Jumat, 7 Februari

Hari ini adalah hari Jumat kami yang pertama di Tanah Suci. Khawatir 
tidak mendapat tempat di dalam Masjid, jam 10.30 saya dan teman-teman 
sudah berangkat ke Masjidil Haram. Kami berangkat dengan menggunakan 
“angkot”, yaitu kenderaan pribadi penduduk setempat yang “diobyekkan” 
selama musim haji. Dari depan pemondokan kami ke Masjidil Haram mereka 
menarik pembayaran perorang kadang-kadang satu riyal, kadang-kadang dua 
riyal. Tetapi yang lebih sering satu riyal. Nilai tukar satu riyal 
berkisar antara Rp 2.300 dan Rp 2.500.

Setiba di Masjid, saya yang duduk di dekat Mas Andi merasa gelisah, 
rasanya kok lama sekali menunggu waktu zuhur yang di Mekah yang ketika 
itu jatuh pada pukul 12.30. Duduk bersila salah, duduk bersimpuh salah. 
Saya coba membaca Al Qur’an, yang mudah diperoleh di dalam Masjid. 
Tetapi baru beberapa ayat, sudah saya kembalikan lagi ke raknya. Saya 
menceritakan kondisi saya tersebut pada Mas Andi. Saya katakana 
kepadanya bahwa ini mungkin pelajaran bagi saya yang tidak pernah 
beriktikaf di Masjid sebelumnya. “Bagaimana di Masjid Nabawi nanti?”, 
saya membatin. Tetapi kemudian terpikir oleh saya, mungkin ini pelajaran 
bagi saya karena kebiasaan berangkat Jumatan dari kantor yang selalu 
“pas-pasan”, yatu tiba di Masjid menjelang khatib naik mimbar.

Begitu keluar dari pintu Masjid setelah selesai shalat, saya terkejut 
melihat lautan manusia memenuhi halaman dan mulut-mulut jalan di sekitar 
Masjid beringsut meninggalkan Masjid. “Bagaimana mau lewat, nich”? saya 
membatin. Kami lalu berbaur dan berjalan beringsut mengikuti arus 
manusia tersebut.

Temperatur di Saudi sepanjang musim haji 1423 H tidak terlalu tinggi, 
malah masih lebih rendah dari pada temperatur rata-rata di Jakarta saat 
kami tinggalkan. Tetapi terik matahari di langit yang tidak berawan di 
kaan berpadang pasir yang berkelembaban sangat rendah, membuat saya 
cepat merasa lelah. Pak Khaidir yang tidak lama bergabung dengan kami, 
secara bergantian dengan Andi tiap sebentar menoleh kepada saya, menjaga 
saya jangan sampai tertinggal. Entah kenapa, ketika itu saya sama sekali 
tidak ingat untuk meminum air Zam-Zam dari termos yang tergantung di 
leher saya.

Setelah berjalan dengan merayap hampir setengah kilometer, kepadatan 
masa agak berkurang, dan Mas Andi mengajak berhenti sebentar untuk 
membeli dan mentraktir kami jus buah segar di sebuah depot di pinggir 
jalan. Setelah tidak begitu lama berjalan, saya mendengar seorang PKL 
menawarkan dagangannya dalam Bahasa Indonesia: “hati onta, hati onta, 
obat asma lima riyal”.

Saya yang penderita Asma sejak kecil karena keturunan membatin: “Ah, 
saya tidak butuh!”.

Pikiran yang “bernuansa” takabur itu sepertinya tidak berlebihan. 
Serangan asma agak jarang saya derita sejak satu setengah tahun terakhir 
ini saya secara teratur mengikuti latihan senam pernapasan berbasis 
zikir Tetada (Terapi Tenaga Dalam) Kalimasada. Di samping itu kami juga 
membawa cadangan obat-obaran Berodual inhaler, yang biasanya sudah dapat 
menghentikan serangan asma dengan cepat begitu tanda-tanda penyakit akan 
datang terasa. Kalau ini lewat, juga masih ada penangkal lain, kapsul 
obat racikan dari dokter keluarga kami yang diresepkannya menjelang 
keberangkatan kami..

Karena padatnya massa, jarak sekitar satu kilometer dari Masjidil Haram 
ke pemondokan kami tempuh hampir satu jam.

Karena merasa masih letih, saya tidak ikut teman-teman sekamar yang 
petangnya berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan shalat Magrib dan 
diteruskan dengan Isya.

Sabtu, 8 Februari.

Hari ini satu hari menjelang hari Tarwiyah, saat kami berihram untuk 
haji dan berangkat ke Arafah untuk berwukuf keesokan harinya. Berwukuf 
di Arafah adalah puncak peribadatan haji. sesuai dengan sabda Rasulullah 
SAW: “Al-hajju Arafah” (Haji itu di Arafah). Arafah di saat-saat 
berwukuf adalah salah satu tempat, di mana Allah Yang Maha Pengasih, 
Penyayang dan Pengampun, membuka hijab, tempat di mana do’a lebih 
dikabulkan, munajah lebih didengar dan pengampunan lebih disegerakan. 
Arafah adalah saat-saat yang paling ditunggu oleh para hamba yang datang 
dari tempat yang jauh, ikhlas karena Allah semata, dan melafazkan 
talbiyah, tidak jarang sembari bercucuran air mata: “Labbaykallah humma 
labbayk, labbaykalasyarikalaka labbayk. Innal hamda, wani’mata, laka 
walmulk. Lasyarikalak (Aku datang Ya Allah, memenuhi panggilanMu. Aku 
datang Ya Allah, tiada yang setara denganMu. Segala puji dan nikmat 
hanyalah milikMu, segala kekuasaan jua milikmu. Tiada yang setara denganMu)

Pagi itu kami mendapat pemberitahuan dari Ketua Kafilah, bahwa rombongan 
kami akan berangkat ke Arafah besok petang sehabis magrib.

Sejak pagi saya merasa kurang enak badan, sehingga tidak berani mandi. 
Menjelang tengah hari, tanda-tanda asma saya akan kambuh mulai terasa. 
Saya mendatangi Kur di kamarnya meminta Berodual inhaler yang baru 
dibelinya khusus untuk persediaan di Tanah Suci sebulan sebelum kami 
berangakat. Namun ketika saya gunakan, inhaler itu tidak berfungsi, 
tidak ada gas yang keluar ketika botolnya ditekan. Setelah saya periksa, 
ternyata botolnya bocor dan isinya menggumpal di luar. Saya sebenarnya 
punya satu lagi yang biasa saya taruh di tas kantor. Tetapi ketika 
hendak saya masukan ke saku sebelum berangkat dari rumah, dilarang oleh 
Kur, karena sudah ada yang baru dibelinya itu. Lalu saya menelan obat 
racikan yang dari dokter. Kemudian kami berdua keluar mencoba mencari 
Berodual di apotik-apotik yang ada di sekitar pemondokan, tetapi tidak 
ada yang menjual. Tidak seperti biasa obat racikan yang dari dokter kami 
sepertinya tidak bekerja. Napas saya semakin sesak, karena selain 
berkontraksi, bronkus saya sudah mulai mengandung lendir. Dari Pak 
Erman, ketua regu kami, saya mendapat beberapa butir Bricasma tablet.

Sehabis makan siang saya mendatangi dokter Ifa, dokter kloter kami di 
tempat prakteknya yang kebetulan satu lantai dengan kami. dokter Ifa 
memberikan antibiotika dan obat penurun panas, karena suhu badan saya 
mulai naik dan meminta saya untuk terus meminum obat racikan dari dokter 
kami yang kami bawa dari rumah.

Makan antibiotika dan obat penurun panas agak menurunkan suhu badan 
saya, tetapi tidak mengurangi sesak napas saya. Saya mulai batuk-batuk, 
dan makin lama setiap batuk makin terasa menyakitkan. Kur mulai cemas 
melihat kondisi saya, sementara saya sendiri tetap tenang dan lebih 
banyak berzikir dan memohon kesembuhan kepada Allah.

Malam harinya napas saya semakin sesak dan batuk saya semakin 
menjadi-jadi, kadang-kadang disertai lendir, tetapi tidak banyak dan 
masih terlalu lengket. Teman-tema sekamar memperlihatkan simpati dan 
keprihatinan mereka terhadap kondisi saya.

Minggu, 9 Februari.

Waktu keberangkatan ke Arafah hanya sekitar 12 jam lagi. Agar tidak 
sering bolak balik ke kamar saya dan atas persetujuan teman-temannya 
sekamar, Kur membawa saya ke kamarnya dan menyuruh tidur di tempat 
tidurnya. Walaupun terus makan obat, kondisi saya semakin menurun, dan 
menjelang tengah hari, kondisi saya hampir menyamai ketika saya 
mengalami serangan terburuk dalam tahun 1996, di mana saya terpaksa di 
rawat di rumah sakit, memperoleh bantuan pernapasan dengan oksigen serta 
diinfus dua hari dua malam untuk mengeluarkan lendir kental dari 
paru-paru saya.

Kur mendatangi dokter Ifa, tetapi tidak ditempat karena sedang keluar 
pemondokan untuk suatu keperluan.

Waktu keberangkatan ke Arafah hanya sekitar 6 jam lagi. Saya masih 
terbaring sakit. Akankah saya berwukuf di Arafah di atas mobil ambulans?

Hati kecil saya, berkata tidak. Sejak menderita serangan kemarin saya 
sudah merasa bahwa penyakit saya ini bukan sesuatu yang “kebetulan”. 
Sebelum berangkat ke Tanah Suci, saya sudah mendengar bahwa perjalanan 
ibadah haji ini banyak cobaannya, antara lain sakit. Ada yang sakit 
menjelang berangkat, selama di tanah suci, atau setelah kembali ke tanah 
air.

Sebelum ini di rumah, kalau menderita sakit saya jarang mengeluh. 
Lebih-lebih sekarang, di Tanah Suci. Saya tetap optimis bahwa saya akan 
bisa wukuf di Arafah tanpa diusung di atas mobil ambulans. Dalam hati 
saya berkata, Allah SWT sudah mengizinkan dan memberi rezeki kepada saya 
untuk berangkat ke Tanah Suci. Pasti Ia akan mengizinkan saya juga untuk 
berwukuf di Arafah.

Jarum jam terus berputar, sementara kondisi saya terus menurun

Waktu keberangkatan ke Arafah tinggal hanya sekitar 5 jam lagi……………







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke