Bandung (ANTARA News) - Indonesia sekarang ini telah mampu memproduksi
pesawat terbang tanpa awak dan produk tersebut diminati negara-negara di
Timur Tengah maupun Negara di Asia Tenggara.

"Negara-negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan negara Asia
Tenggara, seperti Thailand telah menyatakan minatnya," kata Direktur
Pemasaran PT Robo Aero Indonesia, Fachri Hidajat, di Pabrik Pesawat
Terbang Tanpa Awak di kawasan Cagak, Kabupaten Subang, Jabar, Sabtu.

Ia mengemukakan permintaan untuk ekspor tersebut belum dapat dipenuhi,
pasalnya pihaknya saat ini masih memfokuskan diri untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri, seperti TNI, Departemen Kehutanan, pengusaha
perkebunan dan lainnya.

Fachri mengatakan pesawat terbang tanpa awak tersebut akan dimanfaatkan
untuk memantau hutan maupun melakukan pemetaan.

"Kalau untuk produksi, kami siap memproduksi berapa pun banyak
permintaan," kata Fachri seraya mengatakan saat ini Robo Aero Indonesia
mampu memproduksi hingga 30 unit pesawat terbang tanpa awak selama satu
bulan.

Ia menyebutkan, saat ini PT Robo Aero Indonesia telah mampu memproduksi
4 jenis prototipe pesawat terbang tanpa awak yaitu Walet, Camar, Elang
dan Rajawali.

Menurut dia, Walet dan Elang merupakan jenis pesawat terbang tanpa awak
kategori pendek dengan kemampuan terbang antara 5 km hingga 15 km,
sementara untuk Elang dan Rajawali adalah jenis menengah yang memiliki
daya jelajah antara 50 km hingga 500 km.

Fachri menyebutkan harga pesawat terbang tanpa awak produksinya masih
lebih murah dibandingkan produk serupa dari luar negeri, bahkan harganya
lebih murah hingga 50 persen dari harga produk serupa yang dibuat di
luar negeri.

Pesawat tanpa awak tersebut dibuat berdasarkan riset yang dilakukan oleh
PT Robo Aero Technology dan PT Robo Aero Indonesia sebagai perusahaan
yang memproduksi, kedua perusahaan tersebut berinduk ke PT Perkakas
Rekadaya Nusantara.

"Tahun depan kami akan coba tambah produksi menjadi 8 prototipe lagi,"
ujar Direktur Utama PT Robo Aero Technology, Mulyo Widodo.

Ia menjelaskan, produksi pesawat terbang tanpa awak ini dilakukan
setelah melakukan riset selama 5 tahun yang melibatkan 12 pakar dari
ITB.

Mulyo mengemukakan, pesawat tanpa awak itu berbasis autonomous (bekerja
secara otomatis tanpa digerakan oleh operator-red) karena menggunakan
sistem flight control dan sistem navigasi.

Saat ini sensor utama dari sistem flight control dengan menggunakan
sensor Inertial Measurements Unit (IMU), sementara sistem navigasinya
juga menggunakan sensor IMU yang disebut sebagai sistem navigasi
Inertial Navigation System (INS), katanya.

"Variasi jenis dan penggunaan IMU serta INS sangat berpengaruh terhadap
performance pesawat tanpa awak tersebut, sehingga dapat menekan
kesalahan geser kumulatif," katanya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Perkakas Rekadaya Nusantara, Djoni
Rosadi, mengatakan pihaknya telah diinvestasikan dana sebesar Rp3 miliar
hingga Rp4 miliar untuk memproduksi pesawat terbang tanpa awak ini
karena mempunyai prospek yang bagus.

"Setidaknya untuk pasar di kawasan Asia Tenggara, mengingat sampai saat
ini belum ada negara lain di kawasan Asia Tenggara mampu memproduksi
pesawat terbang tanpa awak secara mandiri," demikian Djoni. (*)

Kirim email ke