Fatwa Politik dan Politik Fatwa
Surwandono Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 
Telah terjadi perang fatwa politik dalam mengantisipasi fenomena golongan putih 
(golput). Kubu Gus Dur menyatakan bahwa pilihan untuk tidak memilih dalam 
proses politik 2009 merupakan pilihan yang paling baik sehingga akan memberikan 
maslahat bagi bangsa Indonesia dan masa depan demokrasi. Namun, Pengurus Besar 
Nahdlatul Ulama (PBNU) secara organisatoris menyerukan fatwa yang menyatakan 
bahwa pilihan untuk golput dalam proses politik, baik dalam konteks pilkada 
Jawa Timur yang harus sebagian diulangi maupun proses politik 2009, adalah 
sebuah keharaman yang nyata. Pandangan ini kemudian mendapat respons positif 
dari Hidayat Nur Wahid, yang juga turut menyetujui pandangan PBNU. Merespons 
pandangan Hidayat Nur Wahid, Amien Rais bahkan meminta Hidayat Nur Wahid 
beristigfar (Koran Tempo, 16 Desember 2008). 
Meminjam pandangan Yusuf Qardhawy dalam buku Fiqhul Aulawiyat (Fiqh Prioritas), 
dasar pengharaman atas sesuatu adalah karena sesuatu tersebut merusak, baik 
bagi agama, diri sendiri, masyarakat, maupun lingkungan, baik secara tidak 
langsung maupun langsung. Keharaman juga semakin kuat manakala sesuatu tersebut 
menjadi jalan bagi timbulnya kerusakan yang lebih besar. 
Berbincang secara fikih, tindakan memilih pada dasarnya merupakan hal yang 
mubah, yakni boleh dilakukan boleh juga tidak dilakukan. Bahkan Islam sangat 
menghormati pilihan yang paling asasi, "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; 
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa 
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS. 18:29), "tidak ada paksaan dalam 
beragama" (QS. 2: 256). 
Dalam sejarah Islam, Imam Malik justru menolak pilihan Khalifah Abbasiyyah yang 
hendak menjadikan kitab fikihnya yang berjudul Al-Muwwatha' sebagai kitab Fiqh 
Negara. Artinya, hukum tentang memilih hakikatnya adalah suatu kemubahan. Yang 
paling penting dalam konteks menentukan pilihan memilih atau tidak memilih 
adalah bahwa seseorang yang memilih atau tidak memilih sudah mengetahui secara 
persis keuntungan dan kerugiannya. 
Mengapa kemudian memilih seakan menjadi kewajiban sehingga, jika seseorang 
tidak memilih, menjadi berdosa? Sejatinya, ketika merujuk pada konstitusi 
Indonesia, konsep tentang memilih ataupun mengartikulasikan pendapat tidak 
ditempatkan sebagai kewajiban warga Negara kepada negara, melainkan lebih 
sebagai hak yang melekat pada setiap warga Negara yang harus dijamin dan 
dilindungi undang-undang. Interpretasi ini jelas teramat terang-benderang untuk 
menjelaskan bahwa memilih dalam pemilu adalah hak, tidak lebih dan tidak 
kurang. Artinya, sikap KPU dalam menyikapi fatwa keharaman memilih dalam pemilu 
menunjukkan KPU berjalan secara proporsional, dan tidak melakukan politik "gege 
mongso" atau melakukan tindakan di luar batas kewenangan dan kemampuannya. 
Efektivitas 
Mengkaji dari perspektif politik bahasa, istilah fatwa politik dan politik 
fatwa memiliki pertautan makna yang menarik untuk dikaji guna mengukur 
efektivitas fatwa politik. Fatwa politik dipahami sebagai serangkaian statemen 
agama yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik. Misalnya, dalam 
konteks Islam, Imam Bukhari menyatakan bahwa siyasah (politik) mencakup 
persoalan-persoalan pemerintahan dengan segala jalan untuk membangun dan 
memperbaikinya. Ilmuwan Muhammad Fuad Abdul Baqie memasukkan makna politik ke 
lima macam urusan, yakni soal-soal penggantian rugi atas pembunuhan, hukuman, 
peradilan, jihad, dan pemerintahan. Sedangkan kelompok Ikhwanus Shafa 
berpendapat cakupan politik meliputi As-Siyasah An-Nabawiyyah (Prophetical 
Politics), As-Siyasah Al-Mulukiyyah (Monarchical or Presidential Politics), 
As-Siyasah Al-Ammah (Public Politics), As-Siyasah Al-Khashshah (Private 
Politics), As-Siyasah Adz-Dzatiyyah (Personal Politics). 
Sedangkan politik fatwa merujuk pada penggunaan instrumen politik untuk 
meningkatkan efektivitas fatwa. Semisal dalam konteks fikih Islam, posisi hukum 
tentang keberadaan negara dalam konteks hukum Islam semula bersifat mubah, 
namun karena negara diyakini menjadi instrumen bagi terciptanya ketertiban dan 
kemaslahatan bagi masyarakat, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Bagaimana 
dengan efektivitas fatwa politik tentang pengharaman golput melalui politik 
fatwa? 
Melihat dari kontekstualisasi antara fatwa politik dan politik fatwa dalam hal 
hukum memilih dalam pelaksanaan pemilu, sejatinya "memilih" masuk dalam 
kategori As-Siyasah Al-Hhashshah (Private Politics), dan As-Siyasah 
Adz-Dzatiyyah (Personal Politics), suatu ruang di mana individu memiliki hak 
khusus untuk menentukan pilihan tanpa dicampur-tangani oleh pihak lain. 
Sehingga keterlibatan politik fatwa berupa "mobilisasi" penggunaan instrumen 
Negara, organisasi, maupun partai politik bisa jadi tidak efektif, berbiaya 
tinggi, dan memerlukan waktu yang cukup panjang agar pesan tersebut bisa 
diterima oleh publik. 
Apalagi ditambah dengan semakin berubahnya budaya politik masyarakat Indonesia 
yang mengalami transformasi ke arah budaya politik subyek, baik dari parokial 
ke subyek maupun partisipan ke subyek. Merujuk pendapat Gabrial Almond dan 
Verba, masyarakat dengan budaya politik subyek cenderung acuh tak acuh terhadap 
pilihan politik jika pemilihan politik tersebut tidak memiliki makna ekonomis, 
sosial, dan politik baginya. Kondisi akan menyebabkan pilihan politik 
masyarakat jauh lebih otonom dibandingkan dengan proses politik sebelum tahun 
2004. 
Partai politik yang terus "menggosok" isu haram atau wajibnya memilih dalam 
pemilu justru akan ketinggalan kereta politiknya, karena seperti melakukan 
upaya menegakkan benang basah di tengah musim hujan. Menegakkan benang kering 
saja sulit di waktu musim kemarau, apalagi benang basah di waktu musim hujan. 
Sesuatu yang justru memubazirkan sumber-sumber politik di tengah keterbatasan 
waktu yang tersedia, yang tidak lebih dari lima bulan lagi, di tengah para 
kompetitor partai politik lainnya yang justru lebih berfokus untuk semakin 
membuat derajat representasi partai politik menjadi semakin dekat dengan 
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 
Akan menjadi elegan jika partai politik dan organisasi sipil tidak terjebak 
dalam dialektika "hukum memilih" namun lebih melakukan dialektika proses 
pendidikan politik kepada masyarakat secara cerdas, terprogram, sistematis, 
dewasa, proporsional, sehingga masyarakat pada akhirnya mendapat pencerahan 
politik yang akan bisa membawa masyarakat dapat menentukan pilihan politiknya 
secara bijak dan cerdas. 
Pendidikan politik yang baik justru akan menyebabkan ruang politik di dalam 
masyarakat akan lebih banyak didominasi oleh diskursus politik yang moderat, 
guna memperbesar tumbuhnya budaya politik Indonesia menjadi lebih berorientasi 
ke budaya politik partisipan.
http://www.korantem po.com/ korantempo/koran/ 2009/01/09/ Opini/krn.20090109. 
153238.id. html



      

Kirim email ke