Artikel bersumber dari:
www.dakwatuna.com/index.php/kaifa-ihtadaitu/2007/aku-bahagia-dalam-islam/
Aku Bahagia dalam Islam
Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam
hidupku ternyata juga merupakan suatu hal yang luar
biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat
ini, kulakukan setahun lalu di depan dua orang
saksi. Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasul-Nya.Ucapku, dan mulai saat itu, aku menjadi
seorang Muslim.
Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa
yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha
untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal
Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam
kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi
keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.
Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih
belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia
lakukan. Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun
dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa
telah melakukan sebuah kesalahan besar?
Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah
hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus
menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan
kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa
cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat
hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah
melayang-layang.
Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku
itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama
kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari
diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.
Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari
sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak
dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang
hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik-mereka tidak
percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan
kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka
bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.
Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah
mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu
dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal
tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana
harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai
meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya,
sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The
Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun
dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti
berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha,
dan membaca berbagai buku pengembangan diri.
Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis
seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus
dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin
Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much.
Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia
berpikir buku itu hanya cocok untuk
perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada
pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka.
Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia
pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan
oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan
semua hal yang disarankan penulisnya.
Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan
spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri
sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling.
Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku
karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep
reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang.
Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan.
Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah
secara spiritual.
Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary
mendapatkan pacar seorang pria Muslim. Sebenarnya
sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan
seorang Muslim. Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan
saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan
(bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang
saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).
Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku
tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan
remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang
agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno,
peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan
otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam
itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber
perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu
untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti
feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa
dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti:
Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan
perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan
pria memiliki empat orang istri? Serentetan hujatan
nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.
Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang
membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun.
Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua
pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran
dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan
perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab,
sampai aku tersadar bahwa banyak sekali