Ida Arimurti SEKOLAH HARI INI...

2007-02-22 Terurut Topik Ida arimurti
SEKOLAH HARI INI... 

Oleh : Tarmidi, S.Psi 

  

Setiap tahun ajaran baru dimulai, di setiap simpang dan tiap sudut 

kota telah terpampang "iklan" yang menawarkan tentang keunggulan 

sekolah-sekolah, selain sekolah negeri yang rutin melakukan 

penerimaan siswa baru dengan seleksi tersendiri, ada juga sekolah-

sekolah lainnya yang tidak kalah unggulnya dengan sekolah negeri. 

 

Namun ketika sekolah telah berjalan, kekecewaanpun mulai muncul dalam 

hati orang tua murid, ini tidak lain karena melihat nilai rapor anak 

mereka yang tidak sesuai dengan harapan. Padahal besar harapan mereka 

(baca: orang tua) untuk menjadikan anak mereka cerdas jika bersekolah 

di sekolah yang unggul dan elit. Kemudian keraguan dan ketakutanpun 

mulai muncul dalam hati mereka setelah kekecewaan. Keraguan 

disebabkan, para orang tua mulai meragukan keunggulan sekolah karena 

tidak bisa menjadikan anak mereka cerdas secara akademis. Dan 

ketakutan disebabkan, para orang tua mulai takut, jangan-jangan anak 

mereka memang bodoh karena mendapat nilai rapor yang jelek. 

 

Nilai rapor. Itulah yang menjadi tolak ukur para orang tua dalam 

menentukan apakah anak mereka cerdas atau tidak. Menurut mereka 

(baca: orang tua) anak yang cerdas adalah anak yang memiliki nilai 

rapor yang tinggi, sedangkan anak dengan nilai rapor yang rendah 

adalah anak yang bodoh. Tapi, bagaimanakah sebenarnya anak yang 

cerdas itu? Benarkah nilai rapor sebagai penentu kecerdasan 

seseorang? Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita simak cerita
berikut. 

 

"Terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar 

itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar 

ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para bintang 

besar itu memutuskan untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, 

terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

 

Anehnya mereka tidak menemukan kata sepakat tentang subjek mana yang 

paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti 

kurikulum yang sama. Jadi setiap murid harus ikut mata pelajaran 

memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

 

Kita tentu tahu karakter rusa yang ahli berlari, nah suatu saat sang 

rusa hampir tenggelam saat mengikuti kelas (mata pelajaran) berenang. 

Dan pengalaman mengikuti kelas berenang sangat membuat batinnya 

terguncang, dia merasa seperti tidak punya potensi lagi. Lama-

kelamaan, karena sibuk mengurusi pelajaran berenang, dan harus 

mengikuti pelajaran tambahan berenang, si rusa pun tidak lagi dapat 

berlari secepat sebelumnya. Karena dia sudah mulai jarang melatih keahlian
alaminya. 

 

Kemudian ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah 

binatang tersebut. Kita juga tentu tahu karakter burung elang. Yang 

sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si 

elang tidak mampu menjalani tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dan 

akhirnya, ia juga harus mengikuti les tambahan menggali. Les itu 

banyak menyita waktunya, sehingga ia melupakan cara terbang yang 

sebelumnya sangat dikuasainya. 

 

Demikianlah kesulitan demi kesulitan melanda juga binatang-binatang 

lain, seperti bebek, burung pipit, ular dll. Para binatang kecil itu 

tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang 

keahliannnya mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa 

melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat-sifat asli mereka. " 

(Hernowo dan Nurdin, 2004) 

 

Begitulah sekolah kita hari ini, persis seperti sekolah dunia 

binatang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti semua mata pelajaran yang 

bahkan tidak disukai mereka dan malah melupakan kemampuan alamiah 

mereka di bidang lain. Seperti misalnya, anak yang cerdas dalam 

berbahasa inggris, tapi tidak cerdas dalam matematika akan mengurangi 

kemampuan bahasa inggrisnya, karena harus mengikuti les tambahan 

matematika setiap hari, sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengasah 

kemampuannya dalam berbahasa inggris. Alhasil, anak tersebut tetap 

tidak cerdas dalam matematika, juga tidak terampil dalam berbahasa inggris. 

 

Apakah kita mau, anak-anak kita tidak mempunyai keterampilan sama 

sekali? Atau apakah kita mau, demi bidang yang satu, anak kita 

menjadi hilang potensinya di bidang yang lain? Tentu jawabnnya tidak. 

Dan saya harap semua orang tua sepakat menjawab tidak. 

 

Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap ini semua? Sebelumnya ada 

sebuah pengalaman menarik dari Skinner (1904-1990) - seorang psikolog 

terkenal dari Austria - yang dapat memberikan gambaran keadaan 

sekolah kita hari ini. "Pada suatu hari dalam kapasitasnya sebagai 

orang tua murid pernah melihat-lihat bagaimana keadaan kelas anak 

perempuannya yang duduk di kelas 4 setingkat SD pada saat pelajaran 

berlangsung. Ia melihat dalam kelas itu terdapat 20 "organisme hidup 

(murid) berharga" tapi menjadi korban pengajaran yang menurutnya 

situasi dalam kelas itu bukanlah suatu proses belajar. Ia sangat 

keberatan d

Ida Arimurti SEKOLAH HARI INI... ( Bagus kita ketahui..Ida )

2007-02-22 Terurut Topik Ida arimurti
SEKOLAH HARI INI... 

Oleh : Tarmidi, S.Psi 

  

Setiap tahun ajaran baru dimulai, di setiap simpang dan tiap sudut 

kota telah terpampang "iklan" yang menawarkan tentang keunggulan 

sekolah-sekolah, selain sekolah negeri yang rutin melakukan 

penerimaan siswa baru dengan seleksi tersendiri, ada juga sekolah-

sekolah lainnya yang tidak kalah unggulnya dengan sekolah negeri. 

 

Namun ketika sekolah telah berjalan, kekecewaanpun mulai muncul dalam 

hati orang tua murid, ini tidak lain karena melihat nilai rapor anak 

mereka yang tidak sesuai dengan harapan. Padahal besar harapan mereka 

(baca: orang tua) untuk menjadikan anak mereka cerdas jika bersekolah 

di sekolah yang unggul dan elit. Kemudian keraguan dan ketakutanpun 

mulai muncul dalam hati mereka setelah kekecewaan. Keraguan 

disebabkan, para orang tua mulai meragukan keunggulan sekolah karena 

tidak bisa menjadikan anak mereka cerdas secara akademis. Dan 

ketakutan disebabkan, para orang tua mulai takut, jangan-jangan anak 

mereka memang bodoh karena mendapat nilai rapor yang jelek. 

 

Nilai rapor. Itulah yang menjadi tolak ukur para orang tua dalam 

menentukan apakah anak mereka cerdas atau tidak. Menurut mereka 

(baca: orang tua) anak yang cerdas adalah anak yang memiliki nilai 

rapor yang tinggi, sedangkan anak dengan nilai rapor yang rendah 

adalah anak yang bodoh. Tapi, bagaimanakah sebenarnya anak yang 

cerdas itu? Benarkah nilai rapor sebagai penentu kecerdasan 

seseorang? Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita simak cerita
berikut. 

 

"Terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar 

itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar 

ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para bintang 

besar itu memutuskan untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, 

terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

 

Anehnya mereka tidak menemukan kata sepakat tentang subjek mana yang 

paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti 

kurikulum yang sama. Jadi setiap murid harus ikut mata pelajaran 

memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

 

Kita tentu tahu karakter rusa yang ahli berlari, nah suatu saat sang 

rusa hampir tenggelam saat mengikuti kelas (mata pelajaran) berenang. 

Dan pengalaman mengikuti kelas berenang sangat membuat batinnya 

terguncang, dia merasa seperti tidak punya potensi lagi. Lama-

kelamaan, karena sibuk mengurusi pelajaran berenang, dan harus 

mengikuti pelajaran tambahan berenang, si rusa pun tidak lagi dapat 

berlari secepat sebelumnya. Karena dia sudah mulai jarang melatih keahlian
alaminya. 

 

Kemudian ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah 

binatang tersebut. Kita juga tentu tahu karakter burung elang. Yang 

sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si 

elang tidak mampu menjalani tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dan 

akhirnya, ia juga harus mengikuti les tambahan menggali. Les itu 

banyak menyita waktunya, sehingga ia melupakan cara terbang yang 

sebelumnya sangat dikuasainya. 

 

Demikianlah kesulitan demi kesulitan melanda juga binatang-binatang 

lain, seperti bebek, burung pipit, ular dll. Para binatang kecil itu 

tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang 

keahliannnya mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa 

melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat-sifat asli mereka. " 

(Hernowo dan Nurdin, 2004) 

 

Begitulah sekolah kita hari ini, persis seperti sekolah dunia 

binatang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti semua mata pelajaran yang 

bahkan tidak disukai mereka dan malah melupakan kemampuan alamiah 

mereka di bidang lain. Seperti misalnya, anak yang cerdas dalam 

berbahasa inggris, tapi tidak cerdas dalam matematika akan mengurangi 

kemampuan bahasa inggrisnya, karena harus mengikuti les tambahan 

matematika setiap hari, sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengasah 

kemampuannya dalam berbahasa inggris. Alhasil, anak tersebut tetap 

tidak cerdas dalam matematika, juga tidak terampil dalam berbahasa inggris. 

 

Apakah kita mau, anak-anak kita tidak mempunyai keterampilan sama 

sekali? Atau apakah kita mau, demi bidang yang satu, anak kita 

menjadi hilang potensinya di bidang yang lain? Tentu jawabnnya tidak. 

Dan saya harap semua orang tua sepakat menjawab tidak. 

 

Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap ini semua? Sebelumnya ada 

sebuah pengalaman menarik dari Skinner (1904-1990) - seorang psikolog 

terkenal dari Austria - yang dapat memberikan gambaran keadaan 

sekolah kita hari ini. "Pada suatu hari dalam kapasitasnya sebagai 

orang tua murid pernah melihat-lihat bagaimana keadaan kelas anak 

perempuannya yang duduk di kelas 4 setingkat SD pada saat pelajaran 

berlangsung. Ia melihat dalam kelas itu terdapat 20 "organisme hidup 

(murid) berharga" tapi menjadi korban pengajaran yang menurutnya 

situasi dalam kelas itu bukanlah suatu proses belajar. Ia sangat 

keberatan d

Ida Arimurti Sekolah Hari ini

2007-02-21 Terurut Topik Rahman, Tiar
Dari milis sebelah:



Wow, rumit sekali menyekolahkan anak, ya ?
Hari ini kita lihat bahwa cara pendidkan hari ini keliru.
Ditemukan metoda baru yang lebih cocok.
Untuk kemudian diusangkan lagi pada masanya.

Begitu untuk seterusnya.
Never ending cycle ...

Kasihan sang anak.

Jadi ingat masa sekolah dulu.
Matematika jaman Belanda diganti aritmatika modern.
Diajarkan :
- Bilangan Dasar
- Teori Set dll

Sampai suatu saat belanja di warung.
Sang pemilik warung bertanya :
* "Uang adik 100 rupiah, dibelikan roti 25 rupiah, berapa kembaliannya,
dik ?"
- Tidak menjawab (tertegun) ...
* "Mari disederhanakan, 100 dikurangi 25, berapa, dik ?"
- "Bilangan dasarnya berapa pak ?"
* "?"

>>> Sahesty 21-Feb-07 08:15:00 >>>

From: "Alexander"

Sent: Friday, February 16, 2007 9:48 AM
Subject: SEKOLAH HARI INI...

SEKOLAH HARI INI... 

Oleh : Tarmidi, S.Psi 

Setiap tahun ajaran baru dimulai, di setiap simpang dan tiap sudut 
kota telah terpampang "iklan" yang menawarkan tentang keunggulan 
sekolah-sekolah, selain sekolah negeri yang rutin melakukan 
penerimaan siswa baru dengan seleksi tersendiri, ada juga sekolah-
sekolah lainnya yang tidak kalah unggulnya dengan sekolah negeri. 

Namun ketika sekolah telah berjalan, kekecewaanpun mulai muncul dalam 
hati orang tua murid, ini tidak lain karena melihat nilai rapor anak 
mereka yang tidak sesuai dengan harapan. Padahal besar harapan mereka 
(baca: orang tua) untuk menjadikan anak mereka cerdas jika bersekolah 
di sekolah yang unggul dan elit. Kemudian keraguan dan ketakutanpun 
mulai muncul dalam hati mereka setelah kekecewaan. Keraguan 
disebabkan, para orang tua mulai meragukan keunggulan sekolah karena 
tidak bisa menjadikan anak mereka cerdas secara akademis. Dan 
ketakutan disebabkan, para orang tua mulai takut, jangan-jangan anak 
mereka memang bodoh karena mendapat nilai rapor yang jelek. 

Nilai rapor. Itulah yang menjadi tolak ukur para orang tua dalam 
menentukan apakah anak mereka cerdas atau tidak. Menurut mereka 
(baca: orang tua) anak yang cerdas adalah anak yang memiliki nilai 
rapor yang tinggi, sedangkan anak dengan nilai rapor yang rendah 
adalah anak yang bodoh. Tapi, bagaimanakah sebenarnya anak yang 
cerdas itu? Benarkah nilai rapor sebagai penentu kecerdasan 
seseorang? Sebelum pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita simak 
cerita berikut. 

"Terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar 
itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita, para binatang besar 
ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka, para bintang 
besar itu memutuskan untuk menciptakan sebuah sekolah memanjat, 
terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

Anehnya mereka tidak menemukan kata sepakat tentang subjek mana yang 
paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti 
kurikulum yang sama. Jadi setiap murid harus ikut mata pelajaran 
memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. 

Kita tentu tahu karakter rusa yang ahli berlari, nah suatu saat sang 
rusa hampir tenggelam saat mengikuti kelas (mata pelajaran) berenang. 
Dan pengalaman mengikuti kelas berenang sangat membuat batinnya 
terguncang, dia merasa seperti tidak punya potensi lagi. Lama-
kelamaan, karena sibuk mengurusi pelajaran berenang, dan harus 
mengikuti pelajaran tambahan berenang, si rusa pun tidak lagi dapat 
berlari secepat sebelumnya. Karena dia sudah mulai jarang melatih 
keahlian alaminya. 

Kemudian ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah 
binatang tersebut. Kita juga tentu tahu karakter burung elang. Yang 
sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si 
elang tidak mampu menjalani tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Dan 
akhirnya, ia juga harus mengikuti les tambahan menggali. Les itu 
banyak menyita waktunya, sehingga ia melupakan cara terbang yang 
sebelumnya sangat dikuasainya. 

Demikianlah kesulitan demi kesulitan melanda juga binatang-binatang 
lain, seperti bebek, burung pipit, ular dll. Para binatang kecil itu 
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang 
keahliannnya mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa 
melakukan hal-hal yang tidak menghargai sifat-sifat asli mereka. " 
(Hernowo dan Nurdin, 2004) 

Begitulah sekolah kita hari ini, persis seperti sekolah dunia 
binatang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti semua mata pelajaran yang 
bahkan tidak disukai mereka dan malah melupakan kemampuan alamiah 
mereka di bidang lain. Seperti misalnya, anak yang cerdas dalam 
berbahasa inggris, tapi tidak cerdas dalam matematika akan mengurangi 
kemampuan bahasa inggrisnya, karena harus mengikuti les tambahan 
matematika setiap hari, sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengasah 
kemampuannya dalam berbahasa inggris. Alhasil, anak tersebut tetap 
tidak cerdas dalam matematika, juga tidak terampil dalam berbahasa 
inggris. 

Apakah kita mau, anak-anak kita tidak mempunyai keterampilan sama 
sekali? Atau apakah kita mau, demi bidang yang satu, anak kita 
menjadi hilang poten