... Ringkasan Buku ...
http://buku-islam.blogspot.com



Judul asli      : 52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh fis Shalat was Shiyam wal
Hajj
Penulis         : Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Edisi Indonesia : 52 Persoalan Sekitar Hukum Haid
Penerjemah      : Muhammad Yusuf Harun
Penerbit        : Darul Haq - Jakarta
Cetakan         : VII, Maret 2006
Halaman         : vii + 72



Buku ini cukup ringkas, memuat persoalan persoalan darah kebiasaan wanita.
Yang dibagi dalam tiga pembahasan, yaitu:
- Hukum Hukum Haid dalam Shalat dan Puasa
- Hukum Hukum Kesucian dalam Shalat
- Hukum Hukum Haid dalam Haji dan Umrah

Kesemuanya disusun dalam bentuk soal jawab.
Mengingat ringkasnya pembahasan, saya kira dapat selesai dibaca dalam sekali
duduk saja.

Berikut saya kutipkan sebagian yang ada dari buku tersebut sebagai gambaran
isi bukunya. Dan saya kira juga bermanfaat buat kaum muslimin yang membaca
ringkasan buku ini. Pertanyaan dan jawaban tidak saya ringkas tetapi saya
kutip seperti apa yang ada di buku tersebut.



[2]
Soal:
Bagi wanita nifas, bila telah suci sebelum empat puluh hari, apakah wajib
baginya berpuasa dan shalat?

Jawab:
Ya, bilamana wanita nifas telah suci sebelum 40 hari maka wajib baginya
berpuasa bila pada bulan Ramadhan, dan wajib shalat, serta boleh bagi suami
untuk menggaulinya karena dia dalam keadaan suci, tidak ada lagi sesuatu
yang mencegah dari kewajiban berpuasa maupun kewajiban shalat dan boleh
digauli.


[4]
Soal:
Seorang wantia yang haid atau nifas bila suci sebelum fajar, tetapi belum
mandi kecuali setelah fajar, apakah puasanya sah atau tidak?

Jawab:
Ya, sah puasa wanita haid yang suci sebelum fajar dan belum mandi kecuali
setelah terbit fajar. Juga wanita nifas, karena pada saat itu dia termasuk
wanita yang berhak ikut berpuasa, keadaannya serupa dengan orang yang wajib
mandi jinabat, tatkala fajar terbit dia masih dalam keadaan junub dan belum
mandi, maka puasanya adalah sah. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
Ta'ala:

"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan
Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar." (Al Baqarah: 187).

Jika Allah mengizinkan untuk menggaulinya hingga nyata fajar, berarti mandi
tidak terjadi kecuali setelah terbit fajar. Dan berdasarkan hadits Aisyah
radhiyallahu'anha:

"Bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam suatu pagi pernah dalam keadaan
junub karena menggauli istrinya, sedangkan beliau pun berpuasa."

Artinya: bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam tidak mandi junub kecuali
setelah terbit fajar.


[5]
Soal:
Apabila seorang wanita merasakan adanya darah tapi belum keluar sebelum
terbenam matahari, atau merasakan sakitnya datang bulan, apakah sah puasanya
pada hari itu atau wajib melakukan qadha?

Jawab:
Apabila seorang wanita yang masih dalam keadaan suci merasakan tanda tanda
akan datangnya haid, sedang ia dalam keadaan puasa, tetapi belum keluar
kecuali setelah terbenam matahari; atau merasakan sakitnya haid tetapi belum
keluar kecuali setelah terbenam matahari, maka sah puasanya pada hari itu
dan tidak wajib mengulangi jika puasa fardhu, atau tidak sia sia pahalanya
jika puasa sunat.


[15]
Soal:
Apakah wanita haid harus mengganti pakaiannya setelah suci, padahal
pakaiannya itu tidak terkena darah atau barang najis?

Jawab:
Tidak harus baginya hal tersebut karena haid tidak menjadikan badan najis,
tetapi darah haid menjadikan najis bagian yang terkenanya saja. Karena itu
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam menyuruh wanita yang pakaiannya terkena
darah haid agar mencuci darah itu dan shalat dengan pakaiannya tadi.


[16]
Soal:
Ada wanita yang ketika datang bulan Ramadhan berikutnya belum menyelesaikan
tanggungan puasa dari bulan Ramadhan yang lalu. Apa yang mesti ia lakukan?

Jawab:
Wajib baginya bertaubat kepada Allah dari perbuatan ini. Karena tidak boleh
bagi siapa saja yang mempunyai tanggungan qadha' puasa Ramadhan,
mengerjakannya nanti sampai datang bulan Ramadhan berikutnya tanpa ada
halangan. Berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu'anha:

"Pernah aku mempunyai tanggungan puasa Ramadhan aku tidak bisa menggantinya
kecuali pada bulan Sya'ban."

Ini menunjukkan, tanggungan puasa tidak boleh dikerjakan nanti setelah bulan
Ramadhan yang kedua. Maka, hendaklah ia bertaubat kepada Allah dari
perbuatannya dan mengganti puasa yang ditinggalkannya sesudah Ramadhan yang
kedua.


[17]
Soal:
Jika seorang wanita mengalami haid pada pk. 01.00 siang umpamanya dan dia
belum mengerjakan shalat Zhuhur, apakah dia harus mengqadha' shalat Zhuhur
ini setelah suci?

Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Ada yang
berpendapat, dia tidak harus mengqadha' shalat itu karena dia tidak
meremehkan, juga tidak berdosa karena boleh baginya mengerjakan shalat
sampai pada akhir waktunya. Ada lagi pendapat yang mengatakan, dia harus
mengqadha' shalat itu, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa
sallam:

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan
shalat itu."

Dan sikap yang hati hati ialah mengqadha' shalat itu, karena hanya satu
shalat saja dan tidak ada kesulitan dalam mengqadha'nya.


[19]
Soal:
Apa pendapat Anda tentang penggunaan pil pencegah haid agar dapat berpuasa
bersama orang lain?

Jawab:
Saya sarankan untuk menghindari penggunaan pil semacam ini, karena efek
sampingnya yang besar. Ini saya ketahui dari para dokter. Perlu dikatakan
pada kaum wanita, hal ini adalah takdir Allah untuk para puteri Adam, maka
terimalah dengan hati rela apa yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wa
Ta'ala dan berpuasalah bilamana tidak ada halangan. Jika ada halangan, maka
janganlah berpuasa sebagai penerimaan apa yang ditakdirkan Allah.


[25]
Soal:
Seorang wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat, apakah wajib
baginya mengqadha' shalat itu jika telah suci, demikian pula jika telah suci
sebelum habis waktu shalat?

Jawab:
Pertama. Jika wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat wajib
baginya, jika telah suci, mengqadha' shalat pada waktu dia haid bila dia
belum mengerjakannya sebelum datangnya haid. Berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan
shalat itu."

Jadi, seandainya seorang wanita bisa mengerjakannya sekadar satu rakaat dari
waktu shalat kemudian dia kedatangan haid sebelum mengerjakannya, maka jika
dia suci nanti, wajib mengqadha'nya.

Kedua, Jika wanita suci dari haid sebelum habis waktu shalat, wajib baginya
mengqadha' shalat tersebut. Seandainya dia suci pada saat sekadar satu
rakaat sebelum terbit matahari maka wajib baginya mengqadha' shalat subuh.
Atau suci sebelum terbenam matahari sekadar satu rakaat, maka wajib baginya
mengqadha' shalat Ashar. Atau suci sebelum tengah malam sekadar satu rakaat,
wajib baginya mengqadha' shalat Isya'. Namun kalau suci setelah tengah
malam, tidak wajib baginya shalat Isya', tetapi dia berkewajiban shalat
subuh bila telah masuk waktunya.

Firman Allah:
"Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang orang yang beriman." (An Nisa': 103).

Berarti tidak boleh bagi seseorang mengerjakan shalat di luar waktunya atau
memulai shalat sebelum masuk waktunya.


[31]
Soal:
Kapan akhir waktu shalat Isya'? Dan bagaimana dapat mengetahuinya?

Jawab:
Akhir waktu shalat Isya' yaitu pertengahan malam. Ini diketahui dengan
membagi antara terbenam matahari dengan terbit fajar menjadi dua. Paruh
pertama merupakan habisnya waktu Isya' dan paruh malam yang kedua bukan
waktunya, tetapi merupakan batas antara Isya' dan Shubuh.


[41]
Soal:
Ada wanita yang datang mengerjakan umrah. Setelah tiba di Mekah dia
mendapatkan haid padahal mahramnya harus segera berangkat dan tidak ada
seorang pun yang dapat menemaninya di Mekah. Apa hukumnya?

Jawab:
Wanita itu berangkat bersama mahramnya dan tetap berada dalam keadaan ihram,
kemudian kembali lagi nanti bila telah suci. Ini jika berada di Saudi
Arabia, karena bisa dengan mudah kembali dan tidak merepotkan, juga tidak
perlu adanya paspor maupun hal hal lainnya. Akan tetapi, jika berasal dari
luar Saudi Arabia dan susah untuk kembali lagi, maka hendaklah dia menahan
atau membalut darahnya lalu mengerjakan thawaf, sa'i dan tahallul serta
menyelesaikan umrahnya ini pada hari keberangkatannya, karena thawafnya
ketika itu menjadi darurat, sedangkan sesuatu yang darurat membolehkan apa
yang terlarang.




[PERSONAL VIEW]
---------------
Buku ini disajikan dalam susunan yang berbeda dengan kebanyakan buku yang
ada, yaitu dalam bentuk soal jawab. Dengan susunan seperti itu memudahkan
pembaca untuk memahami permasalahan hukum hukum seputar haid. Karena
ringkasnya buku ini, insya Allah bisa menjadi titik awal untuk mengetahui
tentang masalah hukum hukum seputar haid.

Saya kira permasalahan haid perlu dipahami oleh para akhwat yang memang
mengalaminya. Dari mulai menentukan awal dimulainya haid sampai berakhirnya
haid. Dan hal hal yang menyertainya. Karena ini berkaitan dengan ibadah
mereka kepada Allah Jalla wa 'Ala.
Dan tidak tertutup juga buat para ikhwan untuk mempelajari masalah haid.
Karena istri istri mereka adalah seorang wanita, dan mungkin Allah
menghendaki mereka mempunyai anak anak perempuan. Bila para ikhwan tidak
mengetahui permasalahan ini, maka bagaimana bisa memberikan jawaban dan
mengarahkan istri istri dan anak anak perempuan mereka? Sedangkan mereka
adalah pemimpin bagi kaum wanita?





Ringkasan buku ini dibuat oleh Chandraleka
di Depok, 03 Januari 2007



Chandraleka
Independent IT Writer
Visit http://come.to/digitalworks
a source for computer hobbyist



Kirim email ke