Setoran Rp 16 Juta Sepanjang Langsa–Banda Aceh Reporter: Arianti - Banda Aceh, 2005-05-17 21:28:31
Tumpukan papan, balok dan rèng berbagai ukuran memenuhi halaman sebuah panglong kayu di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh. Papan-papan itu diolah dari kayu mahal dan bermutu tinggi seperti Meranti, Damar dan Sembarang. Di sebuah sudut, di atas tumpukan kayu, sejumlah pria sedang melepas lelah. Saat itu, memang jam istirahat siang. Mereka sedang berembuk menentukan siapa yang bertugas membeli makan siang. Terletak di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh, panglong kayu itu tak terlalu besar. Berukuran sekitar 10x8 meter panglong itu memanjang ke belakang, tersambung dengan rumah pemiliknya. Setelah digulung ombak tinggi 26 Desember lalu, Aceh memang butuh banyak kayu untuk membangun rumah, barak-barak pengungsian dan fasilitas umum. Kayu-kayu didatangkan dari daerah lain, bahkan dari luar Aceh. Menurut Yusrizal, kayu-kayu hasil olahan miliknya diangkut menggunakan truk dari Langsa, Aceh Timur. Setiap minggu, ia bisa menempuh dua kali perjalanan Aceh Timur–Banda Aceh. “Saya hanya menjual kembali kayu-kayu yang sudah diolah di sawmill (tempat kayu gelondongan diproses menjadi menjadi berbagai ukuran),“ ujar Yusrizal kepada acehkita, Selasa (17/5). Sampai di Banda Aceh, kayu-kayu itu dijual kembali. Sasarannya, kontraktor dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas membangun rumah dan barak untuk para pengungsi. “Banyak LSM yang mengambil kayu dari sini. Kemarin ada datang dari IRS. Selebihnya saya tak ingat lagi,” ujarnya. Setelah bencana tsunami, Yusrizal menjual kayu olahan Rp 2 juta per meter kubik. Sebelumnya, hanya Rp 1,4 juta. Tingginya kebutuhan kayu membuat Yusrizal (50), pemilik panglong, menerima banyak pesanan kayu dari lembaga swadaya masyarakat asing dan lokal. Namun, tingginya pesanan tak lantas membuatnya meraup keuntungan besar. Maklum, pria asal Bireuen itu harus merogoh kocek lebih dalam saat proses pengangkutan. Sepanjang perjalanan dari Aceh Timur ke Banda Aceh, Yusrizal harus menyetor untuk aparat keamanan di pos-pos yang bertebaran sepanjang jalan. Sekali jalan, Yusrizal mengaku mengeluarkan uang mencapai Rp 15 juta sampai Rp 16 juta. Itu belum termasuk bila truknya mengalami bocor ban atau kerusakan mesin di tengah jalan. Uang sebanyak itu, kata dia, dibagikan kepada pos-pos polisi yang dilalui selama perjalanan. Yusrizal mencatat, setidaknya ada 70 pos yang harus disetor dari dari Langsa ke Banda Aceh. Setiap pos, kata dia, paling sedikit Rp 200 ribu pasti melayang. Bila tidak diberi? Yusrizal tak berani berspekulasi. Namun, seorang supir yang bekerja di panglong itu punya pengalaman pahit saat menolak memberi upeti. Si supir “dihadiahkan” bogem mentah oleh polisi sampai babak belur. Cara lain, polisi menahan truk dan meminta uang tebusan. “Mereka cari alasan biar bisa dapat uang. Mereka tahu sekali, kami butuh cepat sampai ke Banda Aceh. Jadi, daripada susah, kami kasih aja,” ujar seorang pria lain. “Kita ngobrol begini ibarat buka celana Ayah sendiri. Tapi apa boleh buat, si Ayah memang sudah begitu…,” Yusrizal menimpali. Selain itu, polisi kerap berdalih Yusrizal tak mengantongi izin untuk menjalankan bisnis kayu. Padahal, ia mengaku mengeluarkan uang Rp 7 juta untuk mengurus surat izin. “Saya sebelumnya sudah urus SAKO (Surat Angkut Kayu Olahan) di Dinas Kehutanan, satu lembar saya keluar uang 7 Juta. Dan kayu ini bisa dibawa ke mana-mana selama masih di Aceh. Tapi nyatanya, tetap saja di jalan saya dimintai uang. Satu SAKO mereka minta Rp 3 juta,” ujar Yusrizal jengkel. Yusrizal juga kerap harus mengeluarkan biaya ekstra, jika kayu menyimpan kayu di tempat yang berbeda dengan yang tercantum di SAKO. “Karena alamatnya beda, maka saya harus bayar Rp 4 juta,” ujar Yusrizal. “Kok alamatnya bisa beda?” tanya acehkita. “Kadang panglong kami ini sudah penuh, jadi kami simpan di tempat lain. Panglong yang saya bawa kayu itu punya saya juga,” ujar Yusrizal. Tiba di panglong, bukan berarti masalah pungutan liar selesai. Yusrizal mengaku, hampir setiap malam panglong miliknya didatangi anggota polisi. Tujuannya? Ya itu tadi, meminta uang. “Kalau mau lihat, datang saja ke sini malam-malam, ada saja dari mereka yang datang, tapi mereka tidak minta banyak, paling hanya 20 ribu saja,”ujar Yusrizal. “Anda diminta uang terus mungkin karena surat-suratnya kurang lengkap?” “Apa yang kurang lengkap, kami sudah urus Daftar Hasil Hutan (DHH) dilampirkan di halaman pertama di Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),” gugat Yusrizal. “Mungkin tempat ini tak ada izinnya?” “Kami ini bukan olah kayu, kami hanya jual,”jawab Yusrizal sengit. “Izin tempat usaha memang sedang dalam pengurusan. Izin itu hanya legalitas, yang benarnya adalah uang,”ujar seorang pekerja lainnya. Yusrizal menambahkan, seandainya dalam perjalanan tidak dipungli, maka harga kayu akan semakin murah sehingga otomatis permintaan akan semakin meningkat. Artinya, pembangunan rumah dan barak untuk para pengungsi dapat segera dilakukan. “Kayu banyak, tapi harganya mahal. Dan itu karena banyaknya pungutan di jalan-jalan. Seandainya tidak dipungli, saya rasa harga kayu disini bisa turun hingga setengahnya,”ujar Yusrizal. _____ <http://promos.hotbar.com/promos/promodll.dll?RunPromo&El=&SG=&RAND=60781&pa rtner=fastutility> Block Spam Emails - Click here! [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Would you Help a Child in need? It is easier than you think. Click Here to meet a Child you can help. http://us.click.yahoo.com/sTR6_D/I_qJAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/