2. 
Buku ini merupakan hasil rangkuman dari 4 disertasi dan 1 master thesis di 
University of Texas at Austin. Bagi yang berminat silahkan hubungi saya 
lewat japri. Berhubung ini berupa buku (GSA price at USD30.00) saya tidak 
mempunyai versi digitalnya, tapi bagi yang berminat saya dapat membuatkan 
copynya tinggal ganti biaya fotocopynya saja.


Salam,

Ben Sapiie 




-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Terurut Topik Awang Satyana
Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai untuk 
menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands (pisahan), 
tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA polymerase (ini 
sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan primer. Masuk ke 
siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi dua DNA strands dan 
tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi.
   
  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan eksentrik 
yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin eksentrik saja. 
Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan disebabkan HIV.
   
  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan penguraian 
sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ? Kalau kita 
hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan. Lagipula taxa 
dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan penerusnya yang hidup pada 
masa kini. Silakan baca History of Tropical Mangrove, yang bercerita tentang 
polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal 
di Bogor).
   
  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset, bukan 
untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
   
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  -- Forwarded message --
--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya
kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa
DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah
yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan
PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens
DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita
amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik
primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan
kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat,
sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai
adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun
yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya
nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR,
dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau
alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu
seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita
bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR.

Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa
tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis
molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap
rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti
yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya
argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka
argumenasi bisa lebih terarah.

Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di
Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di
Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp.
100.000, ya wajar karena mereka profit oriented.
Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali
running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang
sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for
Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu
Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau
punya alat sekuensing (yang mahal harganya).

Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10
pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing
kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap
bagi kami molecular biologist, punya genetic marker
untuk menentukan masing-masing kedudukan living
organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam
sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable
(yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan
oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan
untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik)
dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat
terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di
atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang
namanya bioinformatics yang urusannya membantu para
ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan
kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi
taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan
evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman
genetiknya bagaimana dan lain-lain.

Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in
using DNA sequence for your own research, it is up to
you, folks.

wassalam,
Trina


  Original Message
 
 Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re:


--

 Teman2,

 Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang
 analisis DNA untuk fosil
 polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut
 ilmu pengetahuan hal
 tersebut ya sah-sah saja.
 Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut
 saja paleo-DNA untuk
 fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari
 fosil Bovidae (kelompok
 kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah
 dari Formasi Kabuh,
 Perning, Jawa Timur. 

Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Terurut Topik Noor Syarifuddin
Memang ujungnya harus dibedakan antara perlu dan ingin...
Mirip bikin logging program, inginnya sih semua di run supaya ada overlap
data yang bisa dipakai konfirmasi, tapi khan tidak perlu se-ideal itu...
bisa-bisa AFEnya gak lolos he  he  he

Namun sebagai riset dasar, kenapa tidak...?

salam,


- Original Message -
From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, February 09, 2006 6:54 PM
Subject: Re: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re:
[iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


 Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan lagi
dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA teramplifikasi.

   Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.

   Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram ?
Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah .. berlebihan.
Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan dengan
penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of Tropical
Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini, oleh Bob Morley
(palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).

   Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.

   salam,
   awang

 Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
   -- Forwarded message --
 --

 Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya
 kurang lebih begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa
 DNA dalam fosil sudah terfragmentasi dan dalam jumlah
 yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi menggunakan
 PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens
 DNA pembantu yang mengapit DNA yang akan kita
 amplifikasi. Kalau tujuan forensik dan diagnostik
 primernya sudah tersedia secara komersial. Kemungkinan
 kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat,
 sehingga DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai
 adaptor (ini sudah terlalu teknis), jadi DNA mana pun
 yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi. Saya
 nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
 teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR,
 dari hasil PCR awal yang tidak terdeteksi. Kalau
 alatnya menggunakan real time PCR, kita bisa tahu
 seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita
 bisa estimasi perlu tidaknya re-PCR.

 Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa
 tanpa DNA saja sudah cukup dan bahwa analisis
 molekuler dalam biostratigrafi atau lainnya dianggap
 rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti
 yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya
 argumentasi, dan mestinya kalau pijakannya sama maka
 argumenasi bisa lebih terarah.

 Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di
 Mikro UI (dan di tempat-tempat lain, misalnya di
 Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di atas Rp.
 100.000, ya wajar karena mereka profit oriented.
 Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali
 running. Yang mahal adalah sekuensing DNAnya yang
 sejauh ini masih dilakukan di Eijkman Institute for
 Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu
 Rp. 165.000 or so. Modalnya ga sampai segitu lah kalau
 punya alat sekuensing (yang mahal harganya).

 Perlu diketahui juga bahwa walaupun sekuens DNA itu 10
 pangkat sembilan panjangnya untuk masing-masing
 kromosom (kalau di urai bisa mengelilingi bumi), tetap
 bagi kami molecular biologist, punya genetic marker
 untuk menentukan masing-masing kedudukan living
 organism dalam pohon filogenetiknya, karena dalam
 sekuens DNA itu ada yang namanya highly variable
 (yaitu urutan DNAnya sangat bervariasi, disebabkan
 oleh rentannya mutasi di daerah tersebut, digunakan
 untuk menentukan subspesies bahkan spesies kriptik)
 dan yang higly conserved, yaitu DNA yang sangat
 terkonservasi untuk menentukan kedudukan taksonomi di
 atas ordo. Dan kami juga punya bidang ilmu yang
 namanya bioinformatics yang urusannya membantu para
 ahli filogenetik untuk menjajarkan sekuens DNA dan
 kemudian menempatkan masing-masing ke dalam posisi
 taksonominya, otomatis keluar dengan titik percabangan
 evolusinya ada di mana, indeks keanekaragaman
 genetiknya bagaimana dan lain-lain.

 Jadi, kesimpulan whether or not you are interested in
 using DNA sequence for your own research, it is up to
 you, folks.

 wassalam,
 Trina

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Terurut Topik Maryanto (Maryant)

Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih
bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics
lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter
physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding
rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai.

Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih
suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal
science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu.
Memang mahal sekali ya ?

Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di
ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia
(80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh
manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys,
merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya
lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala
arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika,
Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin. 

Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila
siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu
yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus
7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700
tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD,
1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya
seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global
temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,
low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ?


Salam,
Maryanto.



-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 

Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan
lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA
teramplifikasi.
   
  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
   
  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram
? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah ..
berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan
dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of
Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini,
oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
   
  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
   
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  -- Forwarded message --

--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih
begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah
terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi
menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA
pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan
forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial.
Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga
DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu
teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi.
Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal
yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita
bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa
estimasi perlu tidaknya re-PCR.

Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja
sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau
lainnya dianggap rame-ramein saja, itu sih mah sah-sah saja, seperti
yang saya bilang di awal, masing-masing peneliti punya argumentasi, dan
mestinya kalau pijakannya sama maka argumenasi bisa lebih terarah.

Tentang mahalnya PCR, sebetulnya ga juga. Kalau di Mikro UI (dan di
tempat-tempat lain, misalnya di Biotek UNPAD, dll) sekali PCR bisa di
atas Rp.
100.000, ya wajar karena mereka profit oriented.
Sebetulnya modalnya ga sampai Rp 40.000 sekali running. Yang mahal
adalah sekuensing DNAnya yang sejauh ini masih dilakukan di Eijkman
Institute for Molecular Biology di Jakarta, sekali sekuensing itu Rp.
165.000 or so. Modalnya 

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Terurut Topik Ukat Sukanta

Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah,
compressi lempeng maximum,low-stand.

Mar,

Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand.
Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.

Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Salam,
US

-Original Message-
From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
--Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih
bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics
lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter
physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding
rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai.

Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih
suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal
science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu.
Memang mahal sekali ya ?

Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di
ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia
(80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh
manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys,
merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya
lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala
arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika,
Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin.

Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila
siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu
yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus
7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700
tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD,
1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya
seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global
temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,
low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ?


Salam,
Maryanto.



-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan
lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA
teramplifikasi.
  
  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
  
  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram
? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah ..
berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan
dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of
Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini,
oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
  
  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
  
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  -- Forwarded message --

--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih
begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah
terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi
menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer, yaitu sekuens DNA
pembantu yang mengapit DNA yang akan kita amplifikasi. Kalau tujuan
forensik dan diagnostik primernya sudah tersedia secara komersial.
Kemungkinan kegagalan amplifikasi karena primernya tidak tepat, sehingga
DNA tidak teramplifikasi. Sebaiknya pakai adaptor (ini sudah terlalu
teknis), jadi DNA mana pun yang sudah terfragmentasi bisa diamplifikasi.
Saya nggak tau apakah ini juga sudah dilakukan. Kalau tidak
teramplifikasi, bisa dilakukan yang namanya re-PCR, dari hasil PCR awal
yang tidak terdeteksi. Kalau alatnya menggunakan real time PCR, kita
bisa tahu seberapa banyak DNA yang teramplifikasi sehingga kita bisa
estimasi perlu tidaknya re-PCR.

Menurut Bapak-bapak yang lainnya yang menganggap bahwa tanpa DNA saja
sudah cukup dan bahwa analisis molekuler dalam biostratigrafi atau
lainnya

RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]

2006-02-09 Terurut Topik Maryanto (Maryant)
 

Asyiiik, ada Pak Ukat komentar. Bagus.

 Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand. 
 Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.
 Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Apa ada data yang menunjangnya Pak Ukat? Minta datanya dong. 
Apa skala pereodenya sama pada tiap analisa ? Misal 7 annum, 70 a, 700
a, 7 Ka, , 70 ka, ..., 7 Ma, 70 Ma, 700 Ma.  

Juga seberapa simpangan (error) pengukurannya ? 

Wassalam,
maryanto.

-Original Message-
From: Ukat Sukanta [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Friday, February 10, 2006 7:32 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
--Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Waktu migrasi, ya wajtu global temperature rendah, muka laut rendah,
compressi lempeng maximum,low-stand.


Mar,

Kalau global temperature rendah, tidak harus low-stand.

Kalau muka air laut rendah secara regional, tidak juga harus low-stand
dimana-mana.

Kalau global temperature rendah, muka laut rendah, juga tidak harus
compresi.

Salam,
US

-Original Message-
From: Maryanto (Maryant) [mailto:[EMAIL PROTECTED]

Sent: Friday, February 10, 2006 7:02 AM
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: Fwd: [Fwd: Re: [Fwd: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil
--Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta]]


Dugaan saya, pembentukan evolusi life dengan analisa DNA akan lebih
bak di banding dengan tanpa itu dan misal dengan kenampkaan physics
lainnyaa. Alat-ku, kalender SALAM- di turunkan dari banyak parameter
physics, perlihatkan rekaan evolusi dng DNA lebih baik bila di banding
rekaan tanpa DNA. Ini data Mader 1983 saya pakai.

Pointnya, kalau sudah ada rekaan evolusi (life) dng DNA, tentu aku lebih
suka memakainya. Ini dugaanku akan tunjukkan umur lebih baik. Natutal
science yang lain memang harus di perhatikan, misalnya ekonomi itu.
Memang mahal sekali ya ?

Discovery seminggu lalu saya lihat bagaimana evolusi manusia di
ceritakan. Yang saya tangkap ceritanya begini. Mulai dari Mesopotamia
(80.000 annum lalu) (deviasi 15.000 tahun ?), menjadi sumber seluruh
manusia dunia sekarang. Ini daerah pertemuan Gonwana dan Laut Tethys,
merupakan sungai Tigris dan Euphrat, juga daerah subur dekatnya ya
lembah sungai Pakistan. Migrasi manusia dari situ masa itu, ke segala
arah, termasuk ke Eropa, yang menggantikan Neanderthal. Juga ke Afrika,
Asiatimur, Selat Bering, Amerika. Migrasi adalah waktu dingin.


Kalau saya kaitkan dengan siklus-ku, (amplitudo lebih kecil bila
siklusnya lebih pendek), siklus dingin 70.000 adalah 87.500 BC, lalu
yang relatif sama kondisinya dengan th. 17.500 BC. Dengan siklus
7.000-nya, yakni 17.500 BC, 10.500 BC, 3.500 BC. Dan siklus 700
tahunnya, adalah 3500 BC, 2800BC, 2100BC, 1400BC, 700 BC, 0, 700 AD,
1400AD, 2100AD (sekarang), akan ada 2800AD, dst. Dingin di 17.500 BC ya
seluruh sundaplate tak di batasi laut. Waktu migrasi, ya wajtu global
temperature rendah, muka laut rendah, compressi lempeng maximum,
low-stand. Yah, kecocokan tinggi juga dengan analisa discovery itu ?


Salam,
Maryanto.



-Original Message-
From: Awang Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED]


Tolong disebutkan saja PCR = polymerase chain reaction, reaksi berantai
untuk menguatkan DNA. Dari satu molekul DNA dipisahkan dua DNA strands
(pisahan), tambahkan primer-nya. Masuk ke siklus pertama tambahkan DNA
polymerase (ini sejenis enzim), lalu pisahkan dua DNA strands, tambahkan
primer. Masuk ke siklus kedua tambahkan lagi DNA polymerase, pisahkan
lagi dua DNA strands dan tambah lagi primer, dst, dst sampai DNA
teramplifikasi.
  

  Metode amplifikasi DNA melalui PCR ditemukan Kary Mullis, ilmuwan
eksentrik yang dihadiahi nobel kimia tahun 1993. Sejak itu dia makin
eksentrik saja. Kredibilitasnya rusak saat dia berteori bahwa AIDS bukan
disebabkan HIV.
  

  Kalau ke Tarsius sp (sejenis monyet mini) memang perlu dilakukan
penguraian sekuen DNA untuk lebih memahaminya, kalau ke polen atau foram
? Kalau kita hanya ingin mengenal taxa-nya atau spesiesnya, ah ..
berlebihan. Lagipula taxa dan spesies polen atau foram sudah dibuktikan
dengan penerusnya yang hidup pada masa kini. Silakan baca History of
Tropical Mangrove, yang bercerita tentang polen purba dan masa kini,
oleh Bob Morley (palinologist terkenal yang tinggal di Bogor).
  

  Buat saya, DNA untuk polen/foram hanya bagus (mungkin) untuk riset,
bukan untuk routine job. Morfometrik telah terbukti bagus buat mereka.
  

  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  -- Forwarded message --

--

Mengapa analisis DNAnya tidak berhasil, penjelasannya kurang lebih
begini. Saya jelaskan sebelumnya bahwa DNA dalam fosil sudah
terfragmentasi dan dalam jumlah yang sangat sedikit. Untuk diamplifikasi
menggunakan PCR kita memerlukan yang namanya primer