Menyusuri Jalanan Kota Geneva

  

         

 

         

 

Pesawat KLM 1927 mendarat di Bandara Internasional Geneva, Senin 4 Desember
2006 pukul 11.00, setelah terbang sekitar 70 menit dari Bandara Schippol,
Amsterdam. Hati terasa lega setelah terbang hampir 20 jam dari Bandara
Soekarno-Hatta melalui Kuala Lumpur dan Amsterdam. 

Setelah menembus barisan panjang di pos imigrasi Bandara Geneva, kami
bertemu dengan Mahjouba Sierro dari Departemen Luar Negeri Swiss yang
menjemput di Bandara Geneva. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sejenak,
rangkaian perjalanan selama sepekan di Swiss dimulai dari Bandara
Internasional Geneva. Kami memilih bus untuk menuju Hotel Les-Nations di Rue
du Grand-Pre 62 Geneva. Sierro membeli tiket bus seharga 3 CHF (franc
Swiss). 

Bus bergerak menyusuri jalan-jalan kota Geneva yang basah karena hujan.
Udara dingin sekitar 5 derajat Celsius. Tiba-tiba Sierro mengajak kami turun
dan berganti bus. Kami berjalan menuju tempat pemberhentian bus dengan
menarik koper besar. Sierro bertanya kepada orang-orang sekitar dengan
bahasa Perancis karena memang mayoritas penduduk di Geneva berbahasa
Perancis. 

Kami kemudian berganti bus lain. Berbeda dengan bus kota di Jakarta, bus
kota di Geneva tepat waktu serta bersih dan hanya berhenti di tempat
pemberhentian. Tak ada orang merokok. 

Mayoritas penduduk Geneva dan kota lainnya menggunakan bus atau trem. Mereka
membeli tiket di counter, seperti ATM di Jakarta, dan memilih rute yang mau
dituju. Ada juga tiket yang dijual tiap jam, tiap hari, tiap minggu, bulan,
dan tahunan. Menurut Sierro, kadang-kadang ada petugas yang menginspeksi
penumpang. "Kalau ketahuan tak membeli tiket, bisa didenda sampai 60 CHF,"
ucap Sierro bertutur tentang transportasi publik di Geneva. 

Beberapa saat bertutur, Sierro tersadar. Bus yang kami tumpangi ternyata
bergerak menjauhi Hotel Les-Nations. Bus itu bergerak ke arah sebaliknya.
Sierro mengatakan, "Maaf, busnya berjalan ke arah sebaliknya." Ia mengaku
tidak cukup hafal dengan jalan-jalan kota Geneva karena ia bekerja di Bern
dan tinggal di Laussane. Bern adalah ibu kota Swiss yang bisa ditempuh dua
jam perjalanan dari Geneva menggunakan kereta. 

Kami berganti bus untuk ketiga kalinya. Koper yang sudah berat makin terasa
berat ketika penat dan kantuk mulai menyergap. Hujan lebat mengguyur kota
Geneva. Tak sampai lima menit, bus berhenti di tempat pemberhentian. Kami
pun turun dan berjalan menuju ke arah hotel. Tangan kanan menarik koper,
tangan kiri memegang payung yang dipinjamkan Sierro kepada kami. Tiba di
hotel, kami sodorkan paspor. Tak ada nama pesanan hotel atas nama kami.
Setelah dicek, hotel yang kami tuju pun keliru meskipun sama-sama terletak
di Rue du Grand-Fre. "Les Nations di seberang perempatan jalan," ucap
resepsionis hotel menunjukkan jalan menuju Les Nations. 

Kami berbalik arah. Sierro meminta maaf atas kekurangakuratan pilihan bus
dan hotel. Kami akhirnya tiba di Hotel Les-Nations. Berbeda dengan
hotel-hotel di Jakarta dan Asia, Hotel Les Nations yang berbintang empat
berukuran kecil. Tak ada petugas hotel yang menawarkan jasa untuk mengangkat
koper menuju kamar hotel yang terletak di lantai enam. 

Sekitar pukul 13.30 kami tiba di hotel. Sesuai dengan jadwal yang disusun
Departemen Luar Negeri Swiss, pukul 15.00 kami harus menghadiri sidang pleno
Dewan HAM di Kantor PBB di Geneva. Sekitar 30 menit beristirahat serta
berganti baju dan jas, kami pun berangkat ke Kantor PBB untuk mengurus badge
(lencana) sebagai tanda masuk. Tak butuh waktu lama untuk mengurus lencana
tanda masuk. Paling sekitar 30 menit karena harus antre menunggu pengunjung
lain. 

Lencana akhirnya kami peroleh. Sierro kemudian mengajak kami ke kafetaria
yang terletak di Museum Palang Merah Internasional (ICRC) di depan Kantor
PBB. Sierro menjelaskan berbagai program yang harus kami jalani semasa di
Geneva dan Bern. Ia juga mengatakan tak bisa mendampingi kami lagi. 

Sierro mengaku tak bisa ikut mendampingi masuk ke Kantor PBB karena ia tak
punya lencana masuk ke sana. Masuk ke kompleks Kantor PBB tentunya tidaklah
mudah bagi orang baru yang tak mengenal sudut-sudut Kantor PBB. 

Kami berpikir keras untuk itu. Akhirnya, kami nekat untuk menelepon bekas
aktivis lembaga swadaya masyarakat di Jakarta yang kini menjadi diplomat di
Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Geneva. Biaya roaming tak kami
pikirkan. Diplomat itu bernama Benny YP Siahaan, Sekretaris Satu PTRI di
Geneva. Benny dan rekannya, Muhammad Anshor, yang membawa kami ke kompleks
PBB di Geneva dengan menumpang mobil Corps Diplomatic (CD). Kami berpisah
dengan Sierro yang sebelum ke Bern membelikan tiket bus mingguan dan
meninggalkan tiket tersebut di hotel. 

Dicegat 

Perjalanan jurnalistik berlanjut ke hari berikutnya, yaitu mengunjungi
Kantor Association for The Prevention of Torture (APT) yang lokasinya tak
jauh dari Kantor PBB. APT adalah LSM internasional yang memfokuskan diri
pada pencegahan penyiksaan. 

Dari APT, kami melanjutkan perjalanan jurnalistik untuk menemui Prof Dr
Andrew Clapham. Ia adalah guru besar hukum internasional di Institute for
International Studies di Geneva. Lokasi wawancara di Avenue Blanck 49. 

Kami membayangkan Avenue Blanck 49 adalah sebuah kampus besar seperti
Universitas Indonesia di Depok atau Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur,
Yogyakarta. Tak mudah menemukan lokasi itu. Kami beberapa kali bertanya, dan
terakhir kepada mahasiswa perempuan berlogat Italia. Ia mengaku ayahnya dari
Italia dan ibunya dari Jerman. Mahasiswa itu baik dan menawari kami
mengikutinya karena ia juga akan berjalan ke arah yang sama. 

Di tengah jalan yang sepi, tiba-tiba dua pemuda mencegat kami. Mereka
menunjukkan kartu identitas. Namun, identitas itu tidak sempat kami baca.
Mereka tidak menggunakan seragam. Mereka meminta kami menunjukkan paspor dan
membuka dompet. Ia menanyakan apakah kami membawa uang dollar AS. Dalam
posisi yang terjepit, mereka memaksa melihat dan membuka dompet kami. Mereka
menemukan sejumlah uang rupiah, euro yang kami tukarkan di Bandara Schippol
dan uang ringgit Malaysia. Tak ada dollar AS di dompet. Mereka memaksa untuk
membongkar tas yang kami bawa. Kami katakan: tidak! Sampai beberapa kali.
Mereka kemudian mengatakan, "Anda jangan takut. Kami melindungi Anda yang
berada di wilayah kami. Jangan cerita siapa-siapa," ucap seorang dari
mereka. 

Dua pemuda itu meninggalkan kami. Tak tahu apa sebenarnya motif kedua orang
itu. Ia tak mengambil sepeser pun uang kami, padahal kesempatan itu sudah
terbuka lebar. Si mahasiswa yang berjalan bersama kami pun tak tahu apa
maksud dua pemuda itu. "Tak ada uang yang diambil kan," ucapnya. 

Kami kemudian berpisah. Si mahasiswa menunjukkan sebuah gedung di Avenue
Blanck 49. Gedung itu lebih mirip ruko, bukan kampus. Beberapa kantor
perwakilan asing berkantor di sana. Institute for International Studies
berkantor di lantai IV. Terasa sepi. Terasa bukan sebuah kampus. Kami datang
satu jam lebih cepat dari jadwal wawancara. Ruang Prof Clapham masih
terkunci. Baru pukul 17.00, ia datang ke ruang kerjanya. Ia datang tepat
waktu. Kami pun melakukan wawancara tentang berbagai hal. Namun, pengalaman
yang baru terjadi tak menjadi bahan diskusi. 

Kunjungan ke ICRC adalah kunjungan terpadat. Hampir sehari penuh kami berada
di Markas Besar Palang Merah Internasional dan mengunjungi Museum Palang
Merah Internasional. Palang Merah didirikan oleh Henry Dunant, yang
berkewarganegaraan Swiss. Acara yang diatur Carla Haddad, gadis keturunan
Lebanon, itu begitu padat. Carla adalah penghubung media untuk kawasan Asia
Pasifik. Kami berdiskusi dengan pejabat-pejabat ICRC, termasuk mengunjungi
perpustakaan ICRC. 

Jumat adalah hari terakhir. Sebelum kami ke Bern dengan menggunakan kereta,
kami mewawancarai Prof Dr Andrea Bianci dari Institute For International
Studies. Perjalanan Geneva-Bern sekitar dua jam. Kami melalui kota
Laussane-Fribourg dan Bern. Di seberang jalan tampak pemandangan danau
Geneva dan gunung-gunung dengan salju putih melingkupinya. Suatu pemandangan
yang indah. Perjalanan kereta di Swiss juga mengasyikkan. Tidak berisik. Tak
ada penjual makanan. Bersih! Dan tepat waktu! 

Di Stasiun Bern, Norbert Barlocher dari Departemen Luar Negeri Swiss
menjemput di kereta terakhir. Ia menyalami dengan hangat dan membawa kami ke
Kantor Deplu Swiss yang tak jauh dari stasiun. Kami berjalan kaki menuju
kantornya. Di stasiun ia bercerita tentang kemandirian orang Swiss. Ia
menunjukkan huruf Braille di besi penyangga di stasiun. 

Kami pun tinggal di rumah Norbert. Ia pulang ke rumahnya di Fribourg dengan
menggunakan kereta. Ia punya mobil, tetapi tak digunakannya. "Menggunakan
bus sudah cukup," ucapnya. Tiba di Stasiun Fribourg, kami menggunakan bus
menuju Grand Fontaine. Rumah Norbert di Grand Fontaine 11. Rumahnya kuno dan
dipenuhi hiasan khas Indonesia. Ada yang dibawa dari Bali, ada juga mebel
yang dibelinya dari Kemang, Jakarta Selatan. Kain batik dan mebel ukir
menghiasi rumah kuno yang memang disukai pasangan keluarga itu. Ia pernah
menjadi Wakil Duta Besar Swiss di Jakarta. 

Semalam di rumah Norbert, ia banyak bercerita soal kemandirian dan
kesederhanaan yang menjadi ciri utama Swiss. Ia menyebutkan, kalau Swiss
memproduksi jam Rolex, Rolex itu bukan untuk orang Swiss. "Sangat jarang
orang Swiss yang menggunakan Rolex," ujar Norbert seraya menambahkan, "Rolex
dibuat di Swiss untuk orang asing." 


Penulis: KOMPAS, Budiman Tanuredjo



 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke