Re: [Ar-Royyan-5027] Fwd: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama ''

2006-10-12 Terurut Topik Diran
Ass Wr Wb

Pak Lana, untuk tahun ini gimana di kompleks kita? Apakah sudah ada
keputusan dari Forum Komukasi Mesjid ( FKM ) BDB 2 ? Sholat Ied hari Senin
atau Selasa ? atau bahkan bisa juga hari Minggu tgl 22 ? Karena setahu saya
di daerah Timur tengah sudah hampir banyak negara memulai puasa hari Sabtu
tgl 23 Sept 2006 dan kalau puasa hanya 29 hari maka kemungkinan Lebaran tgl
22 Okt 2006 adalah sangat mungkin.

Gimana pendapat Jamaah yang lain ?

Wass
diran
- Original Message - 
From: "Lana Sularto" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Friday, October 13, 2006 11:04 AM
Subject: [Ar-Royyan-5027] Fwd: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran
Bersama ''


>
>
>
> -Original Message-
> From: "novrina" <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent: 13 Oct 2006 08:32:21 +0700
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Subject: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama ''
>
>
> Mari kita dukung Kampanye BERSAMA BERLEBARAN BERSAMA  tahun ini dan
seterusnya.
>
> Sehabis shalat Tarawih kemarin malam saya dihentikan oleh Fadli di serambi
masjid. Saya
> diajak duduk bersila bersama Uun dan Kang Ngalwi. Rupanya mereka sudah
mulai terlibat
> dalam suatu pembicaraan dan saya diminta bergabung.
>
> ''Kang Ngalwi punya pertanyaan dan kita diminta menjawabnya,'' kata Fadli
setelah saya
> duduk. ''Katanya, kita ini hidup sekampung, seagama, sekitab suci, senabi;
tapi nanti kita
> akan berlebaran pada hari yang berbeda. Di kampung ini sebagian akan
berlebaran hari
> Senin, sebagian lagi hari Selasa. Kenapa? Apakah ini nalar? Apakah ini
patut?''
>
> Saya tersenyum dan merasa naif. Tapi nanti dulu. Sekilas pertanyaan itu
memang terasa tidak
> bermutu, bahkan bodoh. Apalagi bagi mereka yang merasa pakar di bidang
agama. Oleh para
> alim, pertanyaan Kang Ngalwi pasti akan digilas dengan jawaban:
''Sudahlah, pokoknya kita
> hormati keyakinan masing-masing. Tahun ini, yang mau Lebaran hari Senin
maupun Selasa,
> semua baik-baik saja karena keduanya berpegang dengan keyakinan
masing-masing, dan
> keduanya punya dalil segudang untuk membenarkan keputusan yang mereka
ambil.''
>
> Itulah kearifan tertinggi yang selama ini bisa dicapai oleh umat Islam.
Namun sebenarnya
> kearifan tertinggi itu masih menyisakan perasaan tidak nyaman dalam
kenyataan hidup
> sehari-hari, terutama di lapisan bawah.
>
> Jadi pertanyaan Kang Ngalwi itu tidak mengada-ada, bahkan mungkin mewakili
perasaan
> umum masyarakat awam.
>
> Jelasnya, masyarakat awam merasa tidak nyaman bila ada Lebaran yang
berbeda hari.
>
> Ya, bagaimana bisa nyaman (terasa konyol) ketika masjid di sebelah sudah
bertakbir dan
> masjid kita masih melakukan shalat Tarawih.
>
> Bagaimana silaturahmi tidak menjadi janggal ketika kita sudah menyantap
gulai kambing,
> berpakaian bagus, bergembira ria karena hari Lebaran sudah tiba tetapi
tetangga masih
> berpuasa.
>
> Bagaimana hati tidak terasa buntu ketika salaman kita belum bisa diterima
oleh teman yang
> Lebarannya baru besok hari.
>
> ''Lho, sampeyan ini diminta bergabung dengan harapan mau menjawab
pertanyaan Kang
> Ngalwi. Kok malah merenung,'' Fadli mengingatkan saya.
>
> ''Wah, jawaban saya pasti sudah kalian ketahui karena kita sama-sama
sering mendengar
> ceramah yang menyinggung masalah perbedaan hari Lebaran,'' jawab saya.
>
> ''Baik. Kalau begitu saya ingin tanya. Kalau boleh memilih, sampeyan lebih
suka Lebaran
> bareng atau Lebaran sendiri-sendiri?'' kejar Fadli.
>
> ''Saya lebih suka Lebaran bareng.'' ''Kenapa?'' ''Rasanya, itu lebih
patut, lebih enak. Bahkan
> andaikata Kanjeng Nabi masih ada di tengah kita, saya yakin beliau tidak
berkenan dengan
> Lebaran yang tidak kompak ini.''
>
> ''Ya, betul. Jadi kenapa para alim yang memimpin umat tidak bisa kompak
dalam menentukan
> hari Lebaran?''
>
> Terus terang saya malas menjawab pertanyaan ini sebab khawatir akan
ditertawakan oleh
> para alim. Maka saya senang ketika Uun mengambil alih dan mencoba menjawab
pertanyaan
> Fadli.
>
> ''Begini, Fad,'' kata Uun. ''Perbedaan keyakinan di antara para pemimpin
memang punya dasar
> berupa dalil-dalil. Yang jadi masalah, saya kira, adalah sikap memutlakkan
keyakinan masing-
> masing.''
>
> ''Memutlakkan bagaimana?''
> ''Memutlakkan, ya tidak bisa ditawar meski sikap itu melanggar ruh Islam
yang amat
> menjunjung tinggi kebersamaan. Dan membuat umat di bawah menjadi tidak
nyaman.''
> ''Tapi Kanjeng Nabi pernah bersabda, perbedaan di antara umat Islam adalah
rahm

[Ar-Royyan-5027] Fwd: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama ''

2006-10-12 Terurut Topik Lana Sularto



-Original Message-
From: "novrina" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: 13 Oct 2006 08:32:21 +0700
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [staff] Fwd: Kampanyekan ''Bersama Berlebaran Bersama '' 


Mari kita dukung Kampanye BERSAMA BERLEBARAN BERSAMA  tahun ini dan seterusnya.

Sehabis shalat Tarawih kemarin malam saya dihentikan oleh Fadli di serambi 
masjid. Saya 
diajak duduk bersila bersama Uun dan Kang Ngalwi. Rupanya mereka sudah mulai 
terlibat 
dalam suatu pembicaraan dan saya diminta bergabung.

''Kang Ngalwi punya pertanyaan dan kita diminta menjawabnya,'' kata Fadli 
setelah saya 
duduk. ''Katanya, kita ini hidup sekampung, seagama, sekitab suci, senabi; tapi 
nanti kita 
akan berlebaran pada hari yang berbeda. Di kampung ini sebagian akan berlebaran 
hari 
Senin, sebagian lagi hari Selasa. Kenapa? Apakah ini nalar? Apakah ini patut?''

Saya tersenyum dan merasa naif. Tapi nanti dulu. Sekilas pertanyaan itu memang 
terasa tidak 
bermutu, bahkan bodoh. Apalagi bagi mereka yang merasa pakar di bidang agama. 
Oleh para 
alim, pertanyaan Kang Ngalwi pasti akan digilas dengan jawaban: ''Sudahlah, 
pokoknya kita 
hormati keyakinan masing-masing. Tahun ini, yang mau Lebaran hari Senin maupun 
Selasa, 
semua baik-baik saja karena keduanya berpegang dengan keyakinan masing-masing, 
dan 
keduanya punya dalil segudang untuk membenarkan keputusan yang mereka ambil.''

Itulah kearifan tertinggi yang selama ini bisa dicapai oleh umat Islam. Namun 
sebenarnya 
kearifan tertinggi itu masih menyisakan perasaan tidak nyaman dalam kenyataan 
hidup 
sehari-hari, terutama di lapisan bawah.

Jadi pertanyaan Kang Ngalwi itu tidak mengada-ada, bahkan mungkin mewakili 
perasaan 
umum masyarakat awam.

Jelasnya, masyarakat awam merasa tidak nyaman bila ada Lebaran yang berbeda 
hari.

Ya, bagaimana bisa nyaman (terasa konyol) ketika masjid di sebelah sudah 
bertakbir dan 
masjid kita masih melakukan shalat Tarawih.

Bagaimana silaturahmi tidak menjadi janggal ketika kita sudah menyantap gulai 
kambing, 
berpakaian bagus, bergembira ria karena hari Lebaran sudah tiba tetapi tetangga 
masih 
berpuasa.

Bagaimana hati tidak terasa buntu ketika salaman kita belum bisa diterima oleh 
teman yang 
Lebarannya baru besok hari.

''Lho, sampeyan ini diminta bergabung dengan harapan mau menjawab pertanyaan 
Kang 
Ngalwi. Kok malah merenung,'' Fadli mengingatkan saya.

''Wah, jawaban saya pasti sudah kalian ketahui karena kita sama-sama sering 
mendengar 
ceramah yang menyinggung masalah perbedaan hari Lebaran,'' jawab saya.

''Baik. Kalau begitu saya ingin tanya. Kalau boleh memilih, sampeyan lebih suka 
Lebaran 
bareng atau Lebaran sendiri-sendiri?'' kejar Fadli.

''Saya lebih suka Lebaran bareng.'' ''Kenapa?'' ''Rasanya, itu lebih patut, 
lebih enak. Bahkan 
andaikata Kanjeng Nabi masih ada di tengah kita, saya yakin beliau tidak 
berkenan dengan 
Lebaran yang tidak kompak ini.''

''Ya, betul. Jadi kenapa para alim yang memimpin umat tidak bisa kompak dalam 
menentukan 
hari Lebaran?''

Terus terang saya malas menjawab pertanyaan ini sebab khawatir akan 
ditertawakan oleh 
para alim. Maka saya senang ketika Uun mengambil alih dan mencoba menjawab 
pertanyaan 
Fadli.

''Begini, Fad,'' kata Uun. ''Perbedaan keyakinan di antara para pemimpin memang 
punya dasar 
berupa dalil-dalil. Yang jadi masalah, saya kira, adalah sikap memutlakkan 
keyakinan masing-
masing.''

''Memutlakkan bagaimana?''
''Memutlakkan, ya tidak bisa ditawar meski sikap itu melanggar ruh Islam yang 
amat 
menjunjung tinggi kebersamaan. Dan membuat umat di bawah menjadi tidak nyaman.''
''Tapi Kanjeng Nabi pernah bersabda, perbedaan di antara umat Islam adalah 
rahmat.''
''Ah, kamu sendiri tahu, penerapan sabda itu tidak boleh sembarangan. Dan saya 
sangat 
yakin Kanjeng Nabi merasa sedih dengan perbedaan hari Lebaran ini.''
''Kalau begitu kamu punya gasasan apa?''

''Demi kemuliaan Kanjeng Nabi maka saya sampaikan gagasan ini. Tapi, Fad, kamu 
jangan 
kaget: Mari kita putuskan jatuhnya hari Lebaran melalui keputusan politik. Ada 
beberapa opsi 
yang ingin saya tawarkan, tapi saya kemukakan satu saja yang paling sederhana.''
''Lebaran dengan keputusan politik?'' tanya Fadli dengan mata melebar. Terus 
terang saya 
dan yang lain juga terkejut.

''Nah, betul kan, kalian kaget? Sebab kalian lupa Umar bin Khatab RA pernah 
mengambil 
keputusan politik untuk mengatur suatu ritus ibadah, dalam hal ini adalah 
shalat Tarawih. 
Bukankan shalat Tarawih berjamaah dan dilakukan sebulan penuh merupakan 
pengaturan 
Umar bin Khatab? Apakah itu bukan keputusan politik setelah Umar bin Khatab 
melihat umat 
Islam waktu itu melaksanakan shalat Tarawih sendiri-sendiri sehingga di mata 
beliau kurang 
enak dipandang?''

Kecuali Uun yang tertawa-tawa, selainnya jadi memasang wajah serius karena 
merasa 
tersodok oleh pemikiran anak yang tidak lulus STAIN itu. Dan, masih dengan 
tertawa-tawa, 
Uun melanjutkan omongannya.

''Bagaimana kalau umat Islam Indonesia dalam menentukan hari Lebaran kom