Hati Dalam Perspektif Islam

 Imam Gazali dalam Ihya Ulumuddin membuat bab khusus yang membahas 
Keajaiban Hati (`Ajaib al Qalb). Menurut  Al Gazali kemuliaan 
martabat manusia disebabkan karena kesiapannya mencapai makrifat 
kepada Allah, dan hal itu dimungkinkan karena adanya hati. Dengan 
hati,  manusia mengetahui Allah dan mendekati Nya, sementara anggauta 
badan yang lain berfungsi sebagai pelayannya. Hubungan hati dengan 
anggauta badan dimisalkan Al Gazali seperti raja dengan rakyatnya, 
atau seorang tukang dengan alatnya pertukangannya. . Hubungan hati 
dengan angauta badan dipandang sebagai ilmu lahir, sementara akses 
hati ke alam langit (`alam al malakut) masuk kategori ilmu batin 
dimana didalamnya sarat dengan rahasia dan keajaiban. Sahal at 
Tusturi menserupakan hati sebagai `arasy sementara dada merupakan 
kursiy, satu perumpamaan yang menggambarkan bahwa di dalam diri 
manusia seakan terdapat satu kerajaan tersendiri dimana hati 
bertindak sebagai raja.

Al Gazali mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit tentara (junudun 
mujannadah), yaitu unit yang dapat dilihat dengan mata kepala dan 
yang satu hanya dapat dilihat dengan mata hati. Yang pertama adalah 
anggauta badan, sedang yang kedua adalah daya-daya; daya penglihatan, 
daya pendengaran, daya hayal, daya ingat, daya fikir dan daya hafal, 
yang bekerja dengan sistem yang sangat sophisticated dan hanya Allah 
yang mengetahui hakikatnya. Dari kombinasi tentara lahir dan batin 
itu dapat lahir kehendak (iradah), marah (ghodob), keinginan 
(syahwat), pengetahuan (ilmu), dan persepsi (idrak). Hati juga 
diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzauq) yang dapat menangkap 
sinjal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang 
berbeda-beda tergantung desain dan baterainya. 

Hati yang telah lama dilatih melalui proses riyadhah memiliki desain 
dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinjal yang jauh termasuk 
sinjal isyarat tentang masa yang akan datang. Hati seorang sufi bisa 
menangkap sinjal tentang prospek sesuatu (seperti penglihatan Nabi 
Khidir)  sehingga kata-katanya boleh jadi melawan arus atau tidak 
difahami oleh orang lain. dengan hatinya ia juga bisa berkomunikasi 
dengan orang lain yang berada di tempat lain atau di zaman yang lain, 
laiknya telpon genggam saja. Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai 
cermin (cermin hati). Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan 
cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang 
suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang 
terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka 
melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat 
hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat 
digunakan.

Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan 
perbuatan dosa, hatainya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang 
jika digunakan akan menghasilkan gambaran yang tidak benar. Hati yang 
sudah tumpul karena baterainya lemah seyogyanya diisi dengan stroom 
baru, yakni dengan melalui mujahadah dan riyadlah. Ilmu sebagai 
produk intelektuil (akal) kebenarannya bersifat nisbi, antara `ilmal 
yaqin dan `ainul yaqin, sedangkan ilmu sebagai produk hati atau qalb 
sebagai dzauq merupakan kebenaran hakiki (haqqul yaqin).
Sebagai penutup mari kita mencoba bercermin kepada hati kita masing-
masing agar kita juga tahu seberapa besar kapasitasnya. Kata Al 
Gazali orang yang tidak mengenal hati sendiri, pasti ia lebih tidak 
tahu lagi tentang hal lain. Wallohu a`lam.
        
Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com







Kirim email ke