JNM * Gods Work Ministry E-Mail

2005-03-31 Terurut Topik pttwr

From: Dwayne Savaya [EMAIL PROTECTED]

Gods Work Ministry Inspirational and Encouragement E-Mail

Dear Friend,

There are many people in this world that are me conscious.  These are 
people that are only interested in their own situation and with what they
are going through.  They do not care about the problems of others and do 
think of lending a helping hand to those who are in need around them.  This
is the opposite of how God wishes for us to act.  The command of the Lord
Jesus Christ is to first love God with all of our heart, soul and mind and
the second is to love our neighbor as we love ourselves.  We are to have 
compassion, care and interest towards our neighbor and love them with the
love of the Lord. (1 John 3:16-18) (James 2:15-16) (Matthew 22:37-40)

I hope you are encouraged and challenged by today's message to take special
interest in those around you to intervene and be helpful to make a bad 
situation a little better.

JOHN SMITH

A poor man had been drafted for service in the Civil War. He had a wife and six 
children, who, of course, were very dear to him. What made his situation the 
more sorely distressing was the fact that his wife had been sick for some time. 
The children were not old enough to care for their mother, nor to look after 
the farm.

This man had a neighbor who was also a very dear friend. During their 
pioneer life, these men had become greatly attached to each other, often 
spending their evenings together, and interchanging work.

The morning this drafted man had to leave home, he was sitting at the 
table with his wife and children, talking over the future. There was much
weeping. Even the children entered sympathetically into the sorrow of the
parents. The wife said: O husband, I shall never see you again. I feel 
that if you go to the war, this is the last time we shall ever eat 
together. What will become of our poor, fatherless children?

The man tried to cheer his wife, and assured her that he would be back in a 
little while. When I return, he said, you will be well, and we shall be 
happy for many years.

While they were lingering at the table, talking over their troubles, and 
planning what to do, this neighbor drove into the yard, unhitched his cow
from behind the wagon, and opened the crates in which he had his chickens
and pigs. He turned his oxen into the pasture, came into the house, and 
said, Well, John, when do you have to go down to the county seat?

I must be there at noon.

Then the friend said, Let me see the paper demanding your presence.

When it was handed to him, he looked at it a little, then put it into his
pocket, and said: John, I am going to take your name now. I am going over
to the county seat myself, in your place. I shall register in the name of
John Smith. I am going to be John Smith in the army. I have turned my 
cattle into your pasture, and put my pigs and chickens in with yours. If I
never come back, you can have it all. I cannot see you separated from your 
family, leaving this sick wife and these helpless children, while I remain
at home, and have neither wife nor children to care whether I am living or 
dead.

So that man went into the army. He registered as John Smith; and to all 
intents and purposes, he was John Smith. Every morning, he answered to the
roll call when John Smith's name was read. When he went to the front, he 
was shot dead in the very first engagement. This man gave his life as a 
substitute for John Smith. He died for him, that Smith might escape death.

By I. H. Evans

Read and meditate on these scriptures:

Matthew 22:35-40 Then one of them, which was a lawyer, asked Him a 
question, tempting Him, and saying, Master, which is the great commandment 
in the law?  Jesus said unto him, Thou shalt love the Lord thy God with all
thy heart, and with all thy soul, and with all thy mind.  This is the first
and great commandment.  And the second is like unto it, Thou shalt love thy
neighbour as thyself.  On these two commandments hang all the law and the 
prophets.

Luke 6:30-31 Jesus declares Give to every man that asketh of thee; and of
him that taketh away thy goods ask them not again.  And as ye would that 
men should do to you, do ye also to them likewise.

Romans 12:1-2 I beseech you therefore, brethren, by the mercies of God, 
that ye present your bodies a living sacrifice, holy, acceptable unto God,
which is your reasonable service.  And be not conformed to this world: but
be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is 
that good, and acceptable, and perfect, will of God.

John 15:12-15 Jesus declares This is my commandment, That ye love one 
another, as I have loved you.  Greater love hath no man than this, that a 
man lay down his life for his friends.  Ye are my friends, if ye do 
whatsoever I command you.  Henceforth I call you not servants; for the
servant knoweth not what his lord doeth: but I have called you friends;
for all things that I have heard of my Father I have 

JNM * Miskin Tidak Harus Mengemis -7

2005-03-31 Terurut Topik pttwr

From: MundhiSabda Lesminingtyas [EMAIL PROTECTED]

Miskin Tidak Harus Mengemis 
Bagian 7
(Oleh : Lesminingtyas) 

Ketika saya harus melakukan tugas internal audit di sebuah proyek kemanusiaan 
di Desa Sijangkung, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Sambas saya harus 
mengunjungi lokasi tersebut tanpa apppoinment terlebih dahulu. Hanya dengan 
berbekal catatan alamat, saya berusaha menemukan kantor proyek tersebut. 
Sebagai petugas dari Jakarta yang merasa hebat dan pintar, saya menggunakan 
logika saya untuk menemukan terlebih dahulu kabupatennya, lalu kecamatannya dan 
terakhir desanya. Sayapun merasa cukup menanyakan  route menuju Sambas kepada 
petugas hotel tempat saya transit.  

Dengan beberapa potong pakaian di ransel serta beberapa dokumen penting dan 
selembar surat tugas di dalam map lembaga bertuliskan Children Happiness is 
Our Mission, saya melenggang meninggalkan hotel dengan becak menuju tempat 
penyeberangan di dekat Jl. Tanjung Pura, Pontianak. Dalam kondisi normal saya 
biasa menyeberang ke Siantan dengan feri kecil hanya dengan ongkos Rp. 100. 
Tetapi karena saya tidak mau membuang waktu hanya untuk menunggu feri itu 
penuh, sayapun memutuskan untuk mencarter sampan kecil yang dikemudikan seorang 
bocah laki-laki kira-kira berumur 10 tahun.  

Tangan kurus bocah itu ternyata tidak terlalu kuat untuk mendayung sehingga 
perjalanan kami terasa lambat sekali. Belum sampai setengah perjalanan, feri 
yang biasa saya tumpangi itupun mendahului sampan kami. Sudah bisa diduga, feri 
itu menimbulkan gelombang air yang hampir menggulung sampan kami. Saya hanya 
memejamkan mata sambil menyatukan badan saya dengan sampan sambil berharap 
kalaupun sampan kami terbalik, sampan itu masih berfungsi sebagai pelampung. 
Ketika gelombang air itu mengangkat sampan kami tinggi-tinggi kemudian 
menghempaskan nya, ulu hati saya sempat panas seakan nyawa saya hampir 
terlepas. Tetapi tiba-tiba Byuur  dari ujung kepala hingga kaki saya terguyur 
dinginnya air Kapuas. 

Sesampainya di seberang sungai, saya tak sempat lagi mengasihi diri saya 
sendiri yang kedinginan. Hati saya miris sekali melihat tubuh pendayung sampan 
yang kurus dan  menggigil hingga bibirnyapun tampak membiru. Saya membuka 
ransel, ingin  mengambil handuk untuk saya pinjamkan kepada bocah kecil itu. 
Sayang sekali, ternyata semua barang yang ada di ransel sayapun basah kuyup. 
Dari dompet saya yang juga basah, saya mengambil selembar uang ribuan dengan 
hati-hati supaya tidak sobek. Dari ongkos sampan yang telah kami sepakati 
sebesar Rp. 500, akhirnya saya memutuskan untuk memberikan kepada bocah yang 
masih menggigil itu dua kalinya. 

Dengan pakaian dan sepatu yang basah kuyup, sayapun melanjutkan perjalanan 
dengan oplet ke terminal Siantan. Tidak sulit untuk menemukan minibus jurusan 
Sambas, tetapi rupanya kendaraan itu masih saja terparkir sambil menunggu 
penumpang memenuhi tempat duduk. Sambil menunggu kendaraan itu penuh, saya 
memanfaatkan waktu untuk berjemur. Kalau nggak salah waktu itu tanggal 23 
September 1992 dimana banyak wisatawan datang ke Tugu Khatulistiwa di Siantan 
untuk melihat kulminasi matahari. Tepat jam 12.00 sayapun ikut-ikutan para 
wisatawan menikmati matahari yang tepat berada di garis Khatulistiwa, pas di 
atas kepala kami. Maksud awal saya untuk mengeringkan badan, berubah layaknya 
ilmuan yang berusaha meneliti bayangan kami yang tak tampak sama sekali. 

Jam 12.30 minibus yang saya tumpangi bertolak dari Siantan. Setelah saya 
bertanya ke penumpang di kanan kiri saya, saya mendapat informasi bahwa 
perjalanan ke Sambas harus ditempuh dalam waktu 5 jam. Namun belum sampai satu 
jam perjalanan, minibus yang saya tumpangi tidak bisa melanjutkan perjalanan 
karena puluhan truk pengangkut jeruk membongkar muatannya di tengah jalan. 
Jalan rayapun disulap menjadi gunung jeruk. Saya dan para penumpang lainpun 
harus turun, berjalan di atas tumpukan buah jeruk sejauh kira-kira 1 km. Di 
kanan kiri jalan tampak para petani membakar kebun jeruknya sebagai tanda 
protes mereka terhadap kebijakan pemerintah tentang tata niaga jeruk. Ternyata 
tata niaga jeruk yang diintervensi oleh keluarga penguasa di Jakarta telah 
membuat mereka menderita. Tata niaga yang diatur dengan dalih melindungi petani 
dari permainan kotor tengkulak, ternyata telah membuat rakyat kecil itu ibarat 
terlepas dari mulut buaya, masuk ke mulut singa. 

Sambil sesekali menikmati manisnya jeruk Pontianak yang saya pungut dari bawah 
kaki saya, saya berbincang-bincang dengan beberapa petani. Mereka pada umumnya 
merasa disengsarakan dengan penjadwalan hari pemanenan jeruk, pembatasan 
penjualan hasil panenan dan penetapan harga yang tidak sesuai dengan biaya 
produksi. Para petani yang paling tahu kapan buah jeruknya siap dipetik harus 
menerima jadwal dari penguasa, kapan dan hari apa ia boleh menanen jeruknya. 
Seberapapun luas kebun yang dimiliki, seorang petani hanya boleh menjual 
beberapa kwintal jeruk saja ke koperasi. Harga perkilonyapun 

JNM * Miskin Tidak Harus Mengemis - 8

2005-03-31 Terurut Topik pttwr

From: MundhiSabda Lesminingtyas [EMAIL PROTECTED]

Miskin Tidak Harus Mengemis 
Bagian 8
(Oleh : Lesminingtyas) 

Keputusan saya untuk menginap di rumah pengurus yayasan mitra kerja- pihak yang 
yang diaudit- sebenarnya merupakan keputusan yang sangat mahal dan beresiko. 
Saya katakan beresiko karena banyak rambu-rambu yang telah saya langgar. Demi 
obyektivitas dan idependensi dalam pelaksanaan audit, lembaga kami sebenarnya 
melarang staf menerima jamuan atau pemberian dalam bentuk apapun dari pihak 
yayasan mitra kerja maupun pelaksana proyek. Beberapa staf senior di kantor 
saya juga mengajarkan bahwa demi keselamatan dan keamanan, saya sebaiknya tidak 
makan dan minum apa yang disajikan oleh proyek. Terlebih lagi proyek-proyek di 
Kalimantan Barat yang sebagian besar masuk dalam daftar proyek bermasalah. 
Namun bagi saya selama saya obyektif, jujur dan berpegang pada kebenaran, saya 
tidak takut berada sangat dekat dengan siapapun. Terlebih lagi kalau saya 
datang dengan niat baik, saya yakin lawan bisa menjadi kawan dan racun bisa 
menjadi berkat. 

Keputusan saya juga merupakan sesuatu yang mahal karena walaupun saya telah 
menyerahkan uang seharga tarif hotel dan anggaran makan di restoran, saya tahu 
persis tidak akan mendapatkan jamuan yang sebanding dari keluarga Anton. Tetapi 
bagi saya persaudaraan tidak bisa ditukar dengan fasilitas mewah di hotel atau 
makanan lezat di restoran. Terlebih lagi setelah beberapa kali berdoa, nurani 
saya selalu mengatakan bahwa lebih baik menukar kamar berAC, kasur empuk, 
bathtub lengkap dengan air panas di hotel dengan dipan kayu tak berkasur di 
rumah keluarga Anton yang diselimuti dengan hangatnya persahabatan.  

Setidaknya saya merasa sedikit terhibur kalau biaya akomodasi yang saya 
serahkan, sedikit banyak bisa membantu keluarga Anton untuk menyediakan makanan 
bergizi untuk anak-anaknya, walau hanya untuk beberapa hari saja. Sayapun 
merasa senang bisa berkawan dengan ketiga anak keluarga Anton, yaitu   Ester, 
Josua dan Yemima. Walaupun anak-anak itu tampak kurus dengan rambut yang 
kemerah-merahan, persis tamanan yang kurang pupuk, setidaknya masih ada harapan 
dan keceriaan dalam hari-hari mereka. Satu hal lagi pelayanan gratis namun 
berharga dan tidak mungkin saya dapatkan di hotel berbintang sekalipun, yaitu 
saya bisa turut serta dalam persekutuan doa yang biasa dilakukan keluarga Anton 
untuk membuka dan menutup hari demi hari. 

Saat memulai tugas audit, saya tidak mempunyai bayangan sedikitpun tentang 
keadaan proyek kemanusiaan yang merupakan hasil kemitraan lembaga kami dengan 
yayasan di bawah GKTI (Gereja Kristus Tuhan Indonesia). Satu-satunya data 
keuangan dan catatan pelayanan yang saya bawa dari Jakarta sudah tidak terbaca 
lagi karena terguyur air saat saya menyeberangi Sungai Kapuas. Saya hanya bisa 
berdoa, memohon supaya para pelaksana proyek tidak membaca ketidaksiapan saya 
dalam melakukan tugas audit.  

Hal pertama yang wajib saya lakukan saat audit adalah cash opname. Tetapi entah 
apa yang terjadi, Pimpro  memberitahu saya bahwa bendahara proyek akan datang 
agak siang. Feeling saya mengatakan bahwa pasti ada hal-hal yang aneh di proyek 
itu. Untuk mengisi waktu, saya melihat  ID Card anak-anak asuh yang jumlahnya 
mencapai empat ratusan. Hati saya agak tersentak ketika melihat foto Ester dan 
Josua dengan ID Number 234 dan 240 tetapi dengan nama yang berbeda. Paling 
tidak saya menemukan 2 pelanggaran. Yang pertama : kebijakan lembaga kami tidak 
memperbolehkan keluarga pengurus yayasan mitra kerja dan para pelaksana proyek 
mendapatkan bantuan dari proyek. Yang kedua : proyek telah memalsukan data, 
dengan mengganti nama Ester menjadi Magda dan Josua menjadi Matius. Walaupun 
sudah cukup alasan untuk mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut, saya 
tetap berusaha menenangkan hati sambil mencari akal bagaimana saya harus 
membuka fakta-fakta penyimpangan tanpa melalui perselisihan.
 Secepat kilat saya menyusun daftar 10% anak yang ditetapkan sebagai sample 
untuk dikunjungi, dengan menyertakan kedua nomor misterius itu. 
Begitu bendahara datang sayapun segera melakukan cash opname dan memeriksa 
semua bukti transaksi. Siang harinya saya menyerahkan daftar sample kunjungan 
kepada pimpro.Ini daftar anak-anak yang harus dikunjungi. Tolong siapkan ID 
card dan kartu pelayanan masing-masing anak  pinta saya
Wah Bu, ini ada anak-anak yang tinggal di atas gunung yang sulit dijangkau. 
Bolehkah kami mengganti beberapa anak dalam daftar ini dengan anak-anak yang 
lain ? tanya pimpro dengan raut muka yang tidak jujur.

Daftar itu dibuat oleh staf kantor pusat Jakarta, kita tinggal melaksanakan 
saja jawab saya sambil berkata dalam hati Lu nggak tahu ya, kalau staf kantor 
pusat yang membuat daftar itu ada di depan lu !
Tapi medannya sulit untuk dikunjungi, Bu ! kilah pimpro.
Ya, itu resiko dari pelayanan. Kalau kita sudah berani memutuskan untuk 
melayani anak-anak yang tinggal di puncak gunung, kitapun harus berani untuk ke 

JNM * Miskin Tidak Harus Mengemis -9

2005-03-31 Terurut Topik pttwr

From: MundhiSabda Lesminingtyas [EMAIL PROTECTED]

Miskin Tidak Harus Mengemis 
Bagian 9
(Oleh : Lesminingtyas) 

Walaupun sudah mengakui dosa karena telah membohongi saya, Pak Aloy tetap saja 
tidak mau membuka kebohongan tersebut kepada saya. Esok paginya Pak Edy yang 
menjabat sebagai pimpro mengajak saya berbicara empat mata Bu, Pak Aloy sudah 
mengakui dosanya. Sekarang apakah Ibu mau mengampuni kesalahan kami ? tanya 
Pak Edy.
Dalam hal apa ? Kalau masalah Pak Aloy yang ngerjain saya kemarin, sudah saya 
lupakan jawab saya bersahabat.

Lalu soal data kami yang tidak benar ? tanya Pak Edy sambil memohon saya 
untuk maklum.
Ya, saya tetap akan mengampuni setelah teman-teman di sini bertobat jawab 
saya datar.
Maksudnya bertobat apa, Bu ? tanya pimpro
Buat koreksinya sekarang juga  dan jangan sekali-sekali membuat data yang 
tidak benar lagi! jawab saya tak bisa ditawar
Jadi, untuk kasus Matius dan Magda bagaimana, Bu ? tanya pimpro masih saja 
ingin mendapatkan kebijaksanaan.
Sesuai kebijakan, kedua nomor tersebut harus dinonaktifkan dan diganti dengan 
anak-anak lain yang lebih membutuhkan. Terserah dari mana proyek akan 
mendapatkan dana, yang jelas hak Sumini dan teman-temannya harus dikembalikan. 
Mengalihkan bantuan tanpa persetujuan yang bersangkutan untuk diberikan orang 
lain yang tidak berhak, sama saja dengan mencuri jawab saya tegas. 

Wah, kalau seperti itu, Ibu tidak bijaksana kata pimpro agak tegang

Sekarang terserah kalian ! Kalau mau jujur, patuh pada kebijakan dan aturan 
main seperti dalam perjanjian kerja sama, kalian bisa dengan suka rela 
menonaktifkan anak-anak yang tidak berhak. Kalau keputusan itu diambil, saya 
akan membuat laporan sebijaksana mungkin. Tetapi kalau kalian tetap 
mempertahankan kebohongan-kebohongan yang selama ini dilakukan, maka saya tidak 
punya pilihan lain. Saya akan membuat laporan apa adanya dan terserah direktur 
saya yang akan memutuskan apakah proyek ini dilanjutkan atau tidak saya 
memberikan opsi

Apakah tidak ada pilihan lain, Bu ? Pak Edy berusaha menawar

Tidak ada lagi. Memang cuma ada 2 pilihan. Kalau teman-teman di sini jujur dan 
kooperatif, percayalah bahwa saya akan memperjuangkan keberlangsungan kerja 
sama proyek ini. Tetapi kalau teman-teman masih saja hidup dalam kebohongan, 
apalagi mengambil hak orang lain, asal tahu saja ya, sayalah orang pertama yang 
akan mengusulkan proyek ini ditutup sesegera mungkin  

Kami mengerti Bu ! Tapi kami tidak berani mengosongkan nomor anak-anak dari 
keluarga pengurus yayasan. Mereka itu khan atasan kami. Mereka sangat 
menentukan nasib kami, Bu kata pimpro memohon pengertian saya.

Tapi akuntabilitas proyek juga sangat menentukan nasib kalian di sini lho ! 
Kalau  masalahnya hanya karena kalian nggak berani ngomong, itu sih gampang ! 
Yang penting kalian sepakat bahwa tindakan proyek itu merupakan pelanggaran dan 
mulai sekarang tidak boleh terjadi lagi. Masalah dengan Pak Anton, saya akan 
mencoba menyelesaikannya saya berjanji. 

Sebelum mengakhiri tugas audit, biasanya kami melalukan exit conference dengan 
pengurus yayasan, staf pelaksana proyek dan badan perwakilan penerima bantuan 
yang idealnya berfungsi mirip dengan DPR. Dalam pertemuan tersebut biasanya 
saya akan menyampikan temuan-temuan audit dan bersama-sama dengan mereka 
mencari solusi pemecahan untuk diusulkan kepada direktur saya di Jakarta. Namun 
untuk tidak mempermalukan pengurus yayasan di depan para penerima bantuan, 
terlebih dahulu saya mengajak Pak Anton untuk berbicara empat mata. 

Pak Anton, saya senang sekali bisa bersahabat dengan Pak Anton sekeluarga. 
Saya berharap sebagai anak-anak Tuhan, kita terus bersaudara dan saling 
mendukung saya memulai pembicaraan. Karena umur saya jauh lebih muda dari Pak 
Anton, saya berharap Pak Anton bisa menjadi saudara tua saya. Kalau sekiranya 
Pak Anton tahu saya punya kesalahan, saya ingin Pak Anton memberikan koreksi 
dan masukan demi kebaikan saya. Sebaliknya kalau ada sesuatu yang sekiranya 
kurang pas dengan Pak Anton, saya berharap Pak Anton mau menerima koreksi dari 
saya; saudara seiman Pak Anton lanjut saya.

Tentu saja ! Saya senang kalau Bu Ning mau menjadi saudara kami kata Pak 
Anton Saya akan senang kalau Bu Ning mau memberikan koreksi demi kebaikan dan 
keberlanjutan kerja sama proyek kita lanjutnya. 

Sebenarnya operasional proyek dan dampak pelayanan di sini sudah cukup bagus. 
Dan saya akan melaporkan kepada direktur saya tentang hal-hal positif yang saya 
temukan di sini. Tetapi supaya saya tidak berbohong dan membuat laporan palsu, 
saya mohon bantuan Pak Anton untuk melakukan koreksi-koreksi sebelum pertemuan 
dengan para penerima bantuan dilakukan. Yang pertama :  sebagaimana kita tahu 
bahwa falsafah saluran air, dimana ketika menyalurkan air menjadi basah tidak 
berlaku dalam kerja sama lembaga kita. Beberapa pasal dalam perjanjian kerja 
sama menyebutkan bahwa keluarga pengurus dan staf pelaksana proyek tidak 
diperbolehkan menerima bantuan. Oleh sebab itu, 

JNM * Miskin Tidak Harus Mengemis -10

2005-03-31 Terurut Topik pttwr

From: MundhiSabda Lesminingtyas [EMAIL PROTECTED]

Miskin Tidak Harus Mengemis 
Bagian 10
(Oleh : Lesminingtyas) 

Tugas saya di Kalimantan Barat yang berikutnya adalah mengakhiri kerja sama 
dengan sebuah yayasan sosial yang cukup besar yang berada di bawah bendera 
Katolik. Lembaga saya memutuskan untuk mengakhiri kerja sama karena setelah 
proyek kemanusiaan di daerah Putusibau dan  Bukit Batu berjalan beberapa tahun, 
ditemukan penyelewengan di tingkat staf pelaksana proyek dan badan perwakilan 
penerima bantuan. Sebenarnya para pendahulu saya telah menawarkan beberapa 
alternatif pemecahan tetapi tampaknya tidak ada itikad baik dari pihak-pihak 
yang terlibat.  

Saat para pendahulu saya mencoba meminta pertanggungjawaban dari yayasan mitra 
kerja, para pengurusnyapun kurang serius menanggapinya. Mungkin hal ini 
disebabkan karena lembaga saya tidak pernah memberikan biaya operasional maupun 
insentif kepada yayasan. Kebijakan ini sepertinya tidak adil karena yayasan 
harus merogoh kocek sendiri untuk keperluan pengawasan dan pengendalian 
proyeknya. Tetapi berangkat dari semangat kemitraan, yayasan yang bermitra 
dengan lembaga kami seharusnya menyadari bahwa proyek kemanusiaan tersebut 
merupakan program bersama yang idealnya dibiayai secara bersama pula. Lagi pula 
dari sejarah pembentukannyapun, jelas bahwa pelayanan lembaga saya ada di 
daerah tersebut hanya sebagai pendukung  yayasan mitra untuk mewujudkan visi 
dan misinya.  
Kami memandang hubungan kerja sama itu seperti layaknya hubungan suami istri, 
dimana proyek sebagai anak dari hasil kerja sama yayasan dengan lembaga saya, 
sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama termasuk dalam hal pembiayaan, 
minimal untuk biaya pengawasan dan pengendaliannya. Namun karena yayasan mitra 
kerja tidak memiliki pandangan yang sama, akhirnya para pendahulu saya 
dibiarkan kelimpungan sendiri menghadapi para pelaksana proyek dan badan 
perwakilan penerima bantuan yang telah bersekongkol menyalahgunakan dana 
kemanusiaan.  

Sikap yang kurang kooperatif dari pihak-pihak yang terlibat telah membiarkan 
kesempatan yang diberikan oleh para pendahulu saya, itu berlalu tanpa tindakan 
nyata dan itikat baik mereka. Tidak ada pilihan lain, demi melindungi hak 
anak-anak miskin, salah satu senior saya telah memaksa pihak-pihak yang 
terlibat untuk membuat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan dana yang 
ditulis di atas kertas segel, disertai dengan jaminan berupa setifikat tanah. 
Hal itu dilakukan untuk memaksa mereka mengembalikan dana yang telah 
diselewengkan, kalau mereka tidak ingin tanahnya dilego atau diserahkan kepada 
anak-anak yang haknya telah diambil. 
Tindakan tegas senior saya bukan membuat mereka jera, tetapi sebaliknya mereka 
makin berulah dengan memprovokasi para penerima bantuan dan mendeskreditkan 
lembaga kami. Suasana benar-benar panas dan tidak pernah ada titik temu.Untuk 
melindungi hak anak-anak dan juga untuk menjaga kepercayaan sponsor, lembaga 
sayapun memutuskan untuk menahan dana sambil menunggu proses penyelesaian 
masalah oleh pengurus yayasan mitra kerja. Untuk menjaga kredibilitas dan 
akuntabilitas lembaga, beberapa managerpun ditugaskan untuk menyelesaikan 
masalah ini. Tetapi pihak yayasan tidak menujukkan itikad baik sehingga 
kesepakatan untuk pemecahan masalahpun tidak pernah tercapai. Lembaga kami 
tidak punya pilihan lain, selain mengusulkan perpanjangan penahanan dana.  

Karena  kebijakan dari kantor pusat kami di Amerika, hanya membolehkan kantor 
nasional untuk menahan dana dalam waktu 2 bulan saja, penahanan dana untuk 
bulan ketiga dan selanjutnya dilakukan di tingkat kantor pusat di Amerika. 
Setelah 8 bulan dana tertahan, kantor pusatpun mendesak kami untuk segera 
menyelesaikan masalah proyek tersebut. Karena tidak ada satu pihakpun yang bisa 
menjamin bahwa dana yang akan kami salurkan 100% bisa sampai ke tangan 
anak-anak dan keluarga yang berhak, maka lembaga kami tidak bisa berbuat 
apa-apa lagi, kecuali angkat tangan. Bagi lembaga kami lebih baik kehilangan 
satu proyek dari pada harus kompromi dengan ketidakjujuran yang pada akhirnya 
akan mengurangi kepercayaan sponsor. Memang jauh sebelum bangsa Indonesia 
disadarkan untuk menolak KKN, lembaga saya sudah lama menyatakan perang dengan 
apa yang disebut ketidakjujuran, kolusi, korupsi dan nepotisme. Kami sungguh 
menyadari bahwa modal kami sebagai lembaga penyalur dana dari sponsor hanyalah 
integritas, kredibilitas dan akuntabilitas lembaga yang juga harus tercermin 
dari setiap gerak stafnya. Kalau ketiga hal tersebut sampai cacat, musnah sudah 
masa depan kami.  
Saat direktur menugaskan saya untuk mengakhiri kerja sama itu, saya kembali 
lagi bertanya kepada Tuhan Tuhan, apakah bumi Khatulistiwa ini merupakan 
Kanaan tanah yang Kaujanjikan, ataukan Babel negri pembuangan ? Saya 
benar-benar dalam situasi sulit, ibarat maju kena mundurpun apalagi lebih kena. 
Kalau maju, saya harus siap dengan sambutan mandau dan amarah yang tak berujung