Re: [keluarga-islam] putaran ke2 pilkada jkt
YANG MUNAFIK COBLOS From: MK. Mattawaf To: "keluarga-islam@yahoogroups.com" ; "keluarga-sejaht...@yahoogroups.com" Sent: Wednesday, August 8, 2012 10:32 AM Subject: [keluarga-islam] putaran ke2 pilkada jkt yg Muslim coblos Jokowi yg non muslim coblos Ahok sep...!
[keluarga-islam] Kebahagiaan Seorang Suami
Kebahagiaan Seorang Suami By: Muhamad Agus Syafii Kebahagiaan yang sesungguhnya bagi seorang suami begitu bermakna justru bukan dalam kegembiraan namun disaat keluarganya sedang diuji oleh Allah, Apakah dirinya sanggup melewati ujian itu atau tidak? Kekuatan cinta karena Allah akan mampu melewati semua derita, menanggung beban dalam suka maupun duka, hidup bersama istri dan anak-anaknya. Itulah kebahagiaan bagi seorang suami dengan cintanya yang tulus untuk keluarga. Pernah ada seorang bapak yang diuji oleh Allah. Istri yang dicintainya sedang sakit. bersama putrinya senantiasa menjenguk istri tercintanya yang terbaring diranjang. disekelilingnya ada alat pengukur tekanan nafas dan tabung untuk memeriksa kesehatan. Bila sampai dirumah sakit, suami yang setia itu datang menggantikan pakaian istrinya dan menanyakan keadaan istrinya. Selalu saja tidak ada perubahan sama sekali. Kondisi istrinya tetap seperti semula. Tidak ada kemajuan atau perubahan yang membaik. Kesembuhan istrinya seolah tidak bisa diharapkan. Setelah menjenguk dan merawat istrinya, sang bapak dengan putrinya selalu memanjatkan doa kepada Allah agar memberikan kesembuhan. Setelah itu barulah meninggalkan rumah sakit. Beliau hampir setiap hari selalu menjaga, merawat dan mendoakan untuk kesembuhan istrinya. Meluangkan waktu untuk merawat ditengah kesibukannya yang juga harus bekerja mencari nafkah. Kesediaannya merawat istri yang sedang sakit membutuhkan energi yang sangat besar. Sifat konsistensi untuk menjaga, merawat dan mendoakan istrinya yang sedang sakit sungguh sangat luar biasa. Padahal kondisi istrinya belum pulih. Bahkan ada orang yang menyarankan agar mengunjunginya seminggu sekali aja. Suami setia itu memilih tegar dan bersikukuh untuk menjaga dan merawat istrinya, 'Allah tempat memohon pertolongan.' Ditengah kegelisahan itulah beliau datang ke Rumah Amalia untuk bershodaqoh ke Rumah Amalia agar Allah berkenan memberikan kesembuhan bagi istri yang dicintainya. Sampai suatu hari sesaat sebelum dirinya datang, istrinya bergerak dari tempat tidur. Dia merubah posisi tidurnya. Tak lama kemudian istrinya membuka kelopak matanya. dan mencopot alat bantu pernapasan. Ternyata istrinya sudah duduk tegap. Dokterpun datang membantu menolong, meminta perawat mencopot alat-alat bantu dan membersihkan bekas alat bantu ditubuhnya. 'Begitu saya datang, saya terperanjat, jantung saya seolah mau copot. Bagaimana tidak, ditengah saya kehabisan harapan, saya melihat istri saya kembali pulih.' Katanya bapak itu dengan tangis haru bercampur bahagia tidak bisa dibendung lagi. Beliau menangis, memanjatkan puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan kesembuhan total terhadap istrinya. 'Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.' tuturnya. - Sahabatku, yuk..aminkan doa ini agar keluarga kita menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. "Rabbana hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyatinâ qurrata a’yunin waj-’alnâ lil-muttaqîna imâmâ." Artinya, Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74). Wassalam, Muhamad Agus Syafii -- Sahabatku, yuk..aminkan doa ini untuk mendapatkan jodoh yg terbaik dari sisi Allah.'Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii fiddini waddunya wal akhirah' Artinya. "Ya Tuhan kami, berikanlah kami pasangan yg terbaik dari sisiMu, pasangan yg juga menjadi sahabat kami dlm urusan agama, urusan dunia & akhirat." Bila berkenan berpartisipasi dalam bentuk baju anak-anak, buku atau lainnya untuk Rumah Amalia. Silahkan kirimkan ke Rumah Amalia. Jl. Subagyo IV blok ii, no. 24 Komplek Peruri, Ciledug. Tangerang 15151. Partisipasi anda sangat berarti bagi kami. Info: agussya...@gmail.com atau SMS 087 8777 12 431, http://agussyafii.blogspot.com/
Re: [keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin
Trus gw harus ngomong. WOW gitu?? Pada Zaman Soekarno, Buya Hamka pernah di penjara selama dua tahun karena di tuduh "penghianat" dan menjual negara kepada malaysia. Tentu beliau sangat sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada tokoh-tokoh islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu tersebut untuk menyelesaikan karyanya yang monumental bernama Tafsir Al Azhar (30 jilid) Hadits: Mu'awiyah bin Abi Sufyan: Dari Abu 'Amir al-hauzaniy,Abdillah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi surfan, Bahwasannya ia (Mu'awiyah) pernah berdiri dihadapan kami, lalu ia berkata "ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri dihadapan kami, kemudian beliau bersabda "ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab (yahudi dan nasrani) terpecah mejadi 72 golongan dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, (adapun) yg 72 akan masuk neraka dan yg satu golongan akan masuk syurga, yaitu al-jama'ah Powered by Telkomsel BlackBerry® -Original Message- From: Ananto Sender: keluarga-islam@yahoogroups.com Date: Thu, 9 Aug 2012 07:46:53 Reply-To: keluarga-islam@yahoogroups.com Subject: [keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin Sikap Dasar Para Pemimpin Oleh: KH. Abdurrahman Wahid Sebagaimana kita ketahui, para pemimpin bangsa kita yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, menyepakati Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dengan kalimat ‘Islamis’ Piagam Jakarta di dalamnya. Namun sehari kemudian dikeluarkanlah Piagam Jakarta dari batang tubuh UUD itu, karena permintaan anggota badan tersebut yang berasal dari timur Indonesia. Mereka yang menyetujui penghilangan Piagam Jakarta tersebut adalah para wakil dari berbagai gerakan Islam; Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KHA. Kahar Muzakir (PP. Muhammadiyah), Abikoesno Tjokrosoejoso (SI), Ahmad Soebardjo (Masjumi), A. Baswedan (PAI), H. Agus Salim (ulama independen) dan A. Wahid Hasjim (NO). Hal itu terjadi karena sebelumnya mereka telah sepakat dengan yang lain-lain untuk mendirikan sebuah negara merdeka. Sikap ini adalah sikap dasar yang disepakati oleh semua anggota. Jika keinginan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat adalah pendapat asal, tentu saja pendapat berikut tentang bentuk dan sifat negara menjadi pandangan berikutnya. Sesuai dengan ketentuan “Hal asal/semula, tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan” (al-asl la yuzalu bi al-syak), maka dapat dimengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam itu tidak dapat menolak argumentasi yang menghendaki negara ini bukan negara Islam (NI). Kalau Piagam Jakarta, sebagai pandangan yang berikutnya lalu dihapus, dengan demikian gagasan semula yaitu mendirikan negara yang bukan NI harus tetap dipertahankan, karena ketentuan agama menyatakan “Asal-usul sesuatu adalah tetapnya keadaan seperti sediakala” (al-ashlu baqa-u ma kana ‘ala ma kana). Dari contoh di atas, dapat dilihat adanya kekesatriaan para wakil berbagai gerakan Islam itu, atas prinsip yang telah disetujui bersama, yaitu terbentuknya negara. Padahal dapat diketahui, betapa kokohnya pendirian para founding father negara ini yang lebih mementingkan sebuah hal sebagai dasar pemikiran yaitu kepentingan bersama (common interest). Mereka boleh berbeda dalam ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap, dan berlainan dalam pendapat, namun yang mengikat mereka semua adalah kokohnya pendirian untuk kembali kepada prinsip semula, hingga terjadi persetujuan. Sikap mulia ini yang justru memungkinkan lahirnya dasar pemikiran untuk bertahan pada wujud/eksistensi negara, 7000 km (barat ke timur) dikalikan 1500 km (dari utara ke selatan) membentang kawasan negara kita, yang hanya dapat diwujudkan melalui sikap tolak-angsur yang demikian kreatif, antara para pemimpin bangsa kita itu. Hanya dengan sikap tolak-angsur seperti itu, eksistensi Republik Indonesia dapat dipertahankan, dan selanjutnya dijaga antara lain oleh mereka yang semula tidak menginginkan negara kesatuan. Sikap membela kepentingan bersama itu memang ada sebelumnya. Mari kita perhatikan contoh berikut; salah seorang pendiri dan pemimpin NU KH. M. Hasjim Asj’ari, dimintai konsultasi anaknya, KHA. Wahid Hasjim –yang saat itu ditanya oleh Laksamana Maeda dari pemerintah pendudukan Jepang: “siapakah orang yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia, jika tentara sekutu dapat menduduki kepulauan Jepang sendiri, untuk menegosiasikan kemerdekaan negara kita?” Beliau bukannya menunjuk anak kandungnya sendiri (KHA. Wahid Hasjim) juga bukan orang lain yang se-aliran (golongan Islam) Melainkan justru menunjuk kepada “orang lain” yang tidak “berjuang untuk Islam”, tanpa ragu-ragu beliau menyebutkan nama Soekarno. Beliau tidak mementingkan apa yang diinginkan golongan Islam -yaitu NI-, namun lebih mementingkan terbentuknya sebuah Negara yang meliputi berbagai budaya, bahasa, tradisi dan keyakinan yang sangat beragam. Sikap dasar seperti itu sekarang tampak sebag
[keluarga-islam] Gus Dur: Sikap Dasar Para Pemimpin
Sikap Dasar Para Pemimpin Oleh: KH. Abdurrahman Wahid Sebagaimana kita ketahui, para pemimpin bangsa kita yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945, menyepakati Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dengan kalimat ‘Islamis’ Piagam Jakarta di dalamnya. Namun sehari kemudian dikeluarkanlah Piagam Jakarta dari batang tubuh UUD itu, karena permintaan anggota badan tersebut yang berasal dari timur Indonesia. Mereka yang menyetujui penghilangan Piagam Jakarta tersebut adalah para wakil dari berbagai gerakan Islam; Ki Bagoes Hadikoesoemo dan KHA. Kahar Muzakir (PP. Muhammadiyah), Abikoesno Tjokrosoejoso (SI), Ahmad Soebardjo (Masjumi), A. Baswedan (PAI), H. Agus Salim (ulama independen) dan A. Wahid Hasjim (NO). Hal itu terjadi karena sebelumnya mereka telah sepakat dengan yang lain-lain untuk mendirikan sebuah negara merdeka. Sikap ini adalah sikap dasar yang disepakati oleh semua anggota. Jika keinginan mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat adalah pendapat asal, tentu saja pendapat berikut tentang bentuk dan sifat negara menjadi pandangan berikutnya. Sesuai dengan ketentuan “Hal asal/semula, tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan” (al-asl la yuzalu bi al-syak), maka dapat dimengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam itu tidak dapat menolak argumentasi yang menghendaki negara ini bukan negara Islam (NI). Kalau Piagam Jakarta, sebagai pandangan yang berikutnya lalu dihapus, dengan demikian gagasan semula yaitu mendirikan negara yang bukan NI harus tetap dipertahankan, karena ketentuan agama menyatakan “Asal-usul sesuatu adalah tetapnya keadaan seperti sediakala” (al-ashlu baqa-u ma kana ‘ala ma kana). Dari contoh di atas, dapat dilihat adanya kekesatriaan para wakil berbagai gerakan Islam itu, atas prinsip yang telah disetujui bersama, yaitu terbentuknya negara. Padahal dapat diketahui, betapa kokohnya pendirian para founding father negara ini yang lebih mementingkan sebuah hal sebagai dasar pemikiran yaitu kepentingan bersama (common interest). Mereka boleh berbeda dalam ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap, dan berlainan dalam pendapat, namun yang mengikat mereka semua adalah kokohnya pendirian untuk kembali kepada prinsip semula, hingga terjadi persetujuan. Sikap mulia ini yang justru memungkinkan lahirnya dasar pemikiran untuk bertahan pada wujud/eksistensi negara, 7000 km (barat ke timur) dikalikan 1500 km (dari utara ke selatan) membentang kawasan negara kita, yang hanya dapat diwujudkan melalui sikap tolak-angsur yang demikian kreatif, antara para pemimpin bangsa kita itu. Hanya dengan sikap tolak-angsur seperti itu, eksistensi Republik Indonesia dapat dipertahankan, dan selanjutnya dijaga antara lain oleh mereka yang semula tidak menginginkan negara kesatuan. Sikap membela kepentingan bersama itu memang ada sebelumnya. Mari kita perhatikan contoh berikut; salah seorang pendiri dan pemimpin NU KH. M. Hasjim Asj’ari, dimintai konsultasi anaknya, KHA. Wahid Hasjim –yang saat itu ditanya oleh Laksamana Maeda dari pemerintah pendudukan Jepang: “siapakah orang yang sebaiknya mewakili bangsa Indonesia, jika tentara sekutu dapat menduduki kepulauan Jepang sendiri, untuk menegosiasikan kemerdekaan negara kita?” Beliau bukannya menunjuk anak kandungnya sendiri (KHA. Wahid Hasjim) juga bukan orang lain yang se-aliran (golongan Islam) Melainkan justru menunjuk kepada “orang lain” yang tidak “berjuang untuk Islam”, tanpa ragu-ragu beliau menyebutkan nama Soekarno. Beliau tidak mementingkan apa yang diinginkan golongan Islam -yaitu NI-, namun lebih mementingkan terbentuknya sebuah Negara yang meliputi berbagai budaya, bahasa, tradisi dan keyakinan yang sangat beragam. Sikap dasar seperti itu sekarang tampak sebagai kesetiaan kepada Pancasila, walaupun sebenarnya entitas dengan nama itu baru belakangan dikenal orang. Setelah gagasan tentang NI ditolak dan tidak dikembangkan lebih jauh, barulah kemudian mereka semua sibuk mencari nama yang tepat bagi kompromi politik yang telah dicapai, yaitu Pancasila. Sekarang memang dikatakan Pancasila adalah falsafah negara, tetapi dahulu belum dikenal penggunaannya dalam kapasitas tersebut. Waktu itu berlangsung pergulatan antara gagasan NI dan entitas yang bukan NI. Dicarilah sebuah kompromi politik, yang kemudian dinamai Pancasila. Dengan cara menemukan rumusan kompromistik itu, para pendiri negeri kita menunjukkan sebuah kualitas pribadi yang sangat tinggi: tidak mementingkan diri atau golongan sendiri. Hanya dengan cara itulah kebersamaan kita sebagai bangsa dapat dipertahankan. Jelas, sikap seperti itu mengharuskan adanya pengorbanan terhadap prinsip bersama yang benar-benar dihormati oleh semua pihak. Kepentingan diri atau golongan sendiri di-nomor-dua-kan, karena memang ia nomor dua. Inilah rahasia yang menjawab pertanyaan, mengapakah kita sebagai bangsa yang demikian heterogen/beragam dapat membuat sebuah Negara dengan kawasan yang demikian rapuh dan perbedaan-perbedaan demikian be
[keluarga-islam] (Ngaji of the Day) Puasa Bukanlah Bulan untuk Tidur
*Puasa Bukanlah Bulan untuk Tidur* Oleh: Achmad Marzuki Satu amalan pada bulan Ramadhan yang sangat ringan, mudah, sederhana, tak membutuhkan tenaga dan dinilai ibadah adalah tidur. Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, begitu Nabi pernah bersabda. Kebanyakan orang muslim sangat tergoda dengan ibadah yang satu ini. Mereka akan menimbang-nimbang dengan prilaku tak bernilai lainnya. Lihat saja saat ditanya kenapa seharian waktunya kebanyakan digunakan hanya untuk tidur? Mereka pasti menjawab; tidur itu lebih baik ketimbang ngomongin kejelekan orang lain, ketimbang berbohong, dan ketimbang kejelekan yang lainnya. Seyogianya ibadah jangan ditimbang dengan hal yang di bawahnya, lihatlah pada ibadah yang di atasnya. Dan jika pebuatan jelek (dosa) jangan melihat atau membandingkan dengan keburukan yang lebih besar, lihatlah dengan kejelekan yang lebih kecil. Karena dengan begitu kita akan meresa kurang dalam beribadah dan malu dengan prilaku dosa kita. Implikasinya akan membentuk pribadi yang bertaqwa. Training Kebaikan Bulan puasa adalah bulan yang diadakan sebagai training kebaikan bagi umat Islam agar mendapat energi kesegaran ibadah setelahnya. Sebagaimana training lainnya, diadakannya training agar setelah selesai, para peserta training diharapkan tetap melaksanakan dan mengamalkan hasil training tersebut. Semisal training advokasi, setelah usai para peserta dapat mengaplikasikan keilmuan tentang keadvokatan. Begitu pula training kebaikan pada bulan Ramadhan ini ditujukan agar perbuatan baik pada bulan puasa tetap melekat dan dilestarikan setelah usainya bulan puasa. Keistimewaan lainnya pada bulan Ramadhan adalah ramainya umat muslim membaca al-Qur’an dan menghatamkannya, melaksanakan shalat tarawih berjamaah, dan tentu saja menahan segala hal yang membatalkan puasa. Dari semua keagungan bulan Ramadhan yang paling spektakuler adalah malam lailatul qadar. Malam yang nilainya setara dengan seribu malam. Suatu anugerah yang sangat mulia bagi seorang muslim yang mendapatkannya. Pada bulan Ramadhan semua ibadah dilipatgandakan oleh Allah. Ibadah sunah akan dihitung sebagaimana pahalanya ibadah wajib dan ibadah wajib akan dilipatgandakan sebanyak 70 kali. Berbicara soal ibadah sebenarnya kurang layak menghitung-hitung pahala dari suatu ibadah. Kurang etis. Nantinya ibadah kita tidak menjadi murni untuk Allah melainkan ibadah pragmatis yang selalu ditujukan pada keuntungan pribadi. Walupun begitu, pahala tetap dibutuhkan sebagai stilmulan bagi umat muslim untuk beribadah. Artinya pahala dan hitungan kelipatan lainnya tentang ibadah bukanlah sebagai tujuan. Kalau demikian ibadah kita akan menjadi ibadah minimalis, yang hanya ditinjau dari berapa banyak pahala yang didapat. Jika hanya memperhitungkan pahala tentu akan banyak yang memilih ibadah ringan tanpa memberatkan yaitu tidur di bulan suci ini. Ibadah Sosialis Ibadah yang sempurna tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi melainkan juga berpengaruh kebaikan pada keadaan sekitar. Ibadah sosialis. Membaca al-Qur’an lebih baik dilakukan dengan tadarus bersama. Kesalahan-kesalahan akan dibetulkan oleh penyimak yang lain. Membagi ilmu dengan mengajar kiranya lebih bermanfaat daripada melakukan ibadah yang hanya berimplikasi pada pelaku ibadah saja. Karena bulan Ramadhan adalah bulan training agar umat Islam menjadi lebih baik maka sudah selayaknya setelah selesainya bulan Ramadhan prilaku kita harus menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Salah satu tanda diterimanya ibadah adalah bertambah baiknya prilaku. Karena itu, manusia sendirilah yang dapat mempertimbangkan apakah ibadah yang dikerjakan diterima atau tidak. Yaitu dengan merubah sikap menjadi lebih baik. Dengan begitu adanya Islam yang sebagai rahmat bagi seluruh makhluk akan tampak bila keadilan sosial terbentuk. Orang yang melakukan dosa bukan berarti orang tersebut tidak mengetahui bahwa yang ia kerjakan adalah dosa, melainkan kesadaran jiwa yang tidak merasa takut pada Tuhan lah yang membuatnya berani melakukan perbuatan dosa. Momentum tepat untuk melatih diri agar sabar dan mengetahui bagaimana laparnya orang-orang miskin adalah pada bulan Ramadhan. Kalau kita menjaga puasa kita hanya dengan tidak makan dan minum tentu saja akan sia-sia. Nabi pernah bersabda “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus”. Artinya puasa akan sia-sia jika tidak memperhatikan prilaku-prilaku hari; iri, dengki, marah, dan bangga diri. Walhasil mari pada bulan Ramadhan ini jangan hanya membuang waktu dengan ibadah tidur. Ada banyak ibadah yang lebih mulia dan lebih bermanfaat daripada tidur. Namun, jika tidak dapat mengendalikan diri barulah diperbolehkan tidur sepanjang waktu. Hiasi waktu Ramadhan kita dengan melakukan ibadah-ibadah yang bernuansa sosialis dan berdampak pada masyarakat luas. Wallahu’alam bisshawab. * Alumni Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur, saat ini sedang melanjutkan studinya di IAIN Walisongo Semarang Jawa Teng
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 20 Ramadlan 1433H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind Allaahummaj’alnii fiihi minal mutawakkiliina ‘alayka, waj’alnii fiihi minal faaiziina ladayka, waj’alnii fiihi minal muqarrabiina ilayka, bi-ihsaanika yaa ghaayatath thaalibiin. Ya Allah, jadikanlah aku di bulan yang mulia ini tergolong pada orang-orang yang bertawakkal pada-Mu, jadikanlah aku di dalamnya tergolong pada orang-orang yang beruntung, jadikanlah aku di dalamnya tergolong pada orang-orang yang mendekatkan diri pada-Mu, dengan kebaikan-Mu wahai Tujuan orang-orang yang berharap. Dari Kitab Mafaatihul Jinaan, Bab II, Pasal 3 -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."