Guruku Sayang, Guruku Malang
   
  Pak Catur namanya. Saya pernah memperolok-olok guru Bahasa Indonesia itu, 
bahkan berkali-kali. Tak terhitung kali saya menjelek-jelekkan namanya di 
belakang dia, bahkan pernah sekali saya berseru kegirangan saat seorang teman 
berteriak meledeknya. Pertanda saya setuju dan mengamini ledekan teman yang 
dialamatkan untuk guru berperawakan kurus dan tak tinggi itu. 

Jika mengingatnya kembali, saya menyesal telah memperlakukannya dengan tidak 
hormat. Sepanjang tiga tahun di bangku SMA saya tak pernah melihatnya memakai 
pakaian bagus, kecuali "seragam" putih biru yang kerap ia kenakan. 
Jangan-jangan gajinya yang kecil memang tak memungkinkannya membeli pakaian 
baru, karena untuk makan sehari-hari pun sudah begitu kurangnya. Selama tiga 
tahun itu pula saya tak pernah melihatnya bertambah gemuk, sejak pertama masuk 
sekolah itu hingga saya lulus, berat badannya tak bertambah. Jangan-jangan, ia 
terlalu pusing memutar dan mengatur pengeluaran sehari-harinya dari 
penghasilannya yang tak seberapa itu. Sepanjang tiga tahun itu pula, bahkan 
motornya tak pernah ganti. Boleh jadi, motor milik Pak Catur itu motor terjelek 
yang parkir di halaman sekolah. Kalah mentereng dari motor milik anak-anak 
didiknya. Saya tak pernah tahu, apakah Pak Catur saat itu berstatus guru bantu 
atau guru honorer yang lebih sering harus mengurut dada saat menerima imbalan 
dari
 jerih payah mengajarnya setiap hari? 

"Bu bayar bu, bu bayar..." begitu ledekan saya kepada salah seorag guru SD 
saya, Ibu Bayyar. Namanya memang demikian, jadi tak sedikit memang siswa di SD 
itu yang mengolok-olok namanya. Terlebih ketika ia secara inisiatif pribadinya 
menyelenggarakan program belajar tambahan di luar sekolah (les privat tapi 
sedikit wajib) di rumahnya. Ibu Bayyar memungut biaya yang sekitar 500 rupiah 
setiap anak untuk satu kali pertemuan. Waktu itu kami sering menudingnya 
sebagai "program pengayaan diri". 

Tapi kini saya menyesal telah melakukan itu semua. Bu Bayyar tak pernah marah 
saya meledeknya, ia tetap tersenyum. Barangkali senyumnya itulah yang menutupi 
kesulitannya selama ini menyambung hidup dengan mengandalkan profesinya sebagai 
guru. Jangan-jangan Ibu Bayyar termasuk guru bantu atau honorer yang dibayar 
secara tak manusiawi, sehingga memaksanya mencari tambahan dengan 
menyelenggarakan les privat. 

Tak hanya Ibu Bayyar. Sebagian besar guru di SD, SMP dan SMA waktu itu juga 
seolah berlomba menjual buku pelajaran, apakah itu merupakan program bersama 
sekolah maupun program pribadi, apakah buku baru maupun fotocopy-an. Waktu itu 
saya menanggapinya sinis sebagai bisnis tambahan para guru itu. Pernah sekali 
saya berpikir, jelas saja banyak siswa di Indonesia sering gagal dalam banyak 
pelajaran, karena guru-gurunya sibuk berbisnis. Bahkan saya juga mencurigai, 
tidak majunya pendidikan di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh konsentrasi 
guru-gurunya terpecah, ya mendidik ya bisnis. 

Belakangan saya menyadari semua dugaan itu salah. Penghasilan guru yang hanya 
cukup untuk makan beberapa hari itu lah penyebab sesungguhnya. Bagaimana mereka 
tak pusing memikirkan bayar listrik, air, atau sewa rumah mereka setiap bulan? 
dari mana ia mendapatkan uang untuk makan minggu kedua hingga menjelang gajian 
berikutnya? bagaimana juga mereka menyediakan bayaran sekolah untuk anak-anak 
mereka sendiri? atau jangan-jangan banyak kasus di negeri ini, bahwa terdapat 
anak-anak guru yang tak bisa sekolah lantaran tak ada biaya? 

Jika kini ratusan ribu guru menuntut hak mereka untuk sekadar dijadikan pegawai 
negeri sipil, atau menuntut transparansi atas hasil seleksi Calon Pegawai 
Negeri Sipil, itu bukan semata tuntutan emosional pribadi. Tangisan mereka 
adalah cermin luka puluhan tahun menanti sebuah mimpi yang tak pernah terwujud, 
sebatas harap akan status; pegawai negeri. Mereka tak pernah putus asa berharap 
perhatian dan kepedulian pemerintah akan nasib para guru yang selalu 
dianaktirikan. Tenggotakan mereka tak pernah kering untuk tetap menyuarakan 
impian sederhana mereka, demi mendapatkan jaminan di masa depan. 

Sejuta maaf saya untuk semua guru di muka bumi ini, betapa diri ini kurang 
menghargai semua jerih payahmu. Akankah nasib guru terus seperti ini, hingga 
suatu saat nanti tak ada lagi yang berkenan menjadi guru karena nasib mereka 
yang tak pasti? bukankah pemimpin negeri ini dan seluruh orang sukses di muka 
bumi ini adalah hasil didikan para guru?

Saya yakin masih ada yang akan menjadi guru sampai kapan pun, tapi saya juga 
berharap mereka tak sekadar mendapat imbalan yang membuat mereka tak 
bersemangat mendidik anak-anak kita. Sungguh, jika Anda menanyakan kepada para 
guru, terhiburkah mereka dengan sematan "pahlawan tanpa tanda jasa?"

Bayu Gawtama

                
---------------------------------
Yahoo! Messenger with Voice. Make PC-to-Phone Calls to the US (and 30+ 
countries) for 2ยข/min or less.

[Non-text portions of this message have been removed]





=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke