Re: [Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Ati
Terima kasih infonya Mas Haris. Bagus sekali. http://media.isnet.org/v01/sufi/Sejo/toc.htmlSalam. On 11/11/05, Doni Wibisono Wiroto [EMAIL PROTECTED] wrote: bagus bener.dalem bener..'musuh' ternyata nggak jauh-jauh ya...perut.terima kasih ya bapak-bapak. doni -Original Message-From: idakrisnashow@yahoogroups.com [mailto:idakrisnashow@yahoogroups.com]On Behalf Of M IRSYADSent: Friday, November 11, 2005 1:55 PM To: idakrisnashow@yahoogroups.comSubject: Re: [Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Ati Terima kasih banyak Pak HarisAlhamdulillahdapat juga...Kalau ada yang lain, dengan senang hati kami diinformasikan...terima kasih lagi Pak...Irsyad- Original Message - From: haris fuadi [EMAIL PROTECTED]To: idakrisnashow@yahoogroups.comSent: Friday, November 11, 2005 1:22 PMSubject: [Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Atiyang dimaksud tulisan ini bukan pak?haris http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0307/27/naper/455840.htmKompas Minggu, 27 Juli 2003ASAL USULTombo AtiMohamad SobaryAPA tanda orang sehat? Jauh dari penyakit. Salah. Tak pernah makan obat.Salah.Tak pernah berurusan dengan dokter, dukun, tabib..Salah.Salah? Apa yang benar?Orang sehat itu orang sakit yang mencari obat. Di mana letak sehatnya?Dalam cara pandang dan kesadaran bahwa ia sakit dan karena itu iamencari obat. Banyak orang sakit, tetapi tak tahu bahwa dirinya sakitdan karena itu tak ada usaha mencari kesembuhan demi kesehatan. Banyak orang stres, tetapi tak tahu bahwa dirinya stres dan karena itustresnya berkembang menjadi sariawan atau gangguan kesehatan lainnya,dan menjadi sakit serius. Ini tidak sehat.Pergi ke dokter, ke dukun, ke tabib-sekali lagi-tanda sehat. Minum obat pun tanda sehat. Kesehatan bersemayam di dalam cara pandang dankesadaran.Tingkah laku kesehatan menjadi ukuran tingkat kesehatan orang perorang, atau suatu komunitas, pada suatu tempat, pada suatu waktu. KETIKA kiai dari dunia pesantren menyusun resep tombo ati aliaspelipur lara yang pertama kali muncul sebagai tembang pada sekitarakhir tahun enam puluhan, tahukah ia bahwa dirinya, para santrinya, atau para warga komunitas di sekitarnya sedang sakit atau rentanterhadap penyakit?Saya kira tahu. Kiai paham akan perkara hati, juga dengan segenapcorak penyakitnya. Iri, dengki, ngoyo, serakah, egois, haus kekuasaan, murung, lelah hati, dan takut, atau cemas berlebihan, bisa menjadi contoh.Kiai juga tahu obatnya, sesuai rumusan kitab-kitab. Kiai MustofaBisri, yang paham kitab dan hadis Nabi, pernah menyitir hadis dalam bukunya Canda Nabi dan Tawa Sufi: lipurlah hati sesekali, sebab hati,jika lelah, bisa buta.Para tokoh psikologi agama paham bahwa membaca kitab suci denganbacaan kusuk, dan mendalam bisa menghapus segala duka. Di dalam kitab suci, ada mantra gaib dan kekuatan sabda yang mampu menghapus segenapgumpalan gelap yang menutup cahaya hati. Bacaan mendalam membikin hatibercahaya kembali.Imam Gazali menganggap sengaja membiarkan perut lapar atau puasa, sebagai tombo ati. Dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, diterjemahkanmenjadi Misteri Ketajaman Mata Hati, imam besar ini menyebut perutyang dibiasakan lapar itulah yang kelak mengetuk pintu surga. Puasaatau lapar yang disengaja sebagai pilihan politik agar kita tak mengonsumsi cadangan pangan secara berlebihan dan dengan begitumembuka peluang agar keadilan mengalir lancar, merupakan perkarapenting. Kita pun diingatkan tragedi Adam dan Hawa yang terusir darisurga juga karena urusan perut. Nafsu perut membutakan hati Pujangga-pujangga Jawa yang merumuskan piwulang atau ajaran, denganmuatan moral, bernyanyi- nyanyi dalam tembang Kinanthi tentangperlunya seorang satria- pandita mesu salira, mesu budi- melatihdisiplin diri dengan keprihatinan yang keras, untuk nyuda dahar lawan guling-mengurangi makan, mengurangi tidur. Dan membatasi tuntutan sukaria. Sebab, bagi mereka ala wateke wong suka, nyuda prayitnaningbatin: disiplin keras itu memandang buruk sifat bersuka ria karenasuka ria mengurangi kewaspadaan batin. Kebersahajaan sebagai pilihan politik untuk memelihara kewaspadaanbatin merupakan latihan disiplin diri bagi orang yang doyan mesu buditadi. Dalam tradisi Jawa, hal ini merupakan proses pembibitan kader untuk melahirkan satria- pandita.Tiap berhadapan dengan kebuntuan politik pada saat menanti pemimpinmasa depan dengan sikap sakral orang Jawa memberi jawaban tentangsatria piningit. Maksudnya, ia bicara tentang seorang satria- pandita yang masih bersembunyi untuk meneruskan sedikit lagi proses mesubudi-nya di pertapaan, di bawah asuhan seorang mahayogi yang hebattapa brata-nya. Satria piningit, dengan begitu merupakan tombo atibagi bangsa yang secara politik sedang gundah. Ia mungkin jawaban bagi sebuah ketakberdayaan.Kita tak pernah menangkap sinyal, yang lemah sekali pun, dari duniapolitik bahwa usaha kita mengatasi kegelapan politik ini serius. Carapara politisi mengelola negara agak ugal-ugalan. Sedang politisi yang resmi duduk di birokrasi, di semua tingkatan, gemar
[Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Ati
yang dimaksud tulisan ini bukan pak? haris http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0307/27/naper/455840.htm Kompas Minggu, 27 Juli 2003 ASAL USUL Tombo Ati Mohamad Sobary APA tanda orang sehat? Jauh dari penyakit. Salah. Tak pernah makan obat. Salah. Tak pernah berurusan dengan dokter, dukun, tabibÂ…. Salah. Salah? Apa yang benar? Orang sehat itu orang sakit yang mencari obat. Di mana letak sehatnya? Dalam cara pandang dan kesadaran bahwa ia sakit dan karena itu ia mencari obat. Banyak orang sakit, tetapi tak tahu bahwa dirinya sakit dan karena itu tak ada usaha mencari kesembuhan demi kesehatan. Banyak orang stres, tetapi tak tahu bahwa dirinya stres dan karena itu stresnya berkembang menjadi sariawan atau gangguan kesehatan lainnya, dan menjadi sakit serius. Ini tidak sehat. Pergi ke dokter, ke dukun, ke tabib-sekali lagi-tanda sehat. Minum obat pun tanda sehat. Kesehatan bersemayam di dalam cara pandang dan kesadaran. Tingkah laku kesehatan menjadi ukuran tingkat kesehatan orang per orang, atau suatu komunitas, pada suatu tempat, pada suatu waktu. KETIKA kiai dari dunia pesantren menyusun resep tombo ati alias pelipur lara yang pertama kali muncul sebagai tembang pada sekitar akhir tahun enam puluhan, tahukah ia bahwa dirinya, para santrinya, atau para warga komunitas di sekitarnya sedang sakit atau rentan terhadap penyakit? Saya kira tahu. Kiai paham akan perkara hati, juga dengan segenap corak penyakitnya. Iri, dengki, ngoyo, serakah, egois, haus kekuasaan, murung, lelah hati, dan takut, atau cemas berlebihan, bisa menjadi contoh. Kiai juga tahu obatnya, sesuai rumusan kitab-kitab. Kiai Mustofa Bisri, yang paham kitab dan hadis Nabi, pernah menyitir hadis dalam bukunya Canda Nabi dan Tawa Sufi: lipurlah hati sesekali, sebab hati, jika lelah, bisa buta. Para tokoh psikologi agama paham bahwa membaca kitab suci dengan bacaan kusuk, dan mendalam bisa menghapus segala duka. Di dalam kitab suci, ada mantra gaib dan kekuatan sabda yang mampu menghapus segenap gumpalan gelap yang menutup cahaya hati. Bacaan mendalam membikin hati bercahaya kembali. Imam Gazali menganggap sengaja membiarkan perut lapar atau puasa, sebagai tombo ati. Dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, diterjemahkan menjadi Misteri Ketajaman Mata Hati, imam besar ini menyebut perut yang dibiasakan lapar itulah yang kelak mengetuk pintu surga. Puasa atau lapar yang disengaja sebagai pilihan politik agar kita tak mengonsumsi cadangan pangan secara berlebihan dan dengan begitu membuka peluang agar keadilan mengalir lancar, merupakan perkara penting. Kita pun diingatkan tragedi Adam dan Hawa yang terusir dari surga juga karena urusan perut. Nafsu perut membutakan hati Pujangga-pujangga Jawa yang merumuskan piwulang atau ajaran, dengan muatan moral, bernyanyi- nyanyi dalam tembang Kinanthi tentang perlunya seorang satria- pandita mesu salira, mesu budi- melatih disiplin diri dengan keprihatinan yang keras, untuk nyuda dahar lawan guling-mengurangi makan, mengurangi tidur. Dan membatasi tuntutan suka ria. Sebab, bagi mereka ala wateke wong suka, nyuda prayitnaning batin: disiplin keras itu memandang buruk sifat bersuka ria karena suka ria mengurangi kewaspadaan batin. Kebersahajaan sebagai pilihan politik untuk memelihara kewaspadaan batin merupakan latihan disiplin diri bagi orang yang doyan mesu budi tadi. Dalam tradisi Jawa, hal ini merupakan proses pembibitan kader untuk melahirkan satria- pandita. Tiap berhadapan dengan kebuntuan politik pada saat menanti pemimpin masa depan dengan sikap sakral orang Jawa memberi jawaban tentang satria piningit. Maksudnya, ia bicara tentang seorang satria- pandita yang masih bersembunyi untuk meneruskan sedikit lagi proses mesu budi-nya di pertapaan, di bawah asuhan seorang mahayogi yang hebat tapa brata-nya. Satria piningit, dengan begitu merupakan tombo ati bagi bangsa yang secara politik sedang gundah. Ia mungkin jawaban bagi sebuah ketakberdayaan. Kita tak pernah menangkap sinyal, yang lemah sekali pun, dari dunia politik bahwa usaha kita mengatasi kegelapan politik ini serius. Cara para politisi mengelola negara agak ugal-ugalan. Sedang politisi yang resmi duduk di birokrasi, di semua tingkatan, gemar dolanan duit. Ini pun watak ugal-ugalan yang tak bertanggung jawab. Tahukah kita bahwa kita sedang mengidap penyakit? Tentu saja ada yang tahu, tetapi pura-pura tidak tahu, dan ada yang tahu tapi tak peduli. Orang-orang yang peduli biasanya ada di pinggiran dan memainkan lagu minor. Dan lagu itu hampir tak didengar orang. Tragedi orang-orang peduli pun jelas: mungkin mereka kesepian. Mereka ditinggalkan. Atau disingkirkan, seperti-kata Chairil Anwar-binatang jalang, yang dari kumpulannya terbuang. Tampaknya ini sudah merupakan hukum sejarah. Kesepian dan tak kebagian apa-apa sudah merupakan jatah alam orang-orang jenis itu. Mereka menyaksikan pejabat negara naik dan turun, datang dan pergi, silih berganti. Akan tetapi, itu hanya bagian dari kelengkapan ritus politik dalam pembagian jatah
Re: [Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Ati
Terima kasih banyak Pak Haris Alhamdulillahdapat juga... Kalau ada yang lain, dengan senang hati kami diinformasikan... terima kasih lagi Pak... Irsyad - Original Message - From: haris fuadi [EMAIL PROTECTED] To: idakrisnashow@yahoogroups.com Sent: Friday, November 11, 2005 1:22 PM Subject: [Ida-Krisna Show] Mohamad Sobary: Tombo Ati yang dimaksud tulisan ini bukan pak? haris http://www.kompas.com/Kompas-cetak/0307/27/naper/455840.htm Kompas Minggu, 27 Juli 2003 ASAL USUL Tombo Ati Mohamad Sobary APA tanda orang sehat? Jauh dari penyakit. Salah. Tak pernah makan obat. Salah. Tak pernah berurusan dengan dokter, dukun, tabib.. Salah. Salah? Apa yang benar? Orang sehat itu orang sakit yang mencari obat. Di mana letak sehatnya? Dalam cara pandang dan kesadaran bahwa ia sakit dan karena itu ia mencari obat. Banyak orang sakit, tetapi tak tahu bahwa dirinya sakit dan karena itu tak ada usaha mencari kesembuhan demi kesehatan. Banyak orang stres, tetapi tak tahu bahwa dirinya stres dan karena itu stresnya berkembang menjadi sariawan atau gangguan kesehatan lainnya, dan menjadi sakit serius. Ini tidak sehat. Pergi ke dokter, ke dukun, ke tabib-sekali lagi-tanda sehat. Minum obat pun tanda sehat. Kesehatan bersemayam di dalam cara pandang dan kesadaran. Tingkah laku kesehatan menjadi ukuran tingkat kesehatan orang per orang, atau suatu komunitas, pada suatu tempat, pada suatu waktu. KETIKA kiai dari dunia pesantren menyusun resep tombo ati alias pelipur lara yang pertama kali muncul sebagai tembang pada sekitar akhir tahun enam puluhan, tahukah ia bahwa dirinya, para santrinya, atau para warga komunitas di sekitarnya sedang sakit atau rentan terhadap penyakit? Saya kira tahu. Kiai paham akan perkara hati, juga dengan segenap corak penyakitnya. Iri, dengki, ngoyo, serakah, egois, haus kekuasaan, murung, lelah hati, dan takut, atau cemas berlebihan, bisa menjadi contoh. Kiai juga tahu obatnya, sesuai rumusan kitab-kitab. Kiai Mustofa Bisri, yang paham kitab dan hadis Nabi, pernah menyitir hadis dalam bukunya Canda Nabi dan Tawa Sufi: lipurlah hati sesekali, sebab hati, jika lelah, bisa buta. Para tokoh psikologi agama paham bahwa membaca kitab suci dengan bacaan kusuk, dan mendalam bisa menghapus segala duka. Di dalam kitab suci, ada mantra gaib dan kekuatan sabda yang mampu menghapus segenap gumpalan gelap yang menutup cahaya hati. Bacaan mendalam membikin hati bercahaya kembali. Imam Gazali menganggap sengaja membiarkan perut lapar atau puasa, sebagai tombo ati. Dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, diterjemahkan menjadi Misteri Ketajaman Mata Hati, imam besar ini menyebut perut yang dibiasakan lapar itulah yang kelak mengetuk pintu surga. Puasa atau lapar yang disengaja sebagai pilihan politik agar kita tak mengonsumsi cadangan pangan secara berlebihan dan dengan begitu membuka peluang agar keadilan mengalir lancar, merupakan perkara penting. Kita pun diingatkan tragedi Adam dan Hawa yang terusir dari surga juga karena urusan perut. Nafsu perut membutakan hati Pujangga-pujangga Jawa yang merumuskan piwulang atau ajaran, dengan muatan moral, bernyanyi- nyanyi dalam tembang Kinanthi tentang perlunya seorang satria- pandita mesu salira, mesu budi- melatih disiplin diri dengan keprihatinan yang keras, untuk nyuda dahar lawan guling-mengurangi makan, mengurangi tidur. Dan membatasi tuntutan suka ria. Sebab, bagi mereka ala wateke wong suka, nyuda prayitnaning batin: disiplin keras itu memandang buruk sifat bersuka ria karena suka ria mengurangi kewaspadaan batin. Kebersahajaan sebagai pilihan politik untuk memelihara kewaspadaan batin merupakan latihan disiplin diri bagi orang yang doyan mesu budi tadi. Dalam tradisi Jawa, hal ini merupakan proses pembibitan kader untuk melahirkan satria- pandita. Tiap berhadapan dengan kebuntuan politik pada saat menanti pemimpin masa depan dengan sikap sakral orang Jawa memberi jawaban tentang satria piningit. Maksudnya, ia bicara tentang seorang satria- pandita yang masih bersembunyi untuk meneruskan sedikit lagi proses mesu budi-nya di pertapaan, di bawah asuhan seorang mahayogi yang hebat tapa brata-nya. Satria piningit, dengan begitu merupakan tombo ati bagi bangsa yang secara politik sedang gundah. Ia mungkin jawaban bagi sebuah ketakberdayaan. Kita tak pernah menangkap sinyal, yang lemah sekali pun, dari dunia politik bahwa usaha kita mengatasi kegelapan politik ini serius. Cara para politisi mengelola negara agak ugal-ugalan. Sedang politisi yang resmi duduk di birokrasi, di semua tingkatan, gemar dolanan duit. Ini pun watak ugal-ugalan yang tak bertanggung jawab. Tahukah kita bahwa kita sedang mengidap penyakit? Tentu saja ada yang tahu, tetapi pura-pura tidak tahu, dan ada yang tahu tapi tak peduli. Orang-orang yang peduli biasanya ada di pinggiran dan memainkan lagu minor. Dan lagu itu hampir tak didengar orang. Tragedi orang-orang peduli pun jelas: mungkin mereka kesepian. Mereka ditinggalkan. Atau disingkirkan, seperti-kata