Menu Sarapan di Bandung Kupat tahu barangkali adalah salah satu sajian rakyat yang tampil dengan versi terbanyak di Indonesia. Di berbagai daerah, sajian dengan bahan dasar ketupat (atau lontong) dengan tahu, tampil dalam berbagai cara menghidangkan.
Di Bandung saja dikenal setidaknya dua versi kupat tahu, yaitu gagrak Padalarang dan Singaparna. Model Padalarang terdiri atas lontong, tahu padat yang digoreng sebentar, lalu disiram dengan kuah santan berwarna kuning berisi sohun. Sedangkan versi Singaparna adalah lontong, tahu, tauge, kemudian disiram sambal kacang. Versi ini agak mirip dengan yang bisa didapati di Solo, Surabaya, dan tempat-tempat lain. Di Jakarta, sajian seperti ini - dengan tambahan mihun atau sohun - disebut ketoprak. Di Bandung, sekalipun memakai nama kupat tahu, tetapi karbohidratnya bukanlah ketupat, melainkan lontong. Lontongnya besar sekali. Panjangnya setengah meter, dengan diameter sekitar 15 sentimeter. Lontong dibungkus dengan daun pisang kepok batu. Daun pisang kepok batu ini membuat bagian lontong yang bersentuhan dengan daun berwarna hijau cantik. Orang yang tidak memahami spesifikasi daun pisang ini pastilah menduga bahwa lontongnya diberi zat pewarna buatan. Acid test-nya mudah. Bila memakai bahan pewarna buatan, warna hijaunya akan meresap hingga ke dalam. Sedangkan bila memakai daun pisang kepok batu, warna hijaunya hanya berada di permukaan. Aroma dan warna daun pisang ini membuat lontongnya semakin menggiurkan. Di GOR Pajajaran ini ada beberapa penjual kupat tahu. Seorang ibu yang menjual kupat tahu ini mungkin tidak sadar bahwa cara dia menyajikan sangat mirip dengan model nouvelle cuisine. Lontongnya tidak disebar di seluas piring, melainkan "ditumpuk" di bagian tengah. Lalu, tahunya diiris-iris rapi dan ditumpuk lagi di atas lontong. Di atasnya ditebar tauge, baru kemudian disiram sambal kacang secara artistik. Hebat, euy! "Pelajaran" tentang kupat tahu gagrak Padalarang dan Singaparna itu saya dapati di GOR (Gelanggang Olah Raga) Pajajaran, Bandung - yang kemudian saya akui sebagai the ultimate breakfast place di Bandung. Istilah itu sendiri ditawarkan oleh JS-er Irvan Kartawiria dan didukung para JS-er Bandung lainnya, seperti Cindih Ceret, Sofia Mansoor, dan Harry Nazarudin. Pada pagi hari, orang-orang berolahraga di GOR dan sekitarnya. Di sekeliling GOR banyak penjual makanan - mentah maupun matang. Jadi, setelah berolah raga orang dapat belanja bahan makanan untuk dibawa pulang. Tetapi, hei, tentu juga bisa sarapan dulu dengan pilihan yang sangat beragam. Mungkin karena kebanyakan yang berolahraga pagi di GOR Pajajaran adalah kaum keturunan Tionghoa, maka jenis makanan yang tersedia di sana juga sesuai dengan selera mereka. Dari segi pilihan, GOR Pajajaran jelas mengalahkan lapangan Gasibu (Gabungan Sepak Bola Bandung Utara) di depan Gedung Sate. Di Gasibu, kebanyakan menu sarapannya adalah lontong kari, bubur ayam, mi bakso, mi kocok, dan semacamnya. Di GOR Pajajaran, saya menemukan nasi tim gerobakan dengan versi yang mengejutkan. Saya beruntung ketika sampai di tempat itu masih tersisa satu porsi. He he, padahal sebetulnya saya ingin gegares dua porsi, tuh. Pelanggannya kebanyakan adalah para "olahragawan" keturunan Tionghoa berusia 60 tahun ke atas. Mereka sedang ramai-ramai makan pagi bersama. Gerobaknya memakai merek "Gizi". Nasi tim ayam-nya wangi banget. Kentara sekali memakai bumbu ngohiong (five spices = lima bumbu). Ayamnya tidak berupa potongan utuh, melainkan disuwir-suwir. Kalau biasanya nasi tim ayam diisi setengah telur ayam atau dua-tiga butir telur burung puyuh, nasi tim ayam "Gizi" memakai setengah potong telur asin. Sungguh, versi nasi tim ayam yang sangat unik dan istimewa. Cobain, deh! Nasi tim ayam "Gizi" bahkan mengalahkan nasi tim ayam "Raos" (d/h "Bakmi Kejaksaan", di Jalan Kejaksaan, dekat Braga), atau "Sudi Mampir" di Cipanas, yang selama ini menjadi favorit saya. Artinya, pagi-pagi saya akan sarapan nasi tim ayam "Gizi", lalu siangnya makan nasi tim ayam "Raos". Kalau perlu malamnya, dalam perjalanan pulang ke Bogor, makan nasi tim ayam "Sudi Mampir". Saya memang agak gila nasi tim ayam! Di GOR Pajajaran juga dapat ditemui bubur kacang a la Hokkian. Ini adalah kacang tanah kupas yang direbus lama sekali, sehingga kacangnya menjadi sangat empuk, tetapi belum hancur. Biasanya saya makan bubur kacang serupa ini di Pasar Semawis, Semarang. Di Bandung ini saya baru tahu bahwa bubur kacang ini cocoknya dimakan dengan cakwe. Biar lebih filling, barangkali. Atau, seperti tulisan di baju kaus keluaran Dagadu Yogya: Vokoke Whareg! Ceunah mah, cakwe dari "Lie Tjay Tat" yang semula mangkal di Pasar Baru Bandung ini, sudah terkenal sejak tahun 1934. Belum lama ini mereka membuat heboh Bandung dengan memecahkan rekor dunia membuat cakwe terbesar sepanjang 13 meter. Teuteup saja saya lebih suka cakwe yang panjangnya cuma 20 sentimeter. Di luar GOR Pajajaran, pilihan menu sarapan tersebar di seluas Bandung. Menu sarapan khas Bandung lainnya adalah surabi oncom. Suatu ketika, saya menginap di sebuah hotel di daerah Karangsetra, Bandung. Ketika bangun pagi dan membuka tirai jendela, saya melihat di bawah sana ada api berkobar. Saya terkejut! Saya perhatikan terus. Ternyata bukan kebakaran. Di bawah sana, seorang ibu sedang memersiapkan sederetan tungku dengan arang. Mungkin ada lebih dari 20 tungku yang dipersiapkannya. Jualan apa, ya? Maka, setelah jalan pagi satu jam, saya singgah di warung pinggir jalan dengan deretan tungku itu. Ternyata, si ibu berjualan surabi (serabi, apem). Di atas masing-masing tungku diletakkan "wajan" tanah liat. Adonan serabi dituang ke wajan itu, dibakar sampai matang, kemudian diberi topping sambal oncom kering. Hmm, legit! Ini berbeda dengan surabi bandung yang kita kenal di Jakarta, yaitu serabi yang bentuknya gembung berdiameter sekitar enam sentimeter, berwarna hijau daun suji, dan disiram dengan kuah santan bergula merah. Di Bandung, menjual surabi dapat dijumpai di mana-mana. Di Jalan Setiabudi, ada "Surabi Imut" yang menyajikan berbagai jenis surabi: surabi coklat (dengan taburan muisjes), surabi keju, surabi pisang, dan surabi spesial. Mau tahu seperti apa surabi spesial itu? Setelah adonan surabi dituang di wajan, sebutir telur ayam dipecahkan di atasnya. Lalu ditaburi suwiran ayam atau irisan sosis sapi. Setelah surabi dan telur matang - juga bisa setengah matang bila diingini - di atasnya diberi topping dari mayonnaise buatan sendiri. Surabi telur ini menjadi menu sarapan yang lebih komplet. Di Lembang juga ada menu sarapan yang cocok, yaitu juadah bakar (ulen). Selain di Pasar Buah, di sepanjang jalan-jalan utama Lembang dapat dijumpai para penjual ulen. Juadah Lembang ini hanya terbuat dari ketan, tidak dicampur parutan kelapa seperti jadah-nya orang Jawa yang lebih legit. Alasannya, supaya lebih tahan lama. Maklum, penjual ulen menggelar dagangannya dari pagi sampai malam. Makan ulen cocoknya sambil minum bandrek atau bansus (bandrek susu). Badan hangat, perut pun kenyang. Karena juadahnya tawar, maka ulen dimakan dengan tiga jenis cocolan, yaitu: serundeng kering, sambal kacang, sambal oncom. Tentulah sambal oncom yang paling populer. Bukankah oncom kesukaan orang Bandung? Sok atuh, sarapan ke Bandung, yuk? BONDAN WINARNO [Non-text portions of this message have been removed]