Mengajak Keluarga Menjadi Pengamat Bintang di Jakarta
Jarum jam menunjukkan pukul 15.30. Antrean panjang mengekor di depan loket teater Planetarium di kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, awal pekan ini. Ratusan pengunjung yang sebagian besar anak-anak sepertinya sudah tak sabar lagi. Satu tujuan mereka, segera tenggelam dalam jagat raya menjadi pengamat bintang! Planetarium Jakarta adalah satu dari tiga wahana simulasi langit di Indonesia selain di Kutai, Kalimantan Timur, dan Surabaya, Jawa Timur. Planetarium tertua ini gampang dicari karena letaknya tepat di pusat kota. Tinggal meluncur ke Jakarta Pusat dan mengikuti penunjuk arah Tugu Tani, Cikini, atau TIM, dijamin langsung menemukan kompleks wisata yang berada di sebelah kiri Jalan Cikini Raya. Teater Planetarium Jakarta terbuka untuk umum setiap Selasa-Jumat pukul 16.30. Pada hari Sabtu dan Minggu, teater berdurasi satu jam berlangsung lima kali sehari sejak pukul 10.30. Tiket dapat dibeli langsung seharga Rp 7.000 per orang untuk dewasa dan Rp 3.500 per orang untuk anak-anak. Menjelang pukul 16.00, loket baru dibuka. Sebanyak 350 tiket langsung ludes terjual. Sambil menunggu teater dimulai, pengunjung duduk di kursi-kursi di dalam hall. Sebagian lagi cepat-cepat mengisi perut di salah satu kios penjual makanan karena selama di ruang teater dilarang membawa makanan dan minuman. Planetarium Jakarta berdiri tahun 1964 diprakarsai Presiden Soekarno dan diserahkan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1969. Di tempat ini juga tersedia ruang pameran benda- benda angkasa yang menyuguhkan berbagai foto serta keterangan lengkap dari berbagai bentuk galaksi, teori-teori pembentukan galaksi disertai pengenalan tokoh-tokoh di balik munculnya teori. Di ruang pameran ini, ada juga pajangan baju antariksa yang digunakan mengarungi angkasa, termasuk mendarat di bulan. Beberapa peralatan lain untuk pengamatan antariksa turut dipamerkan. Angan-angan langsung melayang seakan menjadi salah satu tokoh film Star Wars. Tak terasa waktu sudah pukul 16.30, saatnya masuk ruang teater berbentuk silinder dengan atap setengah lingkaran. Seluruh atap tertutup layar persis seperti di bioskop. Sebuah proyektor berbentuk bola berwarna biru dengan banyak lensa berbagai ukuran di permukaannya, berdiameter sekitar satu meter bertuliskan Carl Zeiss di bagian bawahnya, terletak di tengah ruangan teater. Kursi-kursi penonton didesain khusus sehingga nyaman untuk posisi tidur, diatur berjajar di seluruh ruangan melengkung melingkupi proyektor. Tiba-tiba ruangan gelap total, suara merdu pemandu acara membimbing pengunjung berimajinasi bahwa mereka sedang berada tepat ketika matahari baru saja tenggelam di ufuk barat. Bulan tampak menyembul malu-malu di timur dan bintang- bintang bertebaran di langit. Bulan berwarna kuning keperakan, sementara cahaya putih terang dipancarkan dari segala benda angkasa yang secara umum sering kali disebut bintang, padahal mungkin berupa planet atau meteorit (batu angkasa). "Saat ini langit bersih cerah cocok untuk mengamati bintang. Terdapat 12 rasi bintang yang kita kenal dan selalu dihubungkan dengan waktu kelahiran kita. Ada gemini si kembar, taurus, pisces si ikan, dan banyak lagi," kata staf Pertunjukan Planetarium Jakarta, Widya Sawitar, diiringi penggambaran rasi-rasi bintang di kubah layar. Kemudian, semua penonton dibawa terbang mengendarai pesawat ruang angkasa. Dari angkasa, penonton pun bebas mengamati Galaksi Bimasakti tempat matahari dan bumi berada. "Matahari dan planet-planetnya adalah satu kelompok kecil dari jutaan penghuni Bimasakti. Bimasakti pun hanya merupakan salah satu dari begitu banyak galaksi di jagat raya," kata Widya. Widya kemudian kembali membawa penikmat teater menelusuri matahari dan planet-planetnya. Menambah pengetahuan Sekadar tahu saja, sejak Agustus 2006, Pluto yang selama ini dikenal sebagai planet ke sembilan yang mengitari matahari resmi dinyatakan bukan planet. Pluto yang berukuran paling kecil dan terjauh dari matahari ini ditetapkan sebagai planetoid, benda angkasa mirip planet yang berada di sekitar planet dan berotasi mengelilingi matahari. Planet pertama adalah Merkurius diikuti Venus, lalu Bumi. Venus memiliki lapisan karbondioksida amat tebal di atmosfernya. Karbondioksida memicu penjebakan panas matahari atau efek rumah kaca sehingga suhu permukaan Venus mencapai 500 derajat Celsius, baik malam atau siang hari, sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan. "Kondisi serupa sangat mungkin terjadi di bumi jika manusia tidak berhati-hati dalam mengendalikan serta mengurangi polusi udara, terutama menekan produksi karbondioksida," ujar Widya. Perjalanan dilanjutkan ke Planet Merah Mars. Di planet ini kabarnya masih terdapat kandungan air. Planet terbesar Yupiter, si balerina cantik dengan cincinnya yang khas Planet Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Usai sudah mengarungi jagat raya, rindu rasanya kembali ke bumi. Setidaknya, perjalanan imajinasi tadi merupakan wisata yang amat menyenangkan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan. Penulis: KOMPAS, Neli Triana [Non-text portions of this message have been removed]