Pelajaran Berinfak  21 Apr 07 08:06 WIB
  Oleh Bayu Gawtama
   
  

Semenjak kedua putri saya mengenal uang dan sedikit memahami 
  nilai serta kegunaannya, sejak saat itulah saya mulai mengajarkan 
  dua hal; menabung dan berinfak. Meski hanya beberapa jenis satuan
  mata uang saja yang dimengertinya, terutama untuk satuan di bawah 
  lima ribu rupiah, menabung dan berifak semestinya memang menjadi 
  kebiasaan untuk mereka.
   
  Dari dua kebiasaan yang sedang ditanamkan itu, hanya satu yang bisa 
  dimengerti oleh kedua putri saya, yakni soal menabung. Ya, mereka 
  mengerti betul bahwa menabung akan membuat ia memiliki uang yang 
  cukup untuk membeli sesuatu. Misalnya, ketika mereka hendak membeli 
  mainan tertentu dengan harga yang sedikit lebih mahal. Maka serta merta 
  mereka akan menanyakan berapa jumlah tabungan yang ada, atau setidaknya 
  langsung membuka penutup kaleng ‘celengan’ miliki mereka masing-masing 
  kemudian menghitungnya.
   
  Bagaimana dengan satu kebiasaan lagi? Tentang berinfak. Selama ini saya 
  akui sedikit bingung untuk memberikan penjelasan yang bisa diterima logika 
  sepasang anak di bawah usia enam tahun tentang manfaat berinfak. Baik, 
  saya sudah mengajarkan dan mencontohkan langsung bagaimana berinfak, 
  kepada siapa dan untuk apa berinfak. Tetapi pertanyaan-pertanyaan polos 
  mereka membuat saya berkeyakinan bahwa mereka belum benar-benar 
  mengerti tentang infak. Misalnya, pernah suatu kali saya mengajarkan 
  langsung agar mereka memberikan sejumlah uang untuk anak yatim. 
  Kemudian mereka berujar, “Memang Ayahnya nggak kerja? Kok kita 
  yang ngasih uang?”
   
  Atau ketika seseorang yang kami persilahkan untuk makan di rumah kami, 
  tiba-tiba saja putri kedua saya berseloroh polos, “Memang ibunya di rumah 
  nggak masak ya?” Tentu saja kami harus meminta maaf teramat sangat 
  kepadanya, khawatir perasaannya terluka oleh kalimat si kecil itu.
   
  Anak-anak tidak cukup memahami kalimat, “Allah senang kalau kita bisa 
  membantu orang lain” atau terlebih kalimat, “Berinfak itu, untungnya buat 
kita. 
  Kita akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda dengan berinfak”. Meski 
  kalimat-kalimat tersebut sudah saya ubah menjadi kalimat yang lebih pas dan 
  lebih bisa dipahami untuk usia mereka, tetap saja kesimpulan mereka 
  tidak berubah. Bahwa menabung lebih baik daripada berinfak. Dalam 
  batas pikiran mereka, menabung sama dengan menyimpan dan 
  mengumpulkan uang. Uangnya terlihat, tidak berkurang dan terus 
  bertambah sehingga suatu saat bisa digunakan untuk membeli sesuatu 
  yang diinginkan.
   
  Tetapi berinfak, mereka lebih melihatnya sebagai ‘membuang’ uang, 
  atau memberikan uang secara cuma-cuma kepada fakir miskin, pengemis, 
  anak yatim atau kaum dhuafa (lemah) lainnya yang sangat membutuhkan. 
  Anak-anak pun tidak mampu menangkap manfaat langsung dari berinfak. 
  Misalnya ketika pada satu kesempatan mereka meminta sejumlah uang 
  untuk jajan, kemudian saya bilang uangnya sudah habis, lantas mereka 
  berkata, “Tadi uangnya dikasih tukang minta-minta sih…” Nah, dalam 
  perspektif mereka, berinfak itu merugikan.
   
  Setelah sekian lama, akhirnya saya mulai bisa menemukan sedikit cara 
  memberikan pemahaman tentang berinfak kepada kedua putri saya. 
  Suatu hari saya membelikan mereka mainan saat pulang dari kantor. 
  Mereka sangat bahagia mendapatkan mainan itu, namun cukup kritis 
  untuk bertanya, “Katanya Abi nggak punya uang? Kok bisa beliin mainan?”
   
  Di sinilah kesempatan pelajaran berinfak itu datang. Lalu saya mengajaknya 
  berdialog, “masih ingat nggak waktu teteh sama dede ngasih uang ke tukang 
  minta-minta kemarin?” mereka pun mengangguk. “Nah, karena teteh dan dede 
  sudah baik sama tukang minta-minta itu, Allah sayang sama kita. Uang yang 
  Abi pakai untuk membeli mainan ini, hadiah dari Allah karena memberi 
  uang untuk tukang minta-minta”.
   
  Begitu seterusnya, setiap kali saya membelikan apapun untuk anak-anak. 
  Selalu menjelaskan, bahwa ini hadiah dari Allah karena sudah berinfak. 
  Hingga suatu hari, saya merasa mereka sudah mulai memahami ketika 
  mendengar anak saya berkata, “pasti hadiah dari Allah” saat saya 
  membawakan lagi sesuatu untuknya. Kemudian mereka pun mengingat-ingat, 
  beberapa hari lalu baru saja memberi uang kepada petugas pengumpul 
  infak masjid di jalan raya.
   
  ***
   
  Berinfak sesungguhnya pun menabung. Menabung, hanya sejumlah yang 
  ditabunglah yang didapat. Tetapi berinfak, yang didapat kembali jauh 
  lebih banyak dari yang kita berikan. Berinfak, tidak (hanya) berbunga, 
  bahkan berbuah. Buahnya sangat manis untuk dinikmati, dan takkan 
  pernah habis karena akan terus bertambah dan bertambah. (Gaw)
   
   
  http://www.eramuslim.com/atk/oim/7420140341-pelajaran-berinfak.htm
  
       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke