[media-dakwah] Aku Bahagia dalam Islam

2007-02-26 Terurut Topik team sukses
*Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam hidupku ternyata juga
merupakan
suatu hal yang luar biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat ini,
kulakukan
setahun lalu di depan dua orang saksi. Aku bersaksi tidak ada Ilah selain
Allah dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.Ucapku, dan mulai saat itu,
aku
menjadi seorang Muslim.*

Selengkapnya klik : http://www.seputarkita.com/lengkap.php?aid=53

Terimakasih.

www.seputarkita.com


[Non-text portions of this message have been removed]



[media-dakwah] Aku Bahagia dalam Islam

2007-02-22 Terurut Topik suhana hana



 Artikel bersumber dari:
 

www.dakwatuna.com/index.php/kaifa-ihtadaitu/2007/aku-bahagia-dalam-islam/
 
 
 Aku Bahagia dalam Islam
 
 Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
 
 
 Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam
 hidupku ternyata juga merupakan suatu hal yang luar
 biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat
 ini, kulakukan setahun lalu di depan dua orang
 saksi. Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan
 aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
 Rasul-Nya.Ucapku, dan mulai saat itu, aku menjadi
 seorang Muslim.
 
 Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa
 yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha
 untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal
 Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam
 kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi
 keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.
 
 Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih
 belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia
 lakukan. Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun
 dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa
 telah melakukan sebuah kesalahan besar?
 
 Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah
 hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus
 menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan
 kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa
 cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat
 hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah
 melayang-layang.
 
 Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku
 itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama
 kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari
 diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.
 
 Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari
 sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak
 dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang
 hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik-mereka tidak
 percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan
 kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka
 bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.
 
 Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah
 mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu
 dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal
 tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana
 harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai
 meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya,
 sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The
 Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun
 dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti
 berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha,
 dan membaca berbagai buku pengembangan diri.
 
 Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis
 seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus
 dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin
 Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much.
 Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia
 berpikir buku itu hanya cocok untuk
 perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada
 pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka.
 Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia
 pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan
 oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan
 semua hal yang disarankan penulisnya.
 
 Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan
 spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri
 sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling.
 Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku
 karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep
 reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang.
 Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan.
 Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah
 secara spiritual.
 
 Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary
 mendapatkan pacar seorang pria Muslim. Sebenarnya
 sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan
 seorang Muslim. Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan
 saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan
 (bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang
 saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).
 
 Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku
 tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan
 remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang
 agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno,
 peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan
 otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam
 itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber
 perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu
 untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti
 feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa
 dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti:
 Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan
 perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan
 pria memiliki empat orang istri? Serentetan hujatan
 nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.
 
 Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang
 membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun.
 Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua
 pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran
 dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan
 perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab,
 sampai aku tersadar bahwa banyak sekali