Adab Membaca Al Quran Al Quranul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikit pun. Al Quran memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh taala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al Quran. Sebagaimana sabda Nabi sholallahu alaihi wa sallam, Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al Quran dan mengajarkannya.(HR. Bukhari) Ketika membaca Al Quran, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al Quran: 1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al Quran seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, Orang yang membaca Al Quran dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rosululloh bersabda, Siapa saja yang membaca Al Quran (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan). Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al Quran sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al Quran setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al Quran sekali dalam seminggu. 3. Membaca Al Quran dengan khusyu, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan. Alloh ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu" (Al-Isra: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat. 4. Membaguskan suara ketika membacanya. Sebagaimana sabda Rosululloh sholallahu alaihi wa sallam, Hiasilah Al Quran dengan suaramu (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Quran (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al Quran dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya. 5. Membaca Al-Quran dimulai dengan Istiadzah. Alloh subhanahu wa taala berfirman, "Dan bila kamu akan membaca Al Quran, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (An Nahl: 98) 6. Membaca Al Quran dengan tidak mengganggu orang yang sedang sholat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang sedang-sedang saja secara khusyu. Rosululloh bersabda, "Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al Quran)" (HR. Abu Dawud, Nasai, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a'lam. [sumber: Buletin At Tauhid] BOLEHKAH MENAFSIRKAN AL-QURAN AL-KARIM DENGAN TEORI ILMIAH ? Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sumber http://www.almanhaj.or.id Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah menafsirkan Al-Quran Al-Karim dengan teori ilmiah modern ? Jawaban Menafsirkan Al-Quran dengan teori ilmiah mengandung bahaya. Karena, jika kita menafsirkan Al-Quran dengan teori tersebut kemudian datang teori lain yang menyelisihinya, maka konsekwensinya adalah Al-Quran menjadi tidak benar dalam pendangan musuh-musuh Islam. Adapun dalam pandangan kaum muslimin, mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak pada orang yang menafsirkan Al-Quran dengan teori tadi, akan tetapi musuh-musuh Islam akan selalu menunggu kesempatan. Oleh karena itu, saya mengingatkan dengan amat sangat agar tidak tergesa-gesa dalam manafsirkan Al-Quran dengan teori ilmiah ini. Apabila Al-Quran terbukti dalam realita maka kita tidak perlu mengatakan bahwa Al-Quran telah menetapkan realita itu. Al-Quran turun untuk menerangkan ibadah, akhlak, dan sebagai bahan renungan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman. Artinya : Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran [Shaad : 29] Dan bukan untuk perkara-perkara seperti ini yang diketahui melalui eksperimen dan diketahui oleh manusia dengan ilmu mereka. Terkadang menjadi bahaya besar yang memberatkan tentang diturunkannya Al-Quran. Saya berikan suatu contoh tentang masalah ini, umpamanya firman Allah Taala. Artinya : Wahai kelompok jin dan manusia, apabila kalian mampu menembus penjuru langit dan bumi maka tembuslah, kalian tidak akan bisa menembusnya kecuali dengan sulthan [Ar-Rahman : 33] Ketika manusia berhasil mendarat di bulan, sebagian manusia menafsirkan ayat ini dan menempatkannya sebagai tafsiran bagi peristiwa ini. Dan mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan sulthan dalam ayat ini adalah ilmu, karena mereka mampu menembus penjuru bumi dengan ilmu mereka. Ini adalah salah, tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan hal ini, karena jika engkau menafsirkan Al-Quran dengan satu makna maka itu berarti engkau bersaksi bahwa Allah menghendaki maskud ayat ini seperti apa yang engkau katakan. Ini adalah persaksian yang besar, engkau akan ditanya tentang hal ini. Dan barangsiapa yang menelaah ayat ini maka dia akan menemukan bahwa ini adalah tafsir yang bathil, karena ayat ini mempunyai konteks penjelasan tentang keadaan manusia dan urusan mereka. Bacalah surat Ar-Rahman maka akan engkau temukan bahwa ayat ini disebutkan setelah firman Allah. Artinya : Semua yang ada di atasnya (bumi) pasti binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Allah yang manakah yang kalian dustakan? [Ar-Rahman : 26-28] Maka kita tanyakan, Apakah mereka (yang mendarat di bulan) menembus langit? Jawabanya : Tidak ! Padahal Allah berfirman. Artinya : Jika kalian mampu menembus penjuru langit dan bumi [Ar-Rahman : 33] Kedua : Apakah dilepaskan kepada mereka nyala api dan cairan tembaga? Tidak! Jika demikian maka ayat ini tidak benar jika ditafsirkan dengan penafsiran mereka dan kita katakan bahwa sesungguhnya sampainya mereka ke tempat yang sudah mereka capai termasuk ilmu-ilmi empiris yang mereka ketahui melalui percobaan. Adapun membelokkan Al-Quran untuk dicocokkan dengan hal seperti ini maka ini tidak benar dan tidak boleh. [Disalin dari kitab Kitaabul Ilmi, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Menuntut Ilmu, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penyusun Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimani, Penerjemah Abu Haidar Al-Sundawy, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] ************************************************************************ ******************* Al Qur'an untuk Orang yang masih Hidup, bukan untuk Orang yang sudah Mati Allah Ta'ala berfirman : "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya memperhatikan ayat - ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang - orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad : 29) "...Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia memberi peringatan kepada orang - orang yang hidup ..." (QS. Yasin : 69-70) Allah Ta'ala menurunkan Al Qur'an untuk orang - orang yang hidup agar mereka dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari - hari dan bukan untuk orang - orang yang mati. Orang yang telah meninggal, amal shalihnya terputus kecuali 3 hal, seperti sabda Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam, "Idzaa maatal insaanu inqatha'a 'amaluhu illa min tsalaatsin shadaqatan jaariyah aw 'ilmin yutafa'u bihi aw waladin shaalihin yad'uulahu" yang artinya "Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo'akan kepadanya" (HR. Muslim) Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala, "(Yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasannya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya" (QS. An Najm 38-39) berkata, "Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam Syafi'i rahimahullah dan orang yang mengikuti beliau beristinbath (mengambil dalil) bahwasannya pahala bacaan Al Qur'an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka" (Tafsir Ibni Katsir IV/272, cet. Darus Salam) Apa yang disebut oleh Imam Syafi'i dalam Tafsir Ibnu Katsir tersebut merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga merupakan pendapat Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh Az Zubaidi dalam Syarah Ihya' Ulumuddin X/369 (Ahkamul Janaa-iz hal. 220-221, cet. Maktabah al Ma'arif, tahun 1412 H. oleh Syaikh Albani) Di dalam kitab Al Ikhtiyaraat al 'Ilmiyah halaman 54, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Bukan merupakan kebiasaan para ulama salaf, jika mereka mengerjakan puasa, shalat atau haji tathawwu' atau membaca Al Qur'an, pahalanya dihadiahkan kepada kaum muslimin yang sudah meninggal dunia. Tidak sepantasnya untuk menyimpang dari jalan ulama salaf, karena ia lebih baik dan sempurna" Lalu bagaimana dengan hadits, "Iqra-uu yaasiin 'alaa mautakum" yang artinya "Bacakan surat Yasin kepada orang yang akan mati diantara kalian" atau Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengartikan "Bacakan surat Yaasiin kepada orang yang sudah mati diantara kalian" ? Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad V/26-27, Abu Dawud no. 3121, An Nasa-i dalam Amalil Yaum wal lailah no. 1082, Ibnu Majah no. 1448 dan lainnya dan para ulama telah mendha'ifkan atau melemahkan hadits tersebut karena beberapa hal, diantaranya ada rawi yang majhul (tidak dikenal) dan mubham (tidak diketahui namanya) serta hadits tersebut memiliki status mudhtharib. Urutan perawi hadits tersebut adalah sebagai berikut : para ahli hadits mencatat dari jalan Sulaiman at Taimi, dari Abu Utsman, dari ayahnya, dari Ma'qil bin Yasar, ia berkata, "Telah bersabda Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam ..." Imam adz Dzahabi berkata, "Abu Utsman rawi yang majhul (tidak dikenal)" (Mizaanul I'tidal IV/550 dan Tahdziibut Tahdziib XII/182), Ibnu Mundzir berkata, "Abu Utsman dan ayahnya bukan orang yang masyhur" ('Aunul Ma'bud VIII/390), Imam Ibnul Qaththan berkata, "Hadits ini ada 'illat (cacat)-nya, serta hadits ini mudhtharib dan Abu Utsman majhul" (Syarhil Muhadzdzab V/110), Imam Daruquthni berkata, "Hadits dha'if isnadnya dan majhul" (Fathur Rabbani VII/63) Imam An Nawawi berkata, "Isnad hadits ini dha'if, di dalamnya ada dua orang yang majhul (Abu Utsman dan ayahnya)" (al Adzkar hal. 122), alasan lain hadits ini dha'if adalah karena ayahnya Abu Utsman yang merawikan hadits ini mubham (tidak diketahui namanya) juga hadits ini mudhtharib (goncang) karena sebagian riwayat menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi dan sebagian riwayat tidak menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi. Untuk keterangan lebih jelas tentang dha'ifnya hadits ini silahkan merujuk ke Kitab al Qaulul Mubiin fii Dha'fi haditsa at Talqin wa iqra-u 'ala Mautakum Yaasiin oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi (beliau adalah murid senior Syaikh Albani rahimahullah) Adapun hadits yang berbunyi, "Barangsiapa menziarahi kubur kedua orangtuanya setiap Jum'at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)-nya sebanyak ayat ayau huruf yang dibacanya" (HR. Abu Nu'aim dalam Akhbaru Ashbahan II/344-345, dan lainnya) adalah maudhu' atau palsu, lihat Silsilah ahadits adh Dha'ifah wal Maudhu'ah no. 50 oleh Syaikh Albani. Dijelaskan dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama 'Amr bin Ziyad Abul Hasan Ats Tsaubani. Ibnu 'Adiy berkata, "Sanad hadits ini bathil, dan 'Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits". Imam Daruquthni berkata pula tentangnya, "Ia sering memalsukan hadits" (Mizaanul I'tidal no. 6371 dan Lisanul Mizan IV/364-365) Sedangkan yang dianjurkan oleh Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam kepada para sahabatnya seusai menguburkan mayit adalah mendoakannya, "Istaghfiruu liakhiikum wa saluu lahut tatsbiita fainnahu alaana yus-alu" yang artinya "Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya" (HR. Abu Daud II/70, al Hakim I/370, dan al Baihaqi IV/56, al Hakim mengatakan, "Bersanad shahih" dan disepakati oleh adz Dzahabi, an Nawawi mengatakan, "Sanadnya jayyid", dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz, hadits ini dari jalur Utsman bin Affan ra.). Juga Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam pernah keluar ke Baqi (tempat pemakaman kaum muslimin) lalu beliau mendoakan mereka. Kemudian 'Aisyah ra. bertanya tentang hal itu, lalu beliau ShallallaHu 'alaiHi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendoakan mereka" (HR. Ahmad VI/252, sanadnya shahih dengan syarat Bukhari-Muslim, lihat Ahkaamul Janaa-iz oleh Syaikh Albani) Referensi/Maroji' : 1. Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Pustaka Imam Syafi'i, Bogor, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/Maret 2005 M. 2. Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu*, Darul Haq, Jakarta, Cetakan Ketujuh, Maret 2003, hal 186 s/d 189. 3. Yasinan, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Ketiga, Jumadil Awal 1426 H/4 Juli 2005. *Pengajar di Darul Hadits Al-Khairiyyah, Makkah Al Mukarramah dan murid Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani ************************************************************************ **************** BAHAYA MENAFSIRKAN AL-QUR'AN TANPA ILMU Mahmud bin Ghailan meriwayatkan kepada kami, Bisyr bin as-Sari meriwayatkan kepada kami, Sufyan mengabarkan kepada kami, dari Abdul a'laa, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyAllahu 'anhuma, ia mengatakan bahwa Rosulullah [saw] bersabda (yg artinya): " Barang siapa berkata-kata tentang al-Qur'an (menafsirkan) tanpa ilmu, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari neraka "(HR.Tirmidzi,no.2950 ) Imam Abu Isa berkata ,' Hadits ini derajatnya hasan shahih " Sufyan bin Waki' mengabarkan kepada kami, Suwaid bin Amru al-Kalbi mengabarkan kepada kami, Abu Awanah mengabarkan kepada kami, dari Abdul a'laa, dari Said bin Jubari, dari Ibnu Abbas radhiyAllahu 'anhuma, dari Rosulullah [saw] . beliau bersabda (yg artinya): " Takutlah kalian berbicara tentang sesuatu yang berasal dariku melainkan pada apa yang telah kalian ketahui. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyimpan tempat duduknya di dalam neraka, Dan barang siapa yang menafsirkan al-Qur'an dengan akal pikirannya, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya didalam neraka " (HR.Ahmad 1/233,269,293,323,327 An-Nasa'i No.109,110 Fadhailul Qur'ani) berkata Imam Tirmidzi 'Hadits ini derajatnya hasan' Saudaraku, Sebagian ulama dikalangan shahabat Rosulullah [saw] dan selainnya, menerangkan bahwa mereka sangat keras dalam masalah menafsirkan al-Qur'an tanpa landasan ilmu. Ini membuktikan bahwa mereka tidak berkata-kata dalam al-Qur'an (menafsirkan) semata-mata dari diri mereka tanpa landasan ilmu. Padahal mereka hidup ditengah-tengah Rosulullah [saw] . Kalau saja shahabat yang paling tahu isi kandungan al-Qur'an ketika wahyu diturunkan, lalu kita yang hidup jauh setelah mereka apakah pantas berbicara mengenai al-Qur'an (menafsirkan) tanpa ilmu, lain halnya jika engkau mengatakan bahwa para ahlul tafsir mengatakan demikian..dan demikian.... Saudaraku, Tidak sedikit kita temukan para da'i-da'i atau ustadz bahkan orang yang belum fasih membaca al-Qur'an disertai hukum bacaan (tajwid) berani menafsirkan isi kandungan al-Qur'an tersebut dengan akal mereka (hawa nafsu), belum lagi membahas apa-apa yang tidak perna dibahas oleh para shahabat radhiyAllahu 'anhuma sekalipun ??! Mereka membahas wujud Allah ta'ala, membahas hakikat Allah ta'ala,membahas siapa makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah, membahas masalah-masalah yang terlarang ditanyakan, yang pada akhirnya apa yang mereka dapati ? kecuali kepuasan nafsu, dan seperti apa yang dikatakan oleh Rosulullah [saw] pada 2 (dua) hadits diatas. Saudaraku, Jika shahabat saja tidak perna mempertanyakan hal-hal yang sering didiskusikan oleh kebanyakan orang? apakah pantas kita mendiskusikannya ? Jangan teladani Sabigh bin 'Asal yang pernah dihajar oleh Amirul Mukminin 'Umar bin al-Khattab radhiyAllahu 'anhu. ************************************************************************ ***** MENGAKHIRI BACAAN AL-QUR'AN DENGAN SHADAQALLAHUL ADZHIIM Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sumber http://www.almanhaj.or.id Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimanakah pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan (ucapan) 'Shadaqallahul 'Adzhiim?' Apakah kalimat ini ada dasarnya dalam syari'at ? Dan apakah orang yang Mengucapkannya boleh dikatakan sebagai seorang ahli bid'ah ?" Jawaban. Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan 'Shadaqallahul 'Adzim setelah membaca Al-Qur'an) adalah termasuk bid'ah yang diada-adakan, yang tidak terdapat pada masa As-Salafus Shalih. Dan patut diperhatikan bahwa bid'ah dalam agama itu tidak boleh ada. Karena bid'ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid'ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia tetap dinamakan bid'ah yang sesat. Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar."Artinya : Setiap bid'ah adalah sesat, meski manusia memandangnya baik". Ucapan : "Shadaqallahul 'Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada Allah?"[An-Nisaa : 122] Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya kuatir suatu hari nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-Qur'an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan. Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman Allah Subahanahu wa Ta'ala. "Artinya : Katakanlah ; Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan Allah)" [Ali Imran : 95] Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan membaca : Allah... Allah .... Allah [1], dengan (dalil) firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Katakanlah : Allah ...." [Ar-Ra'd : 16] Maka firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Katakanlah : Benarlah (apa yang difirmankan) Allah" tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya mengucapkan 'Shadaqallahul Adzhiim setelah selesai membaca Al-Qur'an. [Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, Pustaka At-Tauhid] _________ Foote Note. [1] Yaitu kaum sufi atau semisalnya yang sesat, padahal tidak ada sama sekali dalil atas apa yang mereka dakwahkan ini, yaitu tentang bolehnya dzikir dengan lafal : 'Allah' saja, sebagaimana tampak dengan jelas bagi mereka yang memperhatikan jalannya ayat yang mereka bawakan sebagai hujjah ************************************************************************ ************************* Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang : MENGAKHIRI BACAAN AL-QUR'AN DENGAN SHADAQALLAHUL ADZHIIM Mayoritas orang terbiasa mengucapkan, "ShadaqallaHul 'azhim" ketika selesai membaca al Qur'an, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syar'iyah hal ini termasuk bid'ah bila yang mengucapkan berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya. Adapun firman Allah Ta'ala, "Katakanlah, 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah" (QS. Ali Imran : 95), bukan mengenai masalah ini, tapi merupakan perintah Allah Ta'ala untuk menjelaskan kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah Ta'ala itu benar yaitu yang disebutkan di dalam kitab - kitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan bahwa Allah Ta'ala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para hamba-Nya di dalam kitab-Nya yang agung, al Qur'an. Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan, "ShadaqallaH" setelah selesai membaca al Qur'an atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi ShallallHu 'alaiHi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau. Ketika Ibnu Mas'ud radhiyallaHu 'anHu membaca awal Surat an Nisa di hadapan Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam hingga sampai pada ayat, "Maka bagaimanakah (halnya orang - orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap - tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu" (QS. An Nisaa' : 41) Beliau berkata pada Ibnu Mas'ud, "Cukup", Ibnu Mas'ud menceritakan, "Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata" (HR. al Bukhari no. 5050). Referensi : [Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baz (7/329-331)] Fatwa al Lajnah ad Da'imah : Ucapan, "ShadaqallaHul 'Azhim" setelah membaca Al Qur'an adalah bid'ah, karena Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam tidak pernah melakukannya, demikian juga para khulafa'ur rasyidin, seluruh sahabat radhiyallaHu 'anHum dan imam para salafus shalih, padahal mereka banyak membaca Al Qur'an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya. Jadi, mengucapkannya dan mendawamkan pengucapannya setiap kali selesai membaca Al Qur'an adalah perbuatan bid'ah yang diada - adakan. Telah diriwayatkan dari Nabi ShallallaHu 'alaiHi wa sallam bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa membuat suatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak" (HR Bukhari dalam Ash Shulh dan Muslim dalam Al Aqdhiyah) Hanya Allah-lah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad ShallallaHu 'alaiHi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah, fatwa no. 3303 Maraji' : Fatwa - fatwa Terkini Jilid 2 Penyusun : Syaikh Khalid al Juraisiy, Darul Haq, Jakarta, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1424 H/Februari 2004 M, hal. 448 - 450. Wallahu a'lam bisshowwab [Non-text portions of this message have been removed] Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/