RENUNGAN IDA ARIMURTI : TEGURAN  BATIN
 
Pagi itu, Ayah menyuruhku membawa mobil ke bengkel utk cek up rutin.
Kemudian
menjemputnya di kantor jika mobil sudah selesai. Dalam perjalanan ke
bengkel,
temenku Heni menelpon mengajak nonton film. Kebetulan film tsb dibintangi
oleh
idolaku. Diantara kebimbangan jadilah kuputuskan nonton dulu baru ke
bengkel.
 
Apa mau dikata, sehabis nonton kami bertemu temen2 yg lain lalu asyik
ngobrol
di cafe. Hari sudah sore waktu aku mulai sadar bahwa bengkel pasti sudah
tutup.
Sepanjang jalan  aku sibuk menyusun  argumen berbagai alasan yg nanti akan
kukatakan pada ayah.
 
Setibanya di kantor ayah, dgn bimbang aku segera melangkah ke ruangannya.
"Bagaimana mobilnya San, sdh Ok.. ?". Sambil menghindari tatapan ayah, aku
menjawab. "Ayah, kata orang bengkel, besok harus dibawa lagi karena msh ada
yg
belum beres. Sebenarnya sih td harus ditinggal tapi aku maksa bawa pulang
krn
harus jemput ayah". Sambil melirik pelan2 aku menatap ayah.
 
 "Hmm.... mungkin ada yang salah pada Ayah dalam mendidikmu selama ini.
Karena
ternyata kamu tidak mau berkata yang sebenarnya..." .
 "Mak...maksud ayah  apa........" Dengan panik aku jadi salah tingkah.
 
"Baiklah, karena ayah merasa salah dalam mendidikmu maka ayah akan pulang
berjalan kaki sambil merenungi kesalahan apa yang telah ayah perbuat !"
 
Ayah segera melangkahkan kakinya keluar kantor. "Ayah...... ayah.... jangan
begitu". Aku makin gelisah. Namun ayah hanya tersenyum. Hari sudah mulai
gelap
ketika aku mengikuti ayah dari belakang dengan mobil. Kulihat ayah berjalan
sambil tertunduk. Hatiku makin galau. Jarak 35 km harus ditempuh ayahku yang
sudah berumur 52 tahun itu, membuat air mataku mulai mengaburkan
pandanganku. 1
jam 45 menit sudah ayahku berjalan. Batinku berperang dan ada sesuatu di
dalam
yg terasa menyesakkan dadaku. Segera kuhentikan mobil dan berlari mengejar
ayah.
Kupeluk ayah dari belakang, "Ayah.... Maafkan Santi. Tadi Santi memang tidak
ke
bengkel tapi pergi nonton bersama Heni lalu  ..." Aku tak sempat
menyelesaikan
kalimatku karena tangan Ayah menutup mulutku. "Ayah sudah tahu ...." Sambil
tersenyum Ayah mengelus kepalaku.
 
Aku yang bingung segera dibimbingnya menuju mobil. "Sebenarnya tadi siang
ayah
menelpon ke bengkel, tapi mereka mengatakan mobil belum datang sejak pagi.
Nah,
ayah hanya ingin kamu mengatakan yang sebenarnya tanpa perlu menceritakan
detailnya"
 
 
Hingga aku sudah berkeluarga kini,  peristiwa itu terus membekas pada
diriku.
Karena aku tidak pernah lagi membohongi orangtuaku sejak itu. Tak pernah
lagi....... Aku bersumpah tidak ingin melihat ayahku menghukum dirinya lagi
karena perbuatanku. "Teguran Batin" begitulah aku menyebutnya.
 
Ternyata cara tsb lebih dalam bekasnya daripada teguran fisik. Aku
membayangkan, jika saja saat itu Ayahku memarahiku dan mendesak darimana
saja
aku seharian, mungkin hingga kini aku sudah melakukan sekian puluh
kebohongan.
Demikian pula dengan anakku.
 

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke