Ida Arimurti Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang

2007-03-07 Terurut Topik Ida arimurti
Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang

  Oleh N. Gelebet 

  

  PARIWISATA telah menjadi keperluan dalam kehidupan kota-kota dunia yang

  kehilangan alam dan budaya dalam ketersesakan rasa ruang yang semakin

  menghimpit. Pariwisata telah mempekerjakan 600 juta atau sekitar 17% dari

  tenaga kerja global dengan share pariwisata 16% dari GNP dunia. Pariwisata

  dunia tumbuh dengan 6,5% dan Asia Pasifik paling cepat dengan 9,8%.

  

  Bagi Bali, Australia merupakan pasar utama pariwisatanya. Dalam sepuluh

  tahun terakhir, Australia selalu menempati urutan kedua setelah Jepang

  sebagai penyumbang wisatawan terbanyak ke Pulau Dewata. Sayangnya, sejak
bom

  Bali I, kunjungan wisatawan Australia ke Bali terus melorot. Bahkan, tahun

  lalu jumlah kunjungan wisatawan dari negeri kanguru ke Bali hanya 47
persen

  dibanding tahun 2005. Akibatnya posisi Australia digeser oleh Taiwan yang

  menduduki posisi kedua setelah Jepang. Inilah antiklimaks dari serangkaian

  tragedi yang menimpa Bali (BP, 19/2).

  

  Proporsional

  

  Membangun kepariwisataan perlu proporsional antarkomponen: bandara, hotel,

  restauran, biro perjalanan, tekreasi, pertunjukan, hiburan, perbelanjaan.

  Masing-masing bersinergi harmonis, dikelola dengan profesional, dapat

  memberikan kepuasan, kenangan keindahan, aman dan nyaman, senantiasa

  beradaptasi aktif dengan tuntutan peradaban yang berkembang. Meningkatkan

  kualitas peran, pesan dan kesan manakala mengharapkan wisatawan
berkualitas.

  

  Ketimpangan pariwisata Bali saat ini sangat memprihatinkan, Bandara tidak

  berkembang sesuai keperluan. Akomodasi memang berlebihan (bila peluang
tidak

  dimanfaatkan), rekreasi, pertunjukan dan hiburan tidak ada yang mengelola

  secara profesional. Tempat-tempat perbelanjaan, penataan dan kebersihannya

  kurang memberikan kenyamanan, 'pemerasan' pun terjadi nyaris di semua

  sektor. Bagaimana mungkin pariwisata berkembang proporsional manakala ODTW

  (Objek dan Daya Tarik Wisata) tidak menampilkan yang baru dan yang umumnya

  masih telantar. Dengan sistem bapak angkat untuk perawatan beberapa ODTW

  memang cukup berhasil, namun sentuhan penataannya masih jauh dari harapan 

  

  Gaung promosi recovery mendengung seakan merasuk ke seantero dunia. Namun

  masih saja diragukan kebenaran apa yang telah dilakukan. Survai
membuktikan,

  nyaris tidak ada wisatawan yang datang ke Bali karena promosi. Kedatangan

  mereka umumnya dari informasi keluarga atau temannya yang pernah ke Bali,

  dari media cetak maupun elektronik dan program massal bagi wisatawan grup.

  Dipertanyakan, sudahkah sesuai kedatangan wisatawan dari hasil promosi

  dengan dana yang dihabiskan? Masih perlukah dana promosi menguras anggaran

  yang tersedia, sementara OTW, perbelanjaan dan pertunjukan nyaris tanpa

  sentuhan pembinaan?

  

  Wisatawan diundang, mereka datang, dirancang untuk bertualang. Objek dan

  daya tarik wisata untuk dipandang bukan dipegang. Untuk itu keamanan,

  kenyamanan dan keunikan keindahan untuk kenangan yang dibawa pulang,

  tentunya perlu dijaga kelestariannya, diupayakan peningkatan kualitasnya,

  dan dimantapkan penataannya dengan dukungan sarana pendukung dan

  penunjangnya yang harmonis selaras lingkungannya. Idealnya demikian,

  faktanya sangat mengecewakan. Sebagian besar ODTW menyusui Pemkab yang

  memanfaatkan sebagai sumber PAD-nya, desa yang mewilayahi untuk

  kontribusinya dan kelompok yang mengelolanya sebagai sumber pendapatan.

  

  Wisatawan diundang untuk datang, bukan dipajang di hotel, namun dirangsang

  untuk berpetualang dalam paket-paket wisata dari ODTW ke ODTW lainnya.

  Mereka diupayakan untuk tinggal lebih lama, pulang ke negaranya berpromosi

  pada temannya, dan nantinya datang lagi. Ada kekeliruan persepsi selama
ini

  bahwa hotel diposisikan sebagai tujuan berwisata, sehingga ODTW nyaris

  telantar tidak ada yang peduli. Seniman pengerajin dan seniman seni

  pertunjukan hanya dijadikan objek pemerasan sehingga keringat mereka untuk

  kelegaan mereka yang berpeluang atas prestasinya. 

  

  Pemkab yang menjadikan Sad Kahyangan sebagai ODTW untuk sumber PAD-nya,
bila

  dilacak perannya dalam lima tahun terakhir, dari penelusuran dokumen APBD,

  tidak ditemukan adanya pos anggaran yang dikembalikan untuk perawatan

  sebagaimana sebelumnya. Ironis memang, masyarakat yang menyerahkan warisan

  leluhurnya sebagai penyertaan modal bagi pembangunan kawasan pariwisata

  eksklusif, kini terlunta-lunta menjajakan jualannya di lahan yang telah

  beralih fungsi super elite. Bahkan ada yang dipandang sebagai mencemari,

  sehingga perlu dikumpulkan untuk dibina. Jelas mereka mengganggu keamanan

  dan kenyamanan wisatawan. Menjajakan dagagangan memang terkesan liar,
tetapi

  itu dilakoni karena tidak ada tempat representatif baginya di kelasnya.

  Dapatkah pemegang kebijakan, peraup keuntungan dan mereka yang memegang

  mandat dan mengatasnamakan keberadaan masyarakat it

Re: Ida Arimurti Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang

2007-02-23 Terurut Topik Huda Mahardika Putra
mba Ida,
  
  Menarik sekali tulisan ini. Apa yang penulis sampaikan saya sangat  memahami. 
Kadang2 setiap kali saya ngobrol sama temen2 wartawan, baik  wartaman media 
pariwisata maupun media ekonomi sering kali membicarakan  masalah pariwisata 
Indonesia yang dari dulu tiidak pernah maju. Bila  Pariwisata Pariwisata suatu 
negara  bisa  maju, maka  akan  maju pula perekonomian  negara tersebut 
terutama  perekonomian di daerah Wisata. Anehnya hal ini se-olah2 tidak 
disadari  oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Budaya RI.  
Padahal setahu saya anggaran Pemerintah untuk industri ini lumayan  besar.
  
  Bali yang dianggap sebagai barometer Pariwisata Indonesia ,  kenyataannya 
selama ini  masih banyak  lokasi2 yang  pengelolaannya  terkesan kurang 
profesional.  Kalau Bali saja  seperti ini gimana dengan daerah lain?  Sangat 
Jauh panggang dari  Api. 
  
  Kita hanya bisa berharap semoga aparat Pemerintah kita menyadari akan  hal 
ini, sehingga kedepan Industri Pariwisata Indinesia bisa  menjadi  andalan 
negara kita Indonesia.
  
  
  Salam,
  
  Huda

'Ida arimurti' <[EMAIL PROTECTED]> wrote:   
   Ketimpangan pariwisata Bali saat ini sangat memprihatinkan, Bandara 
tidak
  berkembang sesuai keperluan. Akomodasi memang berlebihan (bila peluang tidak
  dimanfaatkan), rekreasi, pertunjukan dan hiburan tidak ada yang mengelola
  secara profesional. Tempat-tempat perbelanjaan, penataan dan kebersihannya
  kurang memberikan kenyamanan, ''pemerasan'' pun terjadi nyaris di semua
  sektor.
  
  Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang
  Oleh N. Gelebet 
  
  PARIWISATA telah menjadi keperluan dalam kehidupan kota-kota dunia yang
  kehilangan alam dan budaya dalam ketersesakan rasa ruang yang semakin
  menghimpit. Pariwisata telah mempekerjakan 600 juta atau sekitar 17% dari
  tenaga kerja global dengan share pariwisata 16% dari GNP dunia. Pariwisata
  dunia tumbuh dengan 6,5% dan Asia Pasifik paling cepat dengan 9,8%.
  
  Bagi Bali, Australia merupakan pasar utama pariwisatanya. Dalam sepuluh
  tahun terakhir, Australia selalu menempati urutan kedua setelah Jepang
  sebagai penyumbang wisatawan terbanyak ke Pulau Dewata. Sayangnya, sejak bom
  Bali I, kunjungan wisatawan Australia ke Bali terus melorot. Bahkan, tahun
  lalu jumlah kunjungan wisatawan dari negeri kanguru ke Bali hanya 47 persen
  dibanding tahun 2005. Akibatnya posisi Australia digeser oleh Taiwan yang
  menduduki posisi kedua setelah Jepang. Inilah antiklimaks dari serangkaian
  tragedi yang menimpa Bali (BP, 19/2).
  
  Proporsional
  
  Membangun kepariwisataan perlu proporsional antarkomponen: bandara, hotel,
  restauran, biro perjalanan, tekreasi, pertunjukan, hiburan, perbelanjaan.
  Masing-masing bersinergi harmonis, dikelola dengan profesional, dapat
  memberikan kepuasan, kenangan keindahan, aman dan nyaman, senantiasa
  beradaptasi aktif dengan tuntutan peradaban yang berkembang. Meningkatkan
  kualitas peran, pesan dan kesan manakala mengharapkan wisatawan berkualitas.
  
  Ketimpangan pariwisata Bali saat ini sangat memprihatinkan, Bandara tidak
  berkembang sesuai keperluan. Akomodasi memang berlebihan (bila peluang tidak
  dimanfaatkan), rekreasi, pertunjukan dan hiburan tidak ada yang mengelola
  secara profesional. Tempat-tempat perbelanjaan, penataan dan kebersihannya
  kurang memberikan kenyamanan, 'pemerasan' pun terjadi nyaris di semua
  sektor. Bagaimana mungkin pariwisata berkembang proporsional manakala ODTW
  (Objek dan Daya Tarik Wisata) tidak menampilkan yang baru dan yang umumnya
  masih telantar. Dengan sistem bapak angkat untuk perawatan beberapa ODTW
  memang cukup berhasil, namun sentuhan penataannya masih jauh dari harapan 
  
  Gaung promosi recovery mendengung seakan merasuk ke seantero dunia. Namun
  masih saja diragukan kebenaran apa yang telah dilakukan. Survai membuktikan,
  nyaris tidak ada wisatawan yang datang ke Bali karena promosi. Kedatangan
  mereka umumnya dari informasi keluarga atau temannya yang pernah ke Bali,
  dari media cetak maupun elektronik dan program massal bagi wisatawan grup.
  Dipertanyakan, sudahkah sesuai kedatangan wisatawan dari hasil promosi
  dengan dana yang dihabiskan? Masih perlukah dana promosi menguras anggaran
  yang tersedia, sementara OTW, perbelanjaan dan pertunjukan nyaris tanpa
  sentuhan pembinaan?
  
  Wisatawan diundang, mereka datang, dirancang untuk bertualang. Objek dan
  daya tarik wisata untuk dipandang bukan dipegang. Untuk itu keamanan,
  kenyamanan dan keunikan keindahan untuk kenangan yang dibawa pulang,
  tentunya perlu dijaga kelestariannya, diupayakan peningkatan kualitasnya,
  dan dimantapkan penataannya dengan dukungan sarana pendukung dan
  penunjangnya yang harmonis selaras lingkungannya. Idealnya demikian,
  faktanya sangat mengecewakan. Sebagian besar ODTW menyusui Pemkab yang
  memanfaatkan sebagai sumber PAD-nya, desa yang mewilayahi untuk
  kontribusinya dan kelompok yang meng

Ida Arimurti Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang

2007-02-22 Terurut Topik 'Ida arimurti'
Ketimpangan pariwisata Bali saat ini sangat memprihatinkan, Bandara tidak
berkembang sesuai keperluan. Akomodasi memang berlebihan (bila peluang tidak
dimanfaatkan), rekreasi, pertunjukan dan hiburan tidak ada yang mengelola
secara profesional. Tempat-tempat perbelanjaan, penataan dan kebersihannya
kurang memberikan kenyamanan, ''pemerasan'' pun terjadi nyaris di semua
sektor.



Wisatawan Diundang, Wisatawan Enggan Datang
Oleh N. Gelebet 

PARIWISATA telah menjadi keperluan dalam kehidupan kota-kota dunia yang
kehilangan alam dan budaya dalam ketersesakan rasa ruang yang semakin
menghimpit. Pariwisata telah mempekerjakan 600 juta atau sekitar 17% dari
tenaga kerja global dengan share pariwisata 16% dari GNP dunia. Pariwisata
dunia tumbuh dengan 6,5% dan Asia Pasifik paling cepat dengan 9,8%.

Bagi Bali, Australia merupakan pasar utama pariwisatanya. Dalam sepuluh
tahun terakhir, Australia selalu menempati urutan kedua setelah Jepang
sebagai penyumbang wisatawan terbanyak ke Pulau Dewata. Sayangnya, sejak bom
Bali I, kunjungan wisatawan Australia ke Bali terus melorot. Bahkan, tahun
lalu jumlah kunjungan wisatawan dari negeri kanguru ke Bali hanya 47 persen
dibanding tahun 2005. Akibatnya posisi Australia digeser oleh Taiwan yang
menduduki posisi kedua setelah Jepang. Inilah antiklimaks dari serangkaian
tragedi yang menimpa Bali (BP, 19/2).

Proporsional

Membangun kepariwisataan perlu proporsional antarkomponen: bandara, hotel,
restauran, biro perjalanan, tekreasi, pertunjukan, hiburan, perbelanjaan.
Masing-masing bersinergi harmonis, dikelola dengan profesional, dapat
memberikan kepuasan, kenangan keindahan, aman dan nyaman, senantiasa
beradaptasi aktif dengan tuntutan peradaban yang berkembang. Meningkatkan
kualitas peran, pesan dan kesan manakala mengharapkan wisatawan berkualitas.


Ketimpangan pariwisata Bali saat ini sangat memprihatinkan, Bandara tidak
berkembang sesuai keperluan. Akomodasi memang berlebihan (bila peluang tidak
dimanfaatkan), rekreasi, pertunjukan dan hiburan tidak ada yang mengelola
secara profesional. Tempat-tempat perbelanjaan, penataan dan kebersihannya
kurang memberikan kenyamanan, 'pemerasan' pun terjadi nyaris di semua
sektor. Bagaimana mungkin pariwisata berkembang proporsional manakala ODTW
(Objek dan Daya Tarik Wisata) tidak menampilkan yang baru dan yang umumnya
masih telantar. Dengan sistem bapak angkat untuk perawatan beberapa ODTW
memang cukup berhasil, namun sentuhan penataannya masih jauh dari harapan 

Gaung promosi recovery mendengung seakan merasuk ke seantero dunia. Namun
masih saja diragukan kebenaran apa yang telah dilakukan. Survai membuktikan,
nyaris tidak ada wisatawan yang datang ke Bali karena promosi. Kedatangan
mereka umumnya dari informasi keluarga atau temannya yang pernah ke Bali,
dari media cetak maupun elektronik dan program massal bagi wisatawan grup.
Dipertanyakan, sudahkah sesuai kedatangan wisatawan dari hasil promosi
dengan dana yang dihabiskan? Masih perlukah dana promosi menguras anggaran
yang tersedia, sementara OTW, perbelanjaan dan pertunjukan nyaris tanpa
sentuhan pembinaan?

Wisatawan diundang, mereka datang, dirancang untuk bertualang. Objek dan
daya tarik wisata untuk dipandang bukan dipegang. Untuk itu keamanan,
kenyamanan dan keunikan keindahan untuk kenangan yang dibawa pulang,
tentunya perlu dijaga kelestariannya, diupayakan peningkatan kualitasnya,
dan dimantapkan penataannya dengan dukungan sarana pendukung dan
penunjangnya yang harmonis selaras lingkungannya. Idealnya demikian,
faktanya sangat mengecewakan. Sebagian besar ODTW menyusui Pemkab yang
memanfaatkan sebagai sumber PAD-nya, desa yang mewilayahi untuk
kontribusinya dan kelompok yang mengelolanya sebagai sumber pendapatan.

Wisatawan diundang untuk datang, bukan dipajang di hotel, namun dirangsang
untuk berpetualang dalam paket-paket wisata dari ODTW ke ODTW lainnya.
Mereka diupayakan untuk tinggal lebih lama, pulang ke negaranya berpromosi
pada temannya, dan nantinya datang lagi. Ada kekeliruan persepsi selama ini
bahwa hotel diposisikan sebagai tujuan berwisata, sehingga ODTW nyaris
telantar tidak ada yang peduli. Seniman pengerajin dan seniman seni
pertunjukan hanya dijadikan objek pemerasan sehingga keringat mereka untuk
kelegaan mereka yang berpeluang atas prestasinya. 

Pemkab yang menjadikan Sad Kahyangan sebagai ODTW untuk sumber PAD-nya, bila
dilacak perannya dalam lima tahun terakhir, dari penelusuran dokumen APBD,
tidak ditemukan adanya pos anggaran yang dikembalikan untuk perawatan
sebagaimana sebelumnya. Ironis memang, masyarakat yang menyerahkan warisan
leluhurnya sebagai penyertaan modal bagi pembangunan kawasan pariwisata
eksklusif, kini terlunta-lunta menjajakan jualannya di lahan yang telah
beralih fungsi super elite. Bahkan ada yang dipandang sebagai mencemari,
sehingga perlu dikumpulkan untuk dibina. Jelas mereka mengganggu keamanan
dan kenyamanan wisatawan. Menjajakan dagagangan memang terkesan liar, tetapi
itu dilakoni karena tidak ada tempat repre