Re: [keluarga-islam] putaran ke2 pilkada jkt

2012-08-08 Terurut Topik Raflis amin
YANG MUNAFIK COBLOS  





 From: MK. Mattawaf 
To: "keluarga-islam@yahoogroups.com" ; 
"keluarga-sejaht...@yahoogroups.com"  
Sent: Wednesday, August 8, 2012 10:32 AM
Subject: [keluarga-islam] putaran ke2 pilkada jkt
 

  
yg Muslim coblos Jokowi
yg non muslim coblos Ahok
sep...!
 

[keluarga-islam] Kebahagiaan Seorang Suami

2012-08-08 Terurut Topik muhamad agus syafii
Kebahagiaan Seorang Suami


By: Muhamad Agus Syafii


Kebahagiaan yang sesungguhnya bagi seorang suami begitu bermakna justru bukan 
dalam kegembiraan namun disaat keluarganya sedang diuji oleh Allah, Apakah 
dirinya sanggup melewati ujian itu atau tidak? Kekuatan cinta karena Allah akan 
mampu melewati semua derita, menanggung beban dalam suka maupun duka, hidup 
bersama istri dan anak-anaknya. Itulah kebahagiaan bagi seorang suami dengan 
cintanya yang tulus untuk keluarga. Pernah ada seorang bapak yang diuji oleh 
Allah. Istri yang dicintainya sedang sakit. bersama putrinya senantiasa 
menjenguk istri tercintanya yang terbaring diranjang. disekelilingnya ada alat 
pengukur tekanan nafas dan tabung untuk memeriksa kesehatan. 


Bila sampai dirumah sakit, suami yang setia itu datang menggantikan pakaian 
istrinya dan menanyakan keadaan istrinya. Selalu saja tidak ada perubahan sama 
sekali. Kondisi istrinya tetap seperti semula. Tidak ada kemajuan atau 
perubahan yang membaik. Kesembuhan istrinya seolah tidak bisa diharapkan. 
Setelah menjenguk dan merawat istrinya, sang bapak dengan putrinya selalu 
memanjatkan doa kepada Allah agar memberikan kesembuhan. Setelah itu barulah 
meninggalkan rumah sakit. Beliau hampir setiap hari selalu menjaga, merawat dan 
mendoakan untuk kesembuhan istrinya.


Meluangkan waktu untuk merawat ditengah kesibukannya yang juga harus bekerja 
mencari nafkah. Kesediaannya merawat istri yang sedang sakit membutuhkan energi 
yang sangat besar. Sifat konsistensi untuk menjaga, merawat dan mendoakan 
istrinya yang sedang sakit sungguh sangat luar biasa. Padahal kondisi istrinya 
belum pulih. Bahkan ada orang yang menyarankan agar mengunjunginya seminggu 
sekali aja. Suami setia itu memilih tegar dan bersikukuh untuk menjaga dan 
merawat istrinya, 'Allah tempat memohon pertolongan.' Ditengah kegelisahan 
itulah beliau datang ke Rumah Amalia untuk bershodaqoh ke Rumah Amalia agar 
Allah berkenan memberikan kesembuhan bagi istri yang dicintainya. 


Sampai suatu hari sesaat sebelum dirinya datang, istrinya bergerak dari tempat 
tidur. Dia merubah posisi tidurnya. Tak lama kemudian istrinya membuka kelopak 
matanya. dan mencopot alat bantu pernapasan. Ternyata istrinya sudah duduk 
tegap. Dokterpun datang membantu menolong, meminta perawat mencopot alat-alat 
bantu dan membersihkan bekas alat bantu ditubuhnya. 'Begitu saya datang, saya 
terperanjat, jantung saya seolah mau copot. Bagaimana tidak, ditengah saya 
kehabisan harapan, saya melihat istri saya kembali pulih.' Katanya bapak itu 
dengan tangis haru bercampur bahagia tidak bisa dibendung lagi. Beliau 
menangis, memanjatkan puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan 
kesembuhan total terhadap istrinya. 'Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.' 
tuturnya.


-
Sahabatku, yuk..aminkan doa ini agar keluarga kita menjadi keluarga sakinah 
mawaddah warahmah. "Rabbana hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyatinâ qurrata 
a’yunin waj-’alnâ lil-muttaqîna imâmâ." Artinya, Ya Tuhan kami, anugerahkan 
kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan 
jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74).


Wassalam,
Muhamad Agus Syafii
--
Sahabatku, yuk..aminkan doa ini untuk mendapatkan jodoh yg terbaik dari sisi 
Allah.'Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii 
fiddini waddunya wal akhirah' Artinya. "Ya Tuhan kami, berikanlah kami pasangan 
yg terbaik dari sisiMu, pasangan yg juga menjadi sahabat kami dlm urusan agama, 
urusan dunia & akhirat." Bila berkenan berpartisipasi dalam bentuk baju 
anak-anak, buku atau lainnya untuk Rumah Amalia. Silahkan kirimkan ke Rumah 
Amalia. Jl. Subagyo IV blok ii, no. 24 Komplek Peruri, Ciledug. Tangerang 
15151. Partisipasi anda sangat berarti bagi kami. Info: agussya...@gmail.com 
atau SMS 087 8777 12 431, http://agussyafii.blogspot.com/

Re: [keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin

2012-08-08 Terurut Topik deddy13220
Trus gw harus ngomong. WOW gitu??

Pada Zaman Soekarno, Buya Hamka pernah di penjara selama dua tahun karena di 
tuduh "penghianat" dan menjual negara kepada malaysia. Tentu beliau sangat 
sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada 
tokoh-tokoh islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu 
tersebut untuk menyelesaikan karyanya yang monumental bernama Tafsir Al Azhar 
(30 jilid)

Hadits: Mu'awiyah bin Abi Sufyan:

Dari Abu 'Amir al-hauzaniy,Abdillah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi surfan,
Bahwasannya ia (Mu'awiyah) pernah berdiri dihadapan kami, lalu ia berkata 
"ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri dihadapan kami, 
kemudian beliau bersabda
 "ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (yahudi dan 
nasrani) terpecah mejadi 72 golongan dan sesungguhnya umat ini akan berpecah 
belah menjadi 73 golongan, (adapun) yg 72 akan masuk neraka dan yg satu 
golongan akan masuk syurga, yaitu al-jama'ah




Powered by Telkomsel BlackBerry®

-Original Message-
From: Ananto 
Sender: keluarga-islam@yahoogroups.com
Date: Thu, 9 Aug 2012 07:46:53 
Reply-To: keluarga-islam@yahoogroups.com
Subject: [keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin

Sikap Dasar Para Pemimpin

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Sebagaimana kita ketahui, para pemimpin bangsa kita yang tergabung dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, menyepakati
Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dengan kalimat ‘Islamis’ Piagam Jakarta di
dalamnya. Namun sehari kemudian dikeluarkanlah Piagam Jakarta dari batang
tubuh UUD itu, karena permintaan anggota badan tersebut yang berasal dari
timur Indonesia. Mereka yang menyetujui penghilangan Piagam Jakarta
tersebut adalah para wakil dari berbagai gerakan Islam; Ki Bagoes
Hadikoesoemo dan KHA. Kahar Muzakir (PP. Muhammadiyah), Abikoesno
Tjokrosoejoso (SI), Ahmad Soebardjo (Masjumi), A. Baswedan (PAI), H. Agus
Salim (ulama independen) dan A. Wahid Hasjim (NO). Hal itu terjadi karena
sebelumnya mereka telah sepakat dengan yang lain-lain untuk mendirikan
sebuah negara merdeka. Sikap ini adalah sikap dasar yang disepakati oleh
semua anggota.


Jika keinginan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat adalah pendapat
asal, tentu saja pendapat berikut tentang bentuk dan sifat negara menjadi
pandangan berikutnya. Sesuai dengan ketentuan “Hal asal/semula, tidak dapat
dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan” (al-asl la yuzalu bi al-syak),
maka dapat dimengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam itu tidak
dapat menolak argumentasi yang menghendaki negara ini bukan negara Islam
(NI). Kalau Piagam Jakarta, sebagai pandangan yang berikutnya lalu dihapus,
dengan demikian gagasan semula yaitu mendirikan negara yang bukan NI harus
tetap dipertahankan, karena ketentuan agama menyatakan “Asal-usul sesuatu
adalah tetapnya keadaan seperti sediakala” (al-ashlu baqa-u ma kana ‘ala ma
kana).


Dari contoh di atas, dapat dilihat adanya kekesatriaan para wakil berbagai
gerakan Islam itu, atas prinsip yang telah disetujui bersama, yaitu
terbentuknya negara. Padahal dapat diketahui, betapa kokohnya pendirian
para founding father negara ini yang lebih mementingkan sebuah hal sebagai
dasar pemikiran yaitu kepentingan bersama (common interest). Mereka boleh
berbeda dalam ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap, dan
berlainan dalam pendapat, namun yang mengikat mereka semua adalah kokohnya
pendirian untuk kembali kepada prinsip semula, hingga terjadi persetujuan.
Sikap mulia ini yang justru memungkinkan lahirnya dasar pemikiran untuk
bertahan pada wujud/eksistensi negara, 7000 km (barat ke timur) dikalikan
1500 km (dari utara ke selatan) membentang kawasan negara kita, yang hanya
dapat diwujudkan melalui sikap tolak-angsur yang demikian kreatif, antara
para pemimpin bangsa kita itu. Hanya dengan sikap tolak-angsur seperti itu,
eksistensi Republik Indonesia dapat dipertahankan, dan selanjutnya dijaga
antara lain oleh mereka yang semula tidak menginginkan negara kesatuan.






Sikap membela kepentingan bersama itu memang ada sebelumnya. Mari kita
perhatikan contoh berikut; salah seorang pendiri dan pemimpin NU KH. M.
Hasjim Asj’ari, dimintai konsultasi anaknya, KHA. Wahid Hasjim –yang saat
itu ditanya oleh Laksamana Maeda dari pemerintah pendudukan Jepang:
“siapakah orang yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia, jika tentara
sekutu dapat menduduki kepulauan Jepang sendiri, untuk menegosiasikan
kemerdekaan negara kita?” Beliau bukannya menunjuk anak kandungnya sendiri
(KHA. Wahid Hasjim) juga bukan orang lain yang se-aliran (golongan Islam)
Melainkan justru menunjuk kepada “orang lain” yang tidak “berjuang untuk
Islam”, tanpa ragu-ragu beliau menyebutkan nama Soekarno. Beliau tidak
mementingkan apa yang diinginkan golongan Islam -yaitu NI-, namun lebih
mementingkan terbentuknya sebuah Negara yang meliputi berbagai budaya,
bahasa, tradisi dan keyakinan yang sangat beragam.


Sikap dasar seperti itu sekarang tampak sebag

[keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin

2012-08-08 Terurut Topik Ananto
Sikap Dasar Para Pemimpin

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Sebagaimana kita ketahui, para pemimpin bangsa kita yang tergabung dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, menyepakati
Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dengan kalimat ‘Islamis’ Piagam Jakarta di
dalamnya. Namun sehari kemudian dikeluarkanlah Piagam Jakarta dari batang
tubuh UUD itu, karena permintaan anggota badan tersebut yang berasal dari
timur Indonesia. Mereka yang menyetujui penghilangan Piagam Jakarta
tersebut adalah para wakil dari berbagai gerakan Islam; Ki Bagoes
Hadikoesoemo dan KHA. Kahar Muzakir (PP. Muhammadiyah), Abikoesno
Tjokrosoejoso (SI), Ahmad Soebardjo (Masjumi), A. Baswedan (PAI), H. Agus
Salim (ulama independen) dan A. Wahid Hasjim (NO). Hal itu terjadi karena
sebelumnya mereka telah sepakat dengan yang lain-lain untuk mendirikan
sebuah negara merdeka. Sikap ini adalah sikap dasar yang disepakati oleh
semua anggota.


Jika keinginan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat adalah pendapat
asal, tentu saja pendapat berikut tentang bentuk dan sifat negara menjadi
pandangan berikutnya. Sesuai dengan ketentuan “Hal asal/semula, tidak dapat
dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan” (al-asl la yuzalu bi al-syak),
maka dapat dimengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam itu tidak
dapat menolak argumentasi yang menghendaki negara ini bukan negara Islam
(NI). Kalau Piagam Jakarta, sebagai pandangan yang berikutnya lalu dihapus,
dengan demikian gagasan semula yaitu mendirikan negara yang bukan NI harus
tetap dipertahankan, karena ketentuan agama menyatakan “Asal-usul sesuatu
adalah tetapnya keadaan seperti sediakala” (al-ashlu baqa-u ma kana ‘ala ma
kana).


Dari contoh di atas, dapat dilihat adanya kekesatriaan para wakil berbagai
gerakan Islam itu, atas prinsip yang telah disetujui bersama, yaitu
terbentuknya negara. Padahal dapat diketahui, betapa kokohnya pendirian
para founding father negara ini yang lebih mementingkan sebuah hal sebagai
dasar pemikiran yaitu kepentingan bersama (common interest). Mereka boleh
berbeda dalam ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap, dan
berlainan dalam pendapat, namun yang mengikat mereka semua adalah kokohnya
pendirian untuk kembali kepada prinsip semula, hingga terjadi persetujuan.
Sikap mulia ini yang justru memungkinkan lahirnya dasar pemikiran untuk
bertahan pada wujud/eksistensi negara, 7000 km (barat ke timur) dikalikan
1500 km (dari utara ke selatan) membentang kawasan negara kita, yang hanya
dapat diwujudkan melalui sikap tolak-angsur yang demikian kreatif, antara
para pemimpin bangsa kita itu. Hanya dengan sikap tolak-angsur seperti itu,
eksistensi Republik Indonesia dapat dipertahankan, dan selanjutnya dijaga
antara lain oleh mereka yang semula tidak menginginkan negara kesatuan.






Sikap membela kepentingan bersama itu memang ada sebelumnya. Mari kita
perhatikan contoh berikut; salah seorang pendiri dan pemimpin NU KH. M.
Hasjim Asj’ari, dimintai konsultasi anaknya, KHA. Wahid Hasjim –yang saat
itu ditanya oleh Laksamana Maeda dari pemerintah pendudukan Jepang:
“siapakah orang yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia, jika tentara
sekutu dapat menduduki kepulauan Jepang sendiri, untuk menegosiasikan
kemerdekaan negara kita?” Beliau bukannya menunjuk anak kandungnya sendiri
(KHA. Wahid Hasjim) juga bukan orang lain yang se-aliran (golongan Islam)
Melainkan justru menunjuk kepada “orang lain” yang tidak “berjuang untuk
Islam”, tanpa ragu-ragu beliau menyebutkan nama Soekarno. Beliau tidak
mementingkan apa yang diinginkan golongan Islam -yaitu NI-, namun lebih
mementingkan terbentuknya sebuah Negara yang meliputi berbagai budaya,
bahasa, tradisi dan keyakinan yang sangat beragam.


Sikap dasar seperti itu sekarang tampak sebagai kesetiaan kepada Pancasila,
walaupun sebenarnya entitas dengan nama itu baru belakangan dikenal orang.
Setelah gagasan tentang NI ditolak dan tidak dikembangkan lebih jauh,
barulah kemudian mereka semua sibuk mencari nama yang tepat bagi kompromi
politik yang telah dicapai, yaitu Pancasila. Sekarang memang dikatakan
Pancasila adalah falsafah negara, tetapi dahulu belum dikenal penggunaannya
dalam kapasitas tersebut. Waktu itu berlangsung pergulatan antara gagasan
NI dan entitas yang bukan NI. Dicarilah sebuah kompromi politik, yang
kemudian dinamai Pancasila. Dengan cara menemukan rumusan kompromistik itu,
para pendiri negeri kita menunjukkan sebuah kualitas pribadi yang sangat
tinggi: tidak mementingkan diri atau golongan sendiri. Hanya dengan cara
itulah kebersamaan kita sebagai bangsa dapat dipertahankan.


Jelas, sikap seperti itu mengharuskan adanya pengorbanan terhadap prinsip
bersama yang benar-benar dihormati oleh semua pihak. Kepentingan diri atau
golongan sendiri di-nomor-dua-kan, karena memang ia nomor dua. Inilah
rahasia yang menjawab pertanyaan, mengapakah kita sebagai bangsa yang
demikian heterogen/beragam dapat membuat sebuah Negara dengan kawasan yang
demikian rapuh dan perbedaan-perbedaan demikian be

[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Puasa Bukanlah Bulan untuk Tidur

2012-08-08 Terurut Topik Ananto
*Puasa Bukanlah Bulan untuk Tidur*

Oleh: Achmad Marzuki



Satu amalan pada bulan Ramadhan yang sangat ringan, mudah, sederhana, tak
membutuhkan tenaga dan dinilai ibadah adalah tidur. Tidurnya orang yang
berpuasa adalah ibadah, begitu Nabi pernah bersabda. Kebanyakan orang
muslim sangat tergoda dengan ibadah yang satu ini. Mereka akan
menimbang-nimbang dengan prilaku tak bernilai lainnya. Lihat saja saat
ditanya kenapa seharian waktunya kebanyakan digunakan hanya untuk tidur?
Mereka pasti menjawab; tidur itu lebih baik ketimbang ngomongin kejelekan
orang lain, ketimbang berbohong, dan ketimbang kejelekan yang lainnya.


Seyogianya ibadah jangan ditimbang dengan hal yang di bawahnya, lihatlah
pada ibadah yang di atasnya. Dan jika pebuatan jelek (dosa) jangan melihat
atau membandingkan dengan keburukan yang lebih besar, lihatlah dengan
kejelekan yang lebih kecil. Karena dengan begitu kita akan meresa kurang
dalam beribadah dan malu dengan prilaku dosa kita. Implikasinya akan
membentuk pribadi yang bertaqwa.


Training Kebaikan


Bulan puasa adalah bulan yang diadakan sebagai training kebaikan bagi umat
Islam agar mendapat energi kesegaran ibadah setelahnya. Sebagaimana
training lainnya, diadakannya training agar setelah selesai, para peserta
training diharapkan tetap melaksanakan dan mengamalkan hasil training
tersebut. Semisal training advokasi, setelah usai para peserta dapat
mengaplikasikan keilmuan tentang keadvokatan. Begitu pula training kebaikan
pada bulan Ramadhan ini ditujukan agar perbuatan baik pada bulan puasa
tetap melekat dan dilestarikan setelah usainya bulan puasa.


Keistimewaan lainnya pada bulan Ramadhan adalah ramainya umat muslim
membaca al-Qur’an dan menghatamkannya, melaksanakan shalat tarawih
berjamaah, dan tentu saja menahan segala hal yang membatalkan puasa. Dari
semua keagungan bulan Ramadhan yang paling spektakuler adalah malam
lailatul qadar. Malam yang nilainya setara dengan seribu malam. Suatu
anugerah yang sangat mulia bagi seorang muslim yang mendapatkannya.


Pada bulan Ramadhan semua ibadah dilipatgandakan oleh Allah. Ibadah sunah
akan dihitung sebagaimana pahalanya ibadah wajib dan ibadah wajib akan
dilipatgandakan sebanyak 70 kali. Berbicara soal ibadah sebenarnya kurang
layak menghitung-hitung pahala dari suatu ibadah. Kurang etis. Nantinya
ibadah kita tidak menjadi murni untuk Allah melainkan ibadah pragmatis yang
selalu ditujukan pada keuntungan pribadi. Walupun begitu, pahala tetap
dibutuhkan sebagai stilmulan bagi umat muslim untuk beribadah.


Artinya pahala dan hitungan kelipatan lainnya tentang ibadah bukanlah
sebagai tujuan. Kalau demikian ibadah kita akan menjadi ibadah minimalis,
yang hanya ditinjau dari berapa banyak pahala yang didapat. Jika hanya
memperhitungkan pahala tentu akan banyak yang memilih ibadah ringan tanpa
memberatkan yaitu tidur di bulan suci ini.


Ibadah Sosialis


Ibadah yang sempurna tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi melainkan
juga berpengaruh kebaikan pada keadaan sekitar. Ibadah sosialis. Membaca
al-Qur’an lebih baik dilakukan dengan tadarus bersama. Kesalahan-kesalahan
akan dibetulkan oleh penyimak yang lain. Membagi ilmu dengan mengajar
kiranya lebih bermanfaat daripada melakukan ibadah yang hanya berimplikasi
pada pelaku ibadah saja.


Karena bulan Ramadhan adalah bulan training agar umat Islam menjadi lebih
baik maka sudah selayaknya setelah selesainya bulan Ramadhan prilaku kita
harus menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu tanda diterimanya
ibadah adalah bertambah baiknya prilaku. Karena itu, manusia sendirilah
yang dapat mempertimbangkan apakah ibadah yang dikerjakan diterima atau
tidak. Yaitu dengan merubah sikap menjadi lebih baik.


Dengan begitu adanya Islam yang sebagai rahmat bagi seluruh makhluk akan
tampak bila keadilan sosial terbentuk. Orang yang melakukan dosa bukan
berarti orang tersebut tidak mengetahui bahwa yang ia kerjakan adalah dosa,
melainkan kesadaran jiwa yang tidak merasa takut pada Tuhan lah yang
membuatnya berani melakukan perbuatan dosa.


Momentum tepat untuk melatih diri agar sabar dan mengetahui bagaimana
laparnya orang-orang miskin adalah pada bulan Ramadhan. Kalau kita menjaga
puasa kita hanya dengan tidak makan dan minum tentu saja akan sia-sia. Nabi
pernah bersabda “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa yang tidak
mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus”. Artinya puasa akan sia-sia jika
tidak memperhatikan prilaku-prilaku hari; iri, dengki, marah, dan bangga
diri.


Walhasil mari pada bulan Ramadhan ini jangan hanya membuang waktu dengan
ibadah tidur. Ada banyak ibadah yang lebih mulia dan lebih bermanfaat
daripada tidur. Namun, jika tidak dapat mengendalikan diri barulah
diperbolehkan tidur sepanjang waktu. Hiasi waktu Ramadhan kita dengan
melakukan ibadah-ibadah yang bernuansa sosialis dan berdampak pada
masyarakat luas. Wallahu’alam bisshawab.


* Alumni Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur, saat ini sedang
melanjutkan studinya di IAIN Walisongo Semarang Jawa Teng

[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 20 Ramadlan 1433H

2012-08-08 Terurut Topik Ananto
Bismillah irRahman irRaheem



In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahummaj’alnii fiihi minal mutawakkiliina ‘alayka, waj’alnii fiihi minal
faaiziina ladayka, waj’alnii fiihi minal muqarrabiina ilayka, bi-ihsaanika
yaa ghaayatath thaalibiin.



Ya Allah, jadikanlah aku di bulan yang mulia ini tergolong pada orang-orang
yang bertawakkal pada-Mu, jadikanlah aku di dalamnya tergolong pada
orang-orang yang beruntung, jadikanlah aku di dalamnya tergolong pada
orang-orang yang mendekatkan diri pada-Mu, dengan kebaikan-Mu wahai Tujuan
orang-orang yang berharap.



Dari Kitab Mafaatihul Jinaan, Bab II, Pasal 3



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."