Re: Ida Arimurti Mas Miskun, Rasa Restoran Harga Kaki Lima

2007-04-20 Terurut Topik Jamsir Sabara
Nasi Uduk yang di Tanah Abang apa ya namanya??


JS


- Original Message 
From: Ida arimurti [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: idakrisnashow@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, April 10, 2007 7:03:43 AM
Subject: Ida Arimurti Mas Miskun, Rasa Restoran Harga Kaki Lima

Mas Miskun, Rasa Restoran Harga Kaki Lima

Pernah mampir di Warung Nasi Uduk Mas Miskun di bilangan Jakarta Pusat? Atau
barangkali pernah lihat atau dengar? Atau malah tidak pernah lihat, dengar
apalagi mampir? Kalau jawaban untuk semua pertanyaan itu Tidak pernah, ya
tidak apa-apa. 

Tapi baiklah! Nasi Uduk Mas Miskun tengah bermetamorfosa dari warung kaki
lima ke restoran; naik kelas dari sektor informal ke formal. Beberapa warung
Nasi Uduk Mas Miskun kini tidak lagi menempati badan jalan atau trotoar. Di
Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat misalnya, Mas Miskun telah berbentuk
restoran permanen. Di Jalan Percetakan Negara juga begitu, meski yang di
kaki lima masih dipertahankan.

Haji Amir (45 tahun), sang empunya warung, telah mematenkan merek dagang
Nasi Uduk Mas Miskun. Ia juga mulai membenahi cara pengelolaan warung serta
sistem keuangan. Ini demi tertib manajemen, administrasi dan keuangan
sehingga saat berhubungan dengan orang dari dinas pajak misalnya, tidak ada
celah masalah. Soalnya, begitu menjadi sektor formal (legal), Mas Miskun
harus bayar pajak. Ketika masih di badan jalan, karena dianggap usaha tidak
legal, Haji Amir hanya perlu beri 'upeti' secukupnya kepada petugas
keluharan atau kecamatan, tidak ada pajak ini itu.

Nah uniknya, meski berupaya naik kelas, Mas Miskun tampak tidak ingin
disebut kacang lupa kulit. Fakta bahwa Mas Miskun dulunya merupakan warung
kaki lima tidak ingin dihapus begitu saja. Itu terbaca dari slogannya kini,
yaitu: rasa restoran, harga kaki lima. Harga semua menu makanan memang masih
sama seperti ketika berada di badan jalan, rasa juga begitu. Lha, apanya
yang rasa restoran? 

Haha...sekarang kan orang bisa duduk manis seperti di restoran umumnya.
Adem, ada musik, pelayanan lebih baik, tidak lagi panas-panas seperti di
kaki lima, kata Haji Amir. Ooo... lebih pada perubahan suasana rupanya.

Mas Miskun berawal dari sebuah gerobak dorong. Haji Amir dan istrinya,
Aminah, merintis usaha itu sejak tahun 1989 di trotoar Jalan Kramat Raya,
persisnya di depan Hotel The Acacia sekarang ini. Setelah gagal mencoba
berbagai usaha lain, mereka bertekad berdagang nasi uduk dan ayam goreng. 

Tak disangka, pengunjung membludak. Nasi uduk yang gurih, ayam goreng yang
empuk dan garing, serta sambal goreng yang rasa pedasnya pas ternyata
diminati orang.

Usaha itu berkembang. Pundi-pundi Amir pun gemerincing terisi rupiah. Dari
gerobak dorong ia mendirikan warung tenda dan mempekerjaan seorang karyawan.

Tapi jangan bayangkan usaha itu selalu berjalan mulus. Sebagaimana umumnya
nasib PKL (pedagang kaki lima) di Jakarta dan kota-kota besar lain di
Indonesia, warung Mas Miskun digusur berkali-kali. Sudah tidak kehitung,
ada kali enam kali kami digusur, kata Amir tentang warung tenda yang di
Jalan Kramat Raya. Ia bergeming. Jalan terus. Ia jadi tahu banyak cara untuk
menghadapai aparat sehingga warungnya bertahan.

Tahun 2004 ia tidak bisa lagi mengelak. Pemerintah Kota Jakarta Pusat saat
itu punya proyek pembangunan pedestrian senilai Rp 5 miliar di sepanjang
Jalan Kramat Raya dan Salemba. Semua PKL, tanpa kecuali, digusur. Namun bagi
Haji Amir, penggusuran itu justeru menjadi semacam a blessing in disguise.
Dalam kebingungan, ia mendapat tawaran untuk menyewa lahan kosong di Jalan
Kramat Raya, persis di belakang lokasi tendanya selama ini.

Mas Miskun tinggal mundur sejengkal dari jalan raya lalu menempati lahan
privat. Warung pindah tetapi tidak kehilangan pelanggan. Elok nian. Seketika
itu, Mas Miskun juga berubah wajah dari kaki lima menjadi sebuah restoran
meski dengan meja dan tata ruang seadanya.

Dari Jalan Kramat Raya Mas Miskun mengepakkan sayap ke Jalan Percetakan
Negara, Pintu Air (Pasar Baru), dan yang terbaru di Jalan Matraman, Jakarta
Timur. Di Jakarta Utara Haji Amir sudah menyewa tempat di Kelapa Gading
Trade Center namun belum dioperasikan.

Di Percetakan Negara, juga mulai dari kaki lima. Ia dekati petugas kelurahan
dan kecematan. Semula lancar. Tetapi ancaman penggusuran akhirnya datang
juga. Dalam kondisi terancam itu, ia lagi-lagi dapat tawaran untuk
mengontrak tempat, persis di seberang lokasi warung tendanya. Saat ini di
Percetakan ada dua Mas Miskun yang letaknya berseberangan. Satu di kaki
lima. Satu lagi berbentuk restoran di lahan privat. Yang di kaki lima
beroperasi dari pukul 17.00 sampai 04.00 pagi. Yang restoran berjualan
dengan waktu lebih panjang, dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 04.00 pagi
hari berikutnya.

Menurut Haji Amir, usahanya berkembang karena kepepet atau keterpaksaan .
Keterpaksaan itu terjadi berulang. Dari gusuran ke gusuran. Belakangan kasus
flu burung merebak. Akibat kasus flu burung, penjualan ayam goreng Mas
Miskun anjlok hingga tinggal 40 persen per hari

Ida Arimurti Mas Miskun, Rasa Restoran Harga Kaki Lima

2007-04-09 Terurut Topik 'Ida arimurti'
Mas Miskun, Rasa Restoran Harga Kaki Lima

Pernah mampir di Warung Nasi Uduk Mas Miskun di bilangan Jakarta Pusat? Atau
barangkali pernah lihat atau dengar? Atau malah tidak pernah lihat, dengar
apalagi mampir? Kalau jawaban untuk semua pertanyaan itu Tidak pernah, ya
tidak apa-apa. 

Tapi baiklah! Nasi Uduk Mas Miskun tengah bermetamorfosa dari warung kaki
lima ke restoran; naik kelas dari sektor informal ke formal. Beberapa warung
Nasi Uduk Mas Miskun kini tidak lagi menempati badan jalan atau trotoar. Di
Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat misalnya, Mas Miskun telah berbentuk
restoran permanen. Di Jalan Percetakan Negara juga begitu, meski yang di
kaki lima masih dipertahankan.

Haji Amir (45 tahun), sang empunya warung,  telah mematenkan merek dagang
Nasi Uduk Mas Miskun. Ia juga mulai membenahi cara pengelolaan warung serta
sistem keuangan. Ini demi tertib manajemen, administrasi dan keuangan
sehingga saat berhubungan dengan orang dari dinas pajak misalnya, tidak ada
celah masalah. Soalnya, begitu menjadi sektor formal (legal), Mas Miskun
harus bayar pajak. Ketika masih di badan jalan, karena dianggap usaha tidak
legal, Haji Amir hanya perlu beri 'upeti' secukupnya kepada petugas
keluharan atau kecamatan, tidak ada pajak ini itu.

Nah uniknya, meski berupaya naik kelas, Mas Miskun tampak tidak ingin
disebut kacang lupa kulit. Fakta bahwa Mas Miskun dulunya merupakan warung
kaki lima tidak ingin dihapus begitu saja. Itu terbaca dari slogannya kini,
yaitu: rasa restoran, harga kaki lima. Harga semua menu makanan memang masih
sama seperti ketika berada di badan jalan, rasa juga begitu.  Lha, apanya
yang rasa restoran? 

Haha...sekarang kan orang bisa duduk manis seperti di restoran umumnya.
Adem, ada musik, pelayanan lebih baik, tidak lagi panas-panas seperti di
kaki lima, kata Haji Amir. Ooo... lebih pada perubahan suasana rupanya.

Mas Miskun berawal dari sebuah gerobak dorong. Haji Amir dan istrinya,
Aminah, merintis usaha itu sejak tahun 1989 di trotoar Jalan Kramat Raya,
persisnya di depan Hotel The Acacia sekarang ini. Setelah gagal mencoba
berbagai usaha lain, mereka bertekad berdagang nasi uduk dan ayam goreng. 

Tak disangka, pengunjung membludak. Nasi uduk yang gurih, ayam goreng yang
empuk dan garing, serta sambal goreng yang rasa pedasnya pas ternyata
diminati orang.

Usaha itu berkembang. Pundi-pundi Amir pun gemerincing terisi rupiah. Dari
gerobak dorong ia mendirikan warung tenda dan mempekerjaan seorang karyawan.

Tapi jangan bayangkan usaha itu selalu berjalan mulus. Sebagaimana umumnya
nasib PKL (pedagang kaki lima) di Jakarta dan kota-kota besar lain di
Indonesia, warung Mas Miskun digusur berkali-kali. Sudah tidak kehitung,
ada kali enam kali kami digusur, kata Amir tentang warung tenda yang di
Jalan Kramat Raya. Ia bergeming. Jalan terus. Ia jadi tahu banyak cara untuk
menghadapai aparat sehingga warungnya bertahan.

Tahun 2004 ia tidak bisa lagi mengelak. Pemerintah Kota Jakarta Pusat  saat
itu punya proyek pembangunan pedestrian senilai Rp 5 miliar di sepanjang
Jalan Kramat Raya dan Salemba. Semua PKL, tanpa kecuali, digusur. Namun bagi
Haji Amir, penggusuran itu justeru menjadi semacam a blessing in disguise.
Dalam kebingungan, ia mendapat tawaran untuk menyewa lahan kosong di Jalan
Kramat Raya, persis di belakang lokasi tendanya selama ini.

Mas Miskun tinggal mundur sejengkal dari jalan raya lalu menempati lahan
privat. Warung pindah tetapi tidak kehilangan pelanggan. Elok nian. Seketika
itu, Mas Miskun juga berubah wajah dari kaki lima menjadi sebuah restoran
meski dengan meja dan tata ruang seadanya.

Dari Jalan Kramat Raya Mas Miskun mengepakkan sayap ke Jalan Percetakan
Negara, Pintu Air (Pasar Baru), dan yang terbaru di Jalan Matraman, Jakarta
Timur. Di Jakarta Utara Haji Amir sudah menyewa tempat di Kelapa Gading
Trade Center namun belum dioperasikan.

Di Percetakan Negara, juga mulai dari kaki lima. Ia dekati petugas kelurahan
dan kecematan. Semula lancar. Tetapi ancaman penggusuran akhirnya datang
juga. Dalam kondisi terancam itu, ia lagi-lagi dapat tawaran untuk
mengontrak tempat, persis di seberang lokasi warung tendanya. Saat ini di
Percetakan ada dua Mas Miskun yang letaknya berseberangan. Satu di kaki
lima. Satu lagi berbentuk restoran di lahan privat. Yang di kaki lima
beroperasi dari pukul 17.00 sampai 04.00 pagi. Yang restoran berjualan
dengan waktu lebih panjang, dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 04.00 pagi
hari berikutnya.

Menurut Haji Amir, usahanya berkembang karena kepepet atau keterpaksaan.
Keterpaksaan itu terjadi berulang. Dari gusuran ke gusuran. Belakangan kasus
flu burung merebak. Akibat kasus flu burung, penjualan ayam goreng Mas
Miskun anjlok hingga tinggal 40 persen per hari. 

Sebelum ada kasus flu burung, sehari kami bisa menjual 100 sampai 150 ekor
ayam. Begitu flu burung muncul, kami pernah hanya menjual 40 ekor ayam
sehari, kata Amir.

Saya kemudian berpikir, lanjutnya untuk membuat variasi menu. Ia tidak
ingin terpaku pada ayam goreng semata.