Membersihkan Dosa Kolektif G30S

Oleh: Franz Magnis-Suseno






Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang
menamakan diri Gerakan 30 September (sebutan ini akan saya pakai
selanjutnya) membunuh enam jenderal dan Kapten Pierre Tendean serta
membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi (di Yogyakarta
juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh Kolonel Katamso dan Letnan
Kolonel Sugiono).






Tak berlebihan, peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling
traumatik dalam sejarah Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu—yang
menjadi permulaan dari berakhirnya kepresidenan Soekarno—lepas suatu
dinamika yang bermuara dalam suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran,
penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa
yang akan termasuk salah satu kejahatan genosidal paling mengerikan
terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun,
peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian mengerikan itu
tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu kita
diperingatkan—dan saya sependapat—pembicaraan harus bijaksana dan hati-hati
kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus membicarakannya.
Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur.






Kita harus bertanya, bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap
bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan
harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari
sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif—Soekarno
menyebutnya gotong royong—yang perlu untuk menghadapi masa depan penuh
tantangan kalau kita tak berani menghadapi masa lampau.






Masalahnya bukan apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S)
itu atau tidak (mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak
meragukan keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain).
Masalahnya: mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja?
Mengapa sejuta rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno
menolak tindakan terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah
tak berdaya sama sekali.






Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota, mulai dari
Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik disisir.
Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung dieksekusi;
ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada malam hari,
dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut
angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang terlalu besar).
Padahal, pembunuhan-pembunuhan itu bukan pengeroyokan spontan oleh
masyarakat yang emosional, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan
persiapan administratif!






Lebih banyak lagi yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang).
Mereka dikategorikan ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke
pengadilan), golongan B (yang dianggap orang penting, tetapi karena tak
melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan
golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat
kembali ke kehidupan normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan
peraturan dan ”kebijakan” yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta
saudara/saudari kita ”terlibat” atau ”tidak bersih lingkungan”. Di
masyarakat, mereka dicap ”PKI” dan diasingkan dari pergaulan normal dengan
tanda ”ET” (eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak
yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi
mereka, yang pegawai negeri dipecat.






Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh tahun tanpa proses
pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan
ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa,
hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan saudara-saudari
kita itu hancur secara sosial.






Melepaskan kebohongan






Mari kita berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun
lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu kasar dan
luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila dan
cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945—yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru—bisa melakukan sesuatu
yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60
tahunterakhir? Bahwa pembunuhan ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965
oleh G30S harus ditindak tegas dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi,
bagaimana mungkin kita bersedia menerima omongan yang sampai sekarang masih
dapat didengar bahwa karena ”PKI membunuh jenderal-jenderal”, maka jutaan
saudara dan saudari sebangsa yang sedikit pun tak terlibat dalam pembunuhan
itu diburu seperti binatang, ditangkap, disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya
karena mereka secara politik berpihak pada PKI?






Maka, sebaiknya kita tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita
berani melepaskan kebohongan-kebohongan seperti disuntikkan ke dalam
kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah
waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly
wrong dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita
sendiri.






Peringatan 50 tahun G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani
menghadapi apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan
dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian
saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya bersama. Refleksi atas apa

yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan beberapa LSM dan kaum
intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya. Bukan untuk saling
menyalahkan, melainkan agar kita bersama-sama dapat membersihkan hati kita.
Kebanyakan mereka yang terlibat genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan.






Maka, kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur,
terbuka, dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong
oleh pemerintah. Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga
mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu
dilibatkan, universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh
masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S
mempersatukan dan bukan malah memecahbelahkan kita.






Pembubaran PKI






Agar kebersamaan itu mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui
bahwa seharusnya pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi
terhadap saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini
tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh
menuntutnya, tetapi tuntutan itu bersifat politis dan jangan
dicampuradukkan dengan tuntutan kemanusiaan dan etika bahwa para korban
pelanggaran berat HAM akhirnya mendapat keadilan.






Justru di luar negeri sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua
tuntutan itu. Seakan-akan pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak
asasi para korban pembersihan pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan
terhadap PKI dan perannya menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta
bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang
dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI
tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat
mendukung pembubaran PKI.






Pertimbangan ideologis: PKI secara resmi mendasarkan diri atas
marxisme-leninisme (PKI tak pernah menganggap diri semacam ”komunis ala
Indonesia”, tetapi komunis tulen, jadi memang marxis-leninis). Namun,
marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan ateisme, yang oleh PKI memang
tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum
komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno bahwa PKI dalam
kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan bersedia menjadi
hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia tak sesuai
ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya
komunislah yang berkuasa.






Secara politis, tahun 1965, bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua.
Adalah terutama PKI yang dengan bahasanya yang keras-konfrontatif
memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner dan
musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai ”tujuh
setan desa” dan ”kafir” yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus
difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam
habis-habisan (antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa
yang kasar sekali), dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang
Presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI.






Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada
akhir 1964, sebanyak 20 koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu
itu, mereka yang tak termasuk kubu ”progresif-revolusioner” itu diliputi
ketakutan. Orang ingat akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat

dibicarakan.






Saya berpendapat bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965
diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatifsehingga tidak
mungkin ditampunglagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia
dalam budaya Indonesia tradisional. Itu yang lalu terungkap sebagai ”mereka
atau kami” (kekhawatiran bahwa komunis akan kembali berkuasa masih terasa
sampai 1966 dan saya masih ingat betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto
pada 12 Maret 1966 kami rasakan seperti ada beban berat diambil dari hati
kami, suatu perasaan yang sekarang pun masih ada pada saya). Maka dari itu,
kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi
mereka yang dicap ”terlibat” sesudah G30S, pengakuan itu tidak berarti
bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya, bahwa PKI merupakan musuh
yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat
yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh dan dihancurkan.






Dari kita betul-betul dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi
pasca G30S sama sekali keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para
korban perlu diakui sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka
sebagai pengkhianat atau simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan
ketidakadilan besar. Kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka perlu diakui
kembali sepenuhnya. Itu langkah paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan
korban sebagai korban hanya jujur kalau mereka, dalam batas-batas
kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan suatu ganti rugi (dan kepada
mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri perlu ditawarkan
kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan birokratis). Sudah
sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita
boleh minta maaf. []






KOMPAS, 29 September 2015


Franz Magnis-Suseno | Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke