Umar bin Abdul Aziz


Sejarah mencatat, pernah lahir seorang pemimpin [khalifah] yang
berhasil membawa rakyat dan negerinya mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran. Saking sejahteranya, tak ada seorang pun dari rakyatnya
yang bersedia menerima zakat, sehingga perlu diumumkan kepada semua
penduduk negeri, bahwa siapa saja yang membutuhkan dapat
menggunakannya, bahkan untuk biaya pernikahan sekalipun. Dialah Umar
bin Abdul Aziz yang juga dikenal dengan sebutan Umar II.

Umar lahir tahun 63 H [682 M] di Halwan, sebuah desa di Mesir.
Ayahnya, Abdul-Aziz bin Marwan adalah gubernur Mesir, adik Khalifah
Abdul-Malik. Ibunya, Ummu Asim adalah cicit Khalifah Umar bin
Khaththab. Semasa kecil, ia tinggal di Madinah dan dibesarkan di bawah
bimbingan Ibnu Umar, salah seorang perawi hadits terbanyak. Setelah
ayahnya meninggal, ia dipanggil ke Damaskus oleh pamannya, Khalifah
Abdul-Malik, dan dinikahkan dengan putrinya, Fatimah.

Kemudian, pada 706 M, Umar ditunjuk oleh Khalifah Al-Walid I menjadi
Gubernur Madinah. Di masa menjadi gubernur Madinah inilah tersiar
kisah yang amat mahsyur. Saat ia berada di ruang kerjanya, istrinya
meminta waktu untuk membicarakan masalah di luar urusan pemerintahan.
Tentu saja, istrinya dipersilakan masuk, tetapi ia meminta istrinya
untuk mengganti lampu yang digunakannya dengan lampu miliknya sendiri.
"Kita tak boleh menggunakan lampu yang dibiayai dari baitul mal untuk
kepentingan pribadi kita," katanya kepada istrinya.

Setelah Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik [Al-Walid II] wafat, ia
ditunjuk sebagai khalifah. Meski Umar enggan menerimanya, semua rakyat
sepakat dan berbai'at kepadanya. Pada hari kedua setelah dilantik dan
setelah menyampaikan khotbah umum, ia pulang sambil menangis dan
ditegur istrinya, "Apa yang engkau tangiskan?" Ia menjawab, "Wahai
istriku, aku sedang diuji dengan jabatan ini. Aku teringat pada
orang-orang yang miskin, janda, anak-anak, yang rezekinya sedikit. Aku
tahu, di akhirat kelak mereka akan menuntutku, dan aku takut tak bisa
menjawab tuntutan mereka, karena yang menjadi pembelanya adalah
Rasulullah Saw." Mendengar jawaban itu, istrinya pun ikut menangis.
Sebuah hikayat yang patut diteladani para pemimpin dan kita semua. «
[imam]


Kirim email ke