Bismillahirrahmannirrohiim.
Assalamu'alaikum Wr.Wb.Mas No all members millist Media Dakwah
Dalam pernyataan Mas No tsb dibawahyg maaf dari nada teks yg di tulis
oleh mas no ini terkesan keras n menantang juga untuk mengajak berdebat
denganku
Sebelumnya perkenalkan dulu nama saya @is kepanjangan apa rhs yaa...afwan
sebelumnya..he..he.he.;) bahwa saya adalah seorang akhi asal dari Jawa
(tepatnya daerah mana mgkn bisa ditanyakan langsung ke Ms.Hana...;))...saya
bergabung di millist ini sdh lumayan lama tapi termasuk anggota
pasifkemudian krn bbrp hari yg lalu disindir-sindir oleh rekanku Hana ntuk
aktif meramaikan millist ini sebagai bahan diskusi or pencerahan suatu masalah
agama, maka dengan ini saya ikhlas Insya Allah akan aktif juga dlm menanggapi n
memberikan masukan semampu apa yang saya ketahui (terus terang aq msh terlalu
bodoh dan banyak belajar agama baik dari beberapa ustadz yg kebetulan lagi
seguru jg dg ms.hana dan beberapa referensi buku2 agama yang aq miliki maupun
dari hasil searching or browsing bbrp artikel2 agama di internet).
OK..Mas No..yang terhormat dengan ini akan aq tuangkan uneg2ku ntuk menjawab
pertanyaan anda terhadap nalar saya dlm menanggapi hadist tsb dibawah.
Bahwahal taadud (Poligami) tak butuh dinalar/diungkapkan dalam teks.
sekali lagi sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah,
apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik
poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap
sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya.
Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah.
Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah.
Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian
perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung
penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses
dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire,
dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang
dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju
dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa.
Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan
yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya
sendiri.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen
statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi
kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan.
Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik,
meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada
usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur
25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus
DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang
telah memasok data ini).
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang
dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat
sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan.
Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala
tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan
waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan
berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan
monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan
untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan,
membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal
dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan
sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara
langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini
haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat
efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh,
ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan.
Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadist Nabi SAW: Tidak dibenarkan
segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain. (Jâmia
al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu