-Original Message-
From: "novrina" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: 13 Oct 2006 08:32:21 +0700
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama ''
Mari kita dukung Kampanye BERSAMA BERLEBARAN BERSAMA tahun ini dan seterusnya.
Sehabis shalat Tarawih kemarin malam saya dihentikan oleh Fadli di serambi
masjid. Saya
diajak duduk bersila bersama Uun dan Kang Ngalwi. Rupanya mereka sudah mulai
terlibat
dalam suatu pembicaraan dan saya diminta bergabung.
''Kang Ngalwi punya pertanyaan dan kita diminta menjawabnya,'' kata Fadli
setelah saya
duduk. ''Katanya, kita ini hidup sekampung, seagama, sekitab suci, senabi; tapi
nanti kita
akan berlebaran pada hari yang berbeda. Di kampung ini sebagian akan berlebaran
hari
Senin, sebagian lagi hari Selasa. Kenapa? Apakah ini nalar? Apakah ini patut?''
Saya tersenyum dan merasa naif. Tapi nanti dulu. Sekilas pertanyaan itu memang
terasa tidak
bermutu, bahkan bodoh. Apalagi bagi mereka yang merasa pakar di bidang agama.
Oleh para
alim, pertanyaan Kang Ngalwi pasti akan digilas dengan jawaban: ''Sudahlah,
pokoknya kita
hormati keyakinan masing-masing. Tahun ini, yang mau Lebaran hari Senin maupun
Selasa,
semua baik-baik saja karena keduanya berpegang dengan keyakinan masing-masing,
dan
keduanya punya dalil segudang untuk membenarkan keputusan yang mereka ambil.''
Itulah kearifan tertinggi yang selama ini bisa dicapai oleh umat Islam. Namun
sebenarnya
kearifan tertinggi itu masih menyisakan perasaan tidak nyaman dalam kenyataan
hidup
sehari-hari, terutama di lapisan bawah.
Jadi pertanyaan Kang Ngalwi itu tidak mengada-ada, bahkan mungkin mewakili
perasaan
umum masyarakat awam.
Jelasnya, masyarakat awam merasa tidak nyaman bila ada Lebaran yang berbeda
hari.
Ya, bagaimana bisa nyaman (terasa konyol) ketika masjid di sebelah sudah
bertakbir dan
masjid kita masih melakukan shalat Tarawih.
Bagaimana silaturahmi tidak menjadi janggal ketika kita sudah menyantap gulai
kambing,
berpakaian bagus, bergembira ria karena hari Lebaran sudah tiba tetapi tetangga
masih
berpuasa.
Bagaimana hati tidak terasa buntu ketika salaman kita belum bisa diterima oleh
teman yang
Lebarannya baru besok hari.
''Lho, sampeyan ini diminta bergabung dengan harapan mau menjawab pertanyaan
Kang
Ngalwi. Kok malah merenung,'' Fadli mengingatkan saya.
''Wah, jawaban saya pasti sudah kalian ketahui karena kita sama-sama sering
mendengar
ceramah yang menyinggung masalah perbedaan hari Lebaran,'' jawab saya.
''Baik. Kalau begitu saya ingin tanya. Kalau boleh memilih, sampeyan lebih suka
Lebaran
bareng atau Lebaran sendiri-sendiri?'' kejar Fadli.
''Saya lebih suka Lebaran bareng.'' ''Kenapa?'' ''Rasanya, itu lebih patut,
lebih enak. Bahkan
andaikata Kanjeng Nabi masih ada di tengah kita, saya yakin beliau tidak
berkenan dengan
Lebaran yang tidak kompak ini.''
''Ya, betul. Jadi kenapa para alim yang memimpin umat tidak bisa kompak dalam
menentukan
hari Lebaran?''
Terus terang saya malas menjawab pertanyaan ini sebab khawatir akan
ditertawakan oleh
para alim. Maka saya senang ketika Uun mengambil alih dan mencoba menjawab
pertanyaan
Fadli.
''Begini, Fad,'' kata Uun. ''Perbedaan keyakinan di antara para pemimpin memang
punya dasar
berupa dalil-dalil. Yang jadi masalah, saya kira, adalah sikap memutlakkan
keyakinan masing-
masing.''
''Memutlakkan bagaimana?''
''Memutlakkan, ya tidak bisa ditawar meski sikap itu melanggar ruh Islam yang
amat
menjunjung tinggi kebersamaan. Dan membuat umat di bawah menjadi tidak nyaman.''
''Tapi Kanjeng Nabi pernah bersabda, perbedaan di antara umat Islam adalah
rahmat.''
''Ah, kamu sendiri tahu, penerapan sabda itu tidak boleh sembarangan. Dan saya
sangat
yakin Kanjeng Nabi merasa sedih dengan perbedaan hari Lebaran ini.''
''Kalau begitu kamu punya gasasan apa?''
''Demi kemuliaan Kanjeng Nabi maka saya sampaikan gagasan ini. Tapi, Fad, kamu
jangan
kaget: Mari kita putuskan jatuhnya hari Lebaran melalui keputusan politik. Ada
beberapa opsi
yang ingin saya tawarkan, tapi saya kemukakan satu saja yang paling sederhana.''
''Lebaran dengan keputusan politik?'' tanya Fadli dengan mata melebar. Terus
terang saya
dan yang lain juga terkejut.
''Nah, betul kan, kalian kaget? Sebab kalian lupa Umar bin Khatab RA pernah
mengambil
keputusan politik untuk mengatur suatu ritus ibadah, dalam hal ini adalah
shalat Tarawih.
Bukankan shalat Tarawih berjamaah dan dilakukan sebulan penuh merupakan
pengaturan
Umar bin Khatab? Apakah itu bukan keputusan politik setelah Umar bin Khatab
melihat umat
Islam waktu itu melaksanakan shalat Tarawih sendiri-sendiri sehingga di mata
beliau kurang
enak dipandang?''
Kecuali Uun yang tertawa-tawa, selainnya jadi memasang wajah serius karena
merasa
tersodok oleh pemikiran anak yang tidak lulus STAIN itu. Dan, masih dengan
tertawa-tawa,
Uun melanjutkan omongannya.
''Bagaimana kalau umat Islam Indonesia dalam menentukan hari Lebaran kom