Kisah seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak
kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat
Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor
gelisah dan
belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu
menyenangkan sekali.Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan.
Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih
menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.

Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di
Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan
selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya
ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama
yang
mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim.
Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsipsatu saja,
karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging
dalam
diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya.
Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak
yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah,
prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam
pengajian
keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa
saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang,
pegawai
Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu.
Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa
korupsi,
ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.

Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya
juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan
jalan
yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan
kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka
mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup
seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan
berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti
memiliki rumah dan mobil mewah.

Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga
besar
misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang
pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu
adik-adik dan
keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan
imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada
keluarga
sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka
berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan
melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka
bisa
memahami.

Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau
pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya
karir
saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun.
Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi
sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan
untuk
tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya
dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka
buruk.
Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara
lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari
kawan apa
pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka
lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak
ingin ada
orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara
paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah
sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in
seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka
dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti
inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka
akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai,
sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat
simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke
rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat,
bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing
sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa
juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri
menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang
diberikan
kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam proses
pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga
sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku
sambil
membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah
perusahaan
besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar
dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada
saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua
penyimpangan ini
kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang
di-PHK.
Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru
menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa
tidak
adilnyakalau tidak mengungkap temuan itu.
Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan.
Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan
lain.

Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika
lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan
dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung,
karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa
saya t
erima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan
memintaagar
temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya
tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap
sah. Tapi
saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama
seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling
tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh
atasan dan
disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai
sekarang,
bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang
direncanakan.

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabatdan
seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, ?Sudahlah, Dik Arif
tidak usah munafik.? Saya katakan, ?Tidak munafik bagaimana Pak?
Selama ini
saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi.? Kemudian ia
sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia
berikan pada anak sayaadalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya
sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena
terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu,
kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap.
Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa
mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.

Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun,
saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri
saya di
rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.
Ia lalu mengatakan, ?Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya
pakai,? katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah,
amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk
keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski
ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya
masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka.
Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan
juta.
Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya
bawa
ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi.
Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya
hingga
bertaburan di lantai. Saya katakan, ?Makan uang itu, satu rupiah pun saya
tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya
satu pun perkataan kalian.? Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta
obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok
harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor,
lantas
saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa
pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu
saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga
saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang
saya
tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain
yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang
begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika
saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik
terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi
kami
ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah
pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya
saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari
sholat
dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu.
Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari
teman
bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit.
Wallahu a?lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana,
tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya
malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah
lunas.
Alhamdulillah.
Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada
lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena
pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena
anak
saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah
Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya
lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling
susah
sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah
cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan
pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang
yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya
ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, ?Kenapa tidak
bilang-bilang?? Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu
pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata
kwitansinya
juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan
keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya
baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga.
Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa
pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi
juga.
Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya
berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan
mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak
dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas
dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda,
misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka
gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka
dapat
suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa.
Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka
selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan
bercanda, ?Uang setan ya dimakan hantu.?

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian
berdialog
dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada
masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang
bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit
sekali.
Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah
memeras
dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang
dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya
memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana.
Padahal
sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan
pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya
memberi uang hari Jum?at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang
Jum?atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga.
Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan
sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan
dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang
sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca
Al-Qur?an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi
memang
membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang
akhirnya
dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang
isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat
mapan,
bukan hanya sekadar mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN.
Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika
keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan
keluarga
dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang.
Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah
terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di
kantor.
Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika
sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang
dipecat dan dipenjara.

Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup
yang
bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja.
Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan
memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki
yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami
keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).

Sumber: (Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005)






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke