I Would Hate Flores If...

  

 

 


 

 


 

Semula, saya keberatan ketika Stephenie dan pacarnya Kyle, keduanya warga
Amerika Serikat (AS), ingin menginap di rumah orang tua saya di Manggarai,
Flores Barat dalam rangkaian pelesiran mereka selama beberapa hari ke daerah
itu. Stephenie mahasiswi hukum dari Universitas Harvad, Boston. Kyle seorang
karyawan bank di Santa Fe, Texas. Stephenie mengakhiri masa magang tiga
bulannya di tempat kerja istri saya di Jakarta. Sebelum kembali, ia ingin
berkunjung ke Flores. Ia mengajak Kyle. Kebetulan pula, pada tanggal yang
telah disepakati, seorang sepupu saya akan menikah. Mereka ingin menyaksikan
acara itu. 

Itulah soalnya. Saya khawatir mereka tidak dapat kamar tidur. Saat itu rumah
orang tua saya pasti penuh dengan anggota keluarga yang juga hendak
mengikuti acara pernikahan. Kekuatiran soal kamar itu disampaikan ke
Stephenie kecuali kalau ia dan Kyle bersedia tidur di ruang tengah bersama
orang-orang lain.

Stephenie yang berdarah Korea itu mengatakan, "No problem. It's ok." Kyle
yang langsung terbang dari Santa Fe ternyata juga tidak keberatan. Lega
rasanya. Belakangan saya tahu, Stephenie suka bertualang. Ia sudah pernah ke
pedalaman Afrika. Ia berani saja minum air mentah dari pancuran bambu ketika
saya katakan bahwa air pancuran itu bersih, orang-orang kampung, kalau
kehausan, biasa langsung meminum air tersebut. Sebaliknya, Kyle
berhati-hati, ia hanya mau minum air kemasan. Tetapi saat ditawari arak, ia
tertarik juga.

Penuh turis

Kami berangkat ke Manggarai, Flores pada pertengahan Agustus lalu.  Saya dan
istri saya berangkat duluan. Dari Jakarta kami naik pesawat menuju Labuan
Bajo, Manggarai Barat. Perjalanan dengan pesawat ke sana, sebagaimana juga
ke sejumlah daerah di Indonesia bagian timur harus transit di Bandara I
Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Di Denpasar penumpang harus pindah ke
pesawat lain yang berukuran lebih kecil karena bandara-bandara tujuan
umumnya memiliki landasan pacu yang pendek sehingga hanya bisa didarati
pesawat kecil. 

Asyiknya, kalau boleh dibilang begitu, pesawat kecil  terbang rendah
sehingga kami bisa menikmati pemandangan di bawahnya, tentu saja kalau cuaca
bagus. Kami bisa melihat jelas batas-batas laut dalam dan dangkal, pulau
yang hijau karena punya hutan primer yang lebat atau pulau gundul karena
tidak ditumbuhi tanaman sedikit pun. Bukit-bukit tandus di Sumbawa terlihat
jelas dari udara.

Dari Denpasar ke Labuan Bajo kami menumpang pesawat Fokker 27. Saya
tercengang ketika memperhatikan hampir semua penumpang pesawat itu wisatawan
macanegara (wisman). Flores pada umumnya sudah lama menjadi daerah tujuan
wisman, terutama para back packers. Namun beberapa tahun terakhir tampaknya
jumlah wisman yang datang ke daerah ini meningkat pesat.

Saya tidak memperoleh data resmi tentang peningkatan jumlah kunjungan wisman
ke Labuan Bajo. Tarsi, seorang teman yang bekerja pada biro perjalanan di
Labuan Bajo memberi gambaran,  "Setiap hari ada dua pesawat yang mendarat di
Labuan Bajo. Pada hari tertentu ada tiga pesawat. Dari Mei sampai Oktober
hampir semua penumpangnya turis." Tarsi pernah 10 tahun bekerja pada agen
perjalanan di Bali. Ia pindah ke Flores setelah bom meledak di Legian, Kuta
tahun 2002 yang menyebabkan 200 orang tewas dan industri pariwisata Bali
terpuruk.

Meningkatnya kunjungan wisman tidak lepas dari bertambahnya jadwal
penerbangan yang melayani daerah itu. Beberapa tahun lalu, hanya satu
maskapai penerbangan yang terbang ke Labuan Bajo, itu pun hanya dua atau
tiga kali seminggu. Kini ada tiga maskapai penerbangan, dua diantaranya
terbang setiap hari dari Denpasar.

Selain melalui udara, wisman yang datang ke Labuan Bajo juga melalui
angkutan penyeberangan ferry yang menyeberang setiap hari dari Sape, NTB.
Wisman ke daerah ini umumnya limpahan dari Bali dan Lombok.

Labuan Bajo adalah gerbang masuk ke Taman Nasional Komodo, di mana terdapat
satwa langka buaya darat Komodo. Wisman yang ke daerah ini biasanya ingin
melihat buaya Komodo itu, atau berjemur di pantai pulau-pulau tak
berpenghuni di mulut Kota Labuan Bajo, atau diving di perairan Komodo yang
memiliki pemandangan bawah laut yang terkenal indah.

Dari Labuan mereka juga bisa terus menyusuri daratan Flores menuju Danau
Tiga Warna di Kelimutu, Ende (Flores Tengah) atau terus menuju ke Larantuka
dan Lembata di Flores Timur. Transportasi darat lancar. Jalan lintas Flores
cukup mulus meski berkelok-kelok dan bisa bikin perut jadi mules.

Disko sampai pagi

Kembali ke dua teman Amerika kami, beberapa hari setelah kami tiba di
kampung, mereka pun tiba.  Mereka berangkat belakangan dari Jakarta dan
menginap dua malam di Labuan Bajo. Tarsi membantu mereka mencari penginapan
dan menyewa boat menuju ke Pulau Rinca untuk melihat buaya darat. Satwa yang
tergolong jenis purba itu tidak hanya terdapat di Pulau Komodo tetapi juga
di Pulau Rinca. Yang di Rinca, kabarnya, lebih ganas dibanding yang di
Komodo.

Karena keterbatasan waktu mereka memutuskan ke Rinca saja yang letaknya
lebih dekat dengan Labuan Bajo. Ongkos ke Rinca lumayan murah, hanya Rp
400.000 untuk sewa boat dan guide selama sehari. Kalau ke Komodo harus
mengeluarkan Rp 1,5 juta karena paketnya tour berlangsung dua hari.

Dari Labuan Bajo mereka menggunakan travel yang paling pagi lalu disambung
angkutan pedesaan carteran ke kampung saya di Wela. Tanpa pemandu, hanya
mengikuti petunjuk-petunjuk yang kami berikan, mereka akhirnya sampai
setelah menempuh perjalan darat sekitar empat jam. 

Setelah makan siang mereka istirahat sebentar. Sore ada upacara pernikahan
di gereja. Yang unik sebenarnya pernikahan secara adat. Namun itu dilakukan
pagi hari dan mereka tidak sempat menyaksikannya. Malamnya ada pesta. Di
Manggarai dan Manggarai Barat, pesta perkawinan berarti dansa dan disko
sampai pagi. Malam yang biasanya berlalu sepi dan gelap kini jadi ingar
bingar karena suara musik disko.

Orang larut dalam suasana pesta. Stephenie dan Kyle tidak mau ketinggalan.
Pemuda-pemuda kampung mengajari mereka bergoyang poco-poco dan rokatenda.
Karena tidak tahan kantuk, kami pulang dini hari. Pestanya sendiri bubar
pukul 05.30. 

Paginya, mereka minta diajak ke kebun kopi karena ingin memetik kopi. Mereka
belum pernah melihat pohon kopi. Kami melewati halam rumah adat, tempat
pesta pernikahan pada malam sebelumnya di gelar. Di sini, suasana pesta
masih tersisa. Beberapa orang masih teler karena pengaruh sopi (hasil
sulingan arak). Orang-orang mengajak mereka menari dengan diiringi tabuhan
gong dan gendang. Kebetulan pula musim panen sudah usai jadi orang-orang
agak santai. Ini khas siklus hidup petani, setelah musim panen, saatnya
untuk bersantai dan berpesta sampai musim tanam datang lagi.

"I would hate Flores if it's becoming Bali," kata Stefani kemudian.  Ia
rupanya sangat menikmati rasa menjadi orang asing di sebuah kampung petani
yang jauh dari kegemerlapan dan kebisingan  kota besar. Dalam keasingan itu,
sebagai seorang tamu, ia disambut hangat. Kehangatan yang tulus, apa adanya,
tanpa berharap pamrih. 
Penulis: Egidius Patnistik



 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke