Dibalik Kesengsaraan Anak Tiri
Cerpen:
Dhienna Defianti
Kugoreskan kuas jingga ini
diatas kanvas putih yang suci tanpa noda. Sesuai dengan harapanku, aku tak lupa
membumbuinya dengan mutiara-mutiara pujangga dibaliknya. Kusimpan tas dan
jaketku, sesampainya aku dirumah. Dan bersegera aku kehalaman belakang buat
melakukan kebiasaan yang selalu aku lakukan, merenung, melukis dan bersajak. Bagaikan
seorang pujangga. Mengagumi indahnya dunia, merasakan kebahagiaan-kebahagian
dari hewan yang beterbangan dilangit luas. Betapa bahagia mereka dan menikmati
semuanya dengan bebas melayangkan sayapnya hingga ke nirwana. Andai aku seperti burung yang bisa
melakukan hal-hal yang aku inginkan.
"Sandra, siapkan makan siang. Cepat!".... bersegera aku untuk
menyembunyikan peralatan-peralatanku, jangan sampai terlihat oleh ibu dan adik
tiriku Sandra. Agar mereka tak akan pernah mengetahui apa yang menjadi
kebiasaanku selama ini, dan mungkin mereka tak pernah mau tahu. Tapi mereka
sudah ku anggap seperti bagian dari hidup, seperti adik dan ibu ku sendiri,
meskipun ku punya ibu kandung. Tapi aku tak pernah menjumpainya sekali pun, ia
meninggal setelah melahirkanku.
"Aduh ma, kok Sandra sih kan ada Astrid!" dengan ketusnya Sandra
menyerukan kalimat agar ibunya melontarkan permintaaanya kepada anak tirinya,
aku. Padahal aku baru saja menginjakkan kakiku setelah seharian menuntut ilmu
di kampus. Mama Sofia emang terlalu sayang sama Sandra anak tunggalnya. Tapi,
apapun yang mereka lakukan terhadapku. Aku selalu ingin memberikan bantuan yang
terbaik buat mereka, tanpa ada rasa kesal dan dendam. Aku tetap melaksanakan
perintah mama Sofia, karena dia yang telah menggantikan ibuku merawat dan
membesarkanku, meski penuh dengan duri dan dendam didalamnya.
"Astrid, gimana tugas praktik kamu, sudah diselesaikan?" Ria
tiba-tiba menghampiriku dengan membawa buku-buku, yang aku sendiri nggak tahu
buku apa... belum Ria jawabku. Bagaimana
dengan tugas bahan-bahan soal binatang yang dilindungi di Indonesia? Aku hanya mengangguk, oh.. kalo gitu aku ntar coba lihat gimana
penyelesaiannya dirumah kamu ya trid, boleh, jawabku hanya iya dan tidak.
Itulah jawaban cewek cuek ini.
Memenjarakan impian-impianku Hingga aku lapar dan haus Untuk mendapatkan
martabat dan kejayaan... Selagi aku asyik dengan sajak-sajak yang ku tulis,
terlintas dari kejauhan sesosok wanita cantik yang sedang berjalan dengan
gayanya yang modis menghampiriku. Dan aku tak tahu apa tujuannya. "Eh
wanita kuper dan udik, ini daerah kekuasan gue. Loe kenapa ada disini,
mendiangn loe lari sebelum kepang rambut loe gue ikat ditiang listrik!"
dia Olivia yang nggak pernah puas nyakitin perasaan aku. "Maaf aku hanya
kebetulan lewat, jadi duduk sebentar dihalaman ini?" dengan sabarnya aku
menjawab semua pertanyaan dari anak kurang ajar dan nggak tahu adat, Olivia.
Sebenarnya ada apa didalam diriku sehingga si primadona Olivia bisa bersikap
iri dan selalu mencari-cari kesalahanku, dari gayanya yang fashionable aja aku
udah kebanting, apalagi dengan keelokan tubuhnya dan kecantikannya. Dan aku
yang bisa dikatakan kuper abis, nggak pernah sama sekali ngikutin trend atau
mode zaman sekarang, aku juga berkaca mata tebal. Sedangkan Olivia, selalu menggunakan
soflen buat menutupi matanya yang minus.
"As....as...!" "Ehmmm...?!?" aku kaget ada apa dengan Ryan.
Si favorite kampus memanggilku. Padahal aku sedang ayik dengan puisi-puisi yang
sedang aku baca ditaman, dekat perpustakaan kelasku. "As Astrid maaf
ngeganggu, boleh pinjam pulpen nggak?" aku nggak sempat ke koperasi
nih!!!! Tanya Ryan dengan sopannya. "Ohh.. boleh aja nggak
kenapa-kenapa!" dengan gugupnya aku memberikan pulpenku ke Ryan, abis
mimpi apa ya aku semalam sampai bisa ngobrol sama raja kampus yang
guantenggggggg buaaanget...
"Nggg.....ng......"
isak tangisku. "Ayah...Astrid janji akan selalu mendengarkan semua
perkataan dan nasehat ayah.!" "Tapi ayah jangan tinggalkan Astrid
sendiri." Dokter mengelus punggungku dan memintaku sabar dan tabah dalam
menjalani semua ini. "Ayaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh" di rumah sakit
yang penuh dengan air mata kepedihan, aku meringis sedih karena orang tua yang
menyayangiku sepenuh hatinya telah tiada, pergi menghadap yang maha kuasa. Dan
kini aku telah menjadi anak yatim piatu. Keluargaku yang tersisa hanya ibu dan
adik tiriku.
"Ahhh....hmmm Astafirullah hal'azim ahhhh mmmm. Ternyata hanya mimpi
buruk, ya Allah ya Tuhanku kenapa aku selalu memimpikan ayah dalam keadaan
sakit, mudah-mudahan ayah baik-baik saja. Setelah terbangun dari mimpiku aku
berusaha menenangkan jiwaku yang galau dan kacau, baru saja aku mulai tenang
dengan apa yang aku dengar, suara gema adzan memanggil umatnya untuk menghadap
sang ilahi" Tapi begitu fajar tiba aku harus sibuk mempersiapkan kebutuhan
jasmani rohaniah ibu dan adik tiriku.
Hari ini tepat usiaku yang ke-20 tahun aku hidup bersama dengan ibu tiri dan
adik tiriku. Selama 20 tahun juga hidupku tidak ada menyimpan kebahagiaan yang
mendalam. Jalan yang aku lewati begitu banyak rintangan dan kerikil yang harus
aku lalui, walaupun demikian aku selalu bersyukur karena jalan yang ku tempuh
tidak licin dan berliku-liku, yang mengakibatkan aku jatuh terduduk. Sedangkan
jalan yang saat ini aku lalui, hanya banyak membuatku tersandung dengan
batu-batu kerikil yang ada, tapi aku akan terus berusaha buat kembali bangun
untuk berdiri. Terkadang di hari ulang tahunku aku malah tidak senang dengan
sikap ayah yang selalu memberikan surprise yang berlebihan buatku setiap pulang
kuliah. Bagiku ulang tahuan bukanlah berarti harus berfoya-foya menghabiskan
uang, ulang tahun adalah peringatan dari yang diatas, bahwa berkurang lagi
setahun kesempatanku buat hidup. Dan usia semakin hari semakin bertambah dan
semakin dekat dengan ilahi.
Saat aku meletakkan tas kuliahku dimeja kelas, saat aku menggali ilmu. Aku
menemukan kue tar yang bertuliskan "ASTRID AULIAZA" namaku. Siapa
yang meletakkan ini, dan untuk apa semua ini? Tak lama kemudian di kelas terdengar paduan suara. Teman-teman
menyanyikan lagu HAPPY BIRTHDAY buatku. Aku tak bisa lagi menahan haru
dimataku, seiring lagu yang dilantunkan buatku, begitu juga dengan air mata
yang berjatuhan dipipiku. Mereka semua jadi tahu kapan aku lahir, ini pasti
kerjaannya Ria. Hanya dia yang paling dekat sama aku, dan aku juga bisa
memberikan potongan-potongan kue ini buat adik dan ibu tiriku serta Ryan si
raja kampus, untuk berbagi kebahagiaan. Kini aku telah merayakan kebahagiaan
yang mendalam, walaupun datangnya bukan dari keluargaku.
"Tidak ada kejutan, tidak ada tar dan perayaan disini!"
"Iya papa jahat. Nggak, pokoknya nggak boleh semua ini dipersiapkan hanya
buat merayakan ulang tahun Astrid, saat aku ulang tahun papa nggak pernah
meng-handle semuanya, malah menyuruh orang lain yang mengerjakannya". Suara
riuh itu kedengaran sampai diujung pagar, aku pun ragu-ragu buat membukanya,
perlahan aku masuk, karena ada kata-kata yang nggak enak buat didengar.
Ternyata emang benar, adik dan ibu tiriku bertentangan pendapat sama papa yang
ingin merayakan hari ulang tahunku, padahal ini emang sudah setiap tahun
dilakukan papa. Kenapa baru sekarang mereka bicara kalo mereka nggak setuju.
Aku bahkan nggak mau keluar kamar setelah keadaan mereda, aku hanya memilih
beristirahat ketimbang mendengarkan pembicaraan yang seharusnya tidak aku
dengarkan. Karena aku lelah seharian harus mengejar nilaiku yang hasilnya
kurang memuaskan. Aku dapat nilai A-, aku takkan pernah mau menerimanya. Aku
ingin semua nilaiku dapat A+.
"Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu jadi bagian dalam hidupku dan aku
ingin kamu yang merawat anak-anak ku nanti. Aku mohon jawablah detik ini
juga!" Ryan memaksa aku buat menjawab pertanyaan yang membuatku terkaget.
Astafirullah hal'azim, mimpi, mimpi, mimpi ini lagi. Entah sudah yang keberapa
kalinya aku selalu memimpikan tentang ayah dan Ryan. Hampir setiap malam mimpi
itu selalu menghantuiku. Anehnya itu semua selalu terulang saat aku berada
dialam bawah sadar. Mengapa????
Dua minggu kemudian... Lima hari sudah aku tidak masuk kampus, karena papaku dirawat
dirumah sakit ruangan ICU karena sakit liver yang sudah gawat sekali. 5 hari
juga aku tak pulang kerumah hanya menanti papa dan berharap kesembuhannya.
Sedangkan mama Sofia dan Sandra, malah asyik dirumah dan shopping ke mall, ke
rumah sakit hanya mengantarkan makanan buat aku dan papa, dan nggak pernah
sekalipun terlontar dari bibir mereka menanyakan bagaimana kabar papa?
Tiada henti-hentinya aku mendoakan papa, agar cepat sembuh. Aku takut sekali
kalo mimpi buruk yang selalu aku temui saat tidur. Tidak akan terjadi. Papa
selalu memanggil aku dengan sebutan Tria, panggilan sayangnya buat aku.
Walaupun papa sedang sakit. Tiba-tiba saja sekujur tubuh papa menjadi kaku dan
bibir papa menjadi pucat sekali. Aku kaget dengan apa yang ku lihat. "Dokter...dokter,
kenapa papa kejang-kejang?" dokter hanya mengatakan tenang saja padaku. Aku
heran, mama Sofia dan Sandra hanya bisa melihat dan nggak bertindak apa-apa. Setelah
kurang lebih 10 menit dokter memeriksa kesehatan papa, dokter berpesan buatku
agar selalu tabah.
Telingaku serasa dibakar oleh api, tubuhku lemas dan mataku mengambang,
tiba-tiba saja aku terjatuh pingsan. Kesadarku dari shock ku menerima menjadi
seorang anak yang yatim piatu, aku diboyong kepemakaman papaku. Tak bisa lagi
kumenahan isak tangisku dan kakiku tak sanggup lagi untuk berdiri. Aku tak
ingin pulang, aku hanya ingin disini menemani papa tidur, karena tiada lagi
orang yang paling sayang padaku.
Teman-teman berusaha membujukku untuk pulang kerumah, tapi aku tak mau
meninggalkan papa terbaring disini sendiri. Niatku untuk pulang semakin urung,
karena sekarang semakin berjayalah mama Sofia dan Sandra. Herannya aku tak
melihat setetes air mata pun diwajah mereka, karena mereka merasa senang akan
mendapat bagian harta warisan papa. Mimpi-mimpi itu ternyata sekarang menjadi
kenyataan kini, ketakutanku, kegelisahanku, dan kegundahanku selama ini yang
aku tutup-tutupi. Telah menjadi nyata. "Papa... maafkan Astrid jika selama
ini Astrid hanya bisa menyusahkan papa!" hanya kata-kata itu yang bisa
terucap seketika aku pergi meninggalkan pemakaman. Setiap awal pasti ada akhir, setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Hanya goresan-goresan inilah yang dapat aku torehkan dikanvas
suciku seiring jatuhnya titik-titik air mata kepedihan. Dua minggu lamanya aku
absen kuliah, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah. Aku mulai
melangkahkan kakiku dengan rasa yang lara, sesekali aku ku bercanda besama
teman-teman dan sahabat-sahabatku Ria dan yang lainnya. Hatiku tersentak saat
Ryan si favorit kampus melintas dihadapan kami, dan memberikan senyumannya
manisnya. Jika ku melihatnya aku jadi teringat dengan mimpi-mimpi misterius
yang hampir di setiap lelapku ada Ryan. Aku takut, takut sekali.....
Hore...Horee...Hooreee... Sorak-sorai mahasiswa karena telah diwisuda, betapa
bahagianya kami. Kegembiraanku, andai juga dirasakan oleh papa. Sebelum atau
sesudah diwisuda, aku berencana membuka "Galeri Seni", dan
teman-temanku banyak sekali yang sudah bekerja, seperti Ria. Dia menjadi
manager disalah satu perusahaan, sedangkan Ryan mengelola perusahaan pribadi
warisan dari kakeknya "Astrid ini ada undangan perpisahan dirumahku"
kata Ria. "Oke deh, aku pasti datang" Ramai sekali yang hadir diacara
perpisahan, dan banyak orang-orang yang tak ku kenal dirumah Ria, tapi aku
hanya bisa terdiam, sedangkan yang lainnya tertawa terbahak dan bergembira.
"Maaf apa boleh aku duduk disini!". Ah aku kaget ternyata Ryan ada
disampingku, "Boleh..boleh.." hanya kalimat itu yang aku ucapkan.
Banyak hal yang kami bicarakan di acara perpisahan ini, aku merasa tenang
ngobrol-ngobrol dengan Ryan tanpa ada gangguan dari Olivia yang memang tidak
diundang Ria. Tapi, tiba-tiba saja kami terdiam sejenak dan..."As..
Astrid" ya, kenapa? Nggg.......?? Kenapa Ryan?
"Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu menjadi bagian dalam hidupku dan aku
ingin kamu yang merawat anak-anakku nanti. Aku mohon jawab detik juga!"
Ryan memaksaku untuk menjawab. Aku nggak bisa bohong Ryan, kalo aku juga sayang
kamu, jawabku malu-malu. "Cihuuuiii..." Ryan senang sekali.
Dua bulan kemudian... Setelah dua bulan lamanya, kami melaksanakn pesta
pernikahan yang meriah sekali. Dan tak lama kemudian aku telah melahirkan anak-anak yang
lucu buat Ryan. Kami tinggal di Brunai karena bisnis Ryan yang ada disana,
sekarang aku hidup bahagia. Terima kasih Tuhan, dibalik semua kesengsaraanku
ternyata membuahkan hasil yang begitu manis