Dari www.syariahonline.com <http://www.syariahonline.com/>
Kajian : Muzakarah Tentang : Perspektif Penerapan Syariat Islam Mutammimul 'Ula, S.H. Secara de facto dan de jure, betapa pentingnya hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dari segi bahasa, kata hukum berasal dari bahasa Arab al-hukm, dari akar kata hakama (ha-ka-ma), yang berarti 'memerintah', 'mengatur', 'mengadili'. Al-hakim berarti 'yang memerintah'. Mahkum alaih berarti 'yang diperintah' (rakyat) dan mahkum bih berarti 'aturan untuk memerintah'. Allah SWT dalam Al-Qur`an menyebut kata hakama dengan segala keturunannya (yahkumu, al-hikmah, hukm, hakiim dan seterusnya) kurang lebih 200 kali. Para anbiya dan mursalin, senantiasa diberi karunia oleh Allah SWT berupa llmu dalam bentuk Al-Kitab dan al-Hikmah (tekstual dan kontekstual/doktrin dan aplikasi) dalam rangka mengajak, mengatur kaum dan masyarakatnya, dalam berbagai bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanandan keamanan (ipoleksosbudhankam). Itu menunjukkan betapa pentingya hukum dalam mengatur masyarakat, sekaligus menunjukkan bahwa hukum bukanlah berasal dari manusia itu sendiri, tetapi merupakan karunia besar dari Allah SWT Tinjauan bahasa di atas menampakkan betapa terjalin-berkelindan, hubungan yang sangat erat dan terpadu, antara tiga pilar utama negara dan masyarakat: pemerintah, rakyat (yang dipelihara)dan hukum. Secara historis, tidak akan munculnya negara dan masyarakat tanpa didahului atau diikuti oleh hukum. Apalagi dengan munculnya negara-negara modern yang ditandai dengan paham konstitualisme. Munculnya negara selalu didahului atau diikuti oleh hukum-hukum dasar yang mengatur hubungan timbal balik internal warganegaradan antara warganegara dengan negara (pemerintah). Demikian juga, berdirinya negara Republik Indonesia, didahului dengan perdebatan dalam rangka penyusunan hukum dasar oleh BPUPKI, kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan oleh KNIP. Kesimpulannya secara filosolis, politis dan sosio-historis, hukum bentuknya yang tekstual maupun konstekstual, dalam sifatnya yang konstitutif, organik maupun instrumentalistik merupakan norma dan aturan yang mengatur segala aspek kehidupan dalam bernegara dan bermasyarakat. Apakah negara itu menyebut dirinya sebagai negara hukum atau negara kekuasaan, maka hukum tetap saja dominan. Yang menjadi masalah adalah hukum itu produk dan berpihak kepada siapa berpihak, kepada keadilan atau tidak? Hukum menjadi aturan permainan dan perjuangan bagi bangsa untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Sudah barang tentu, hukum yang ideal-mengatur, tidak saja hal-hal yang bersifat normal, juga mengatur keadaan yang bersifat tidak normal (dharuri dan istitsnai yaitu yang tak terelakkan dan kekecualian). Dharuri dan istitsnai adalah karunia Allah SWT dalam mengantisipasi tabiat manusia itu sendiri. Dengan demikian, aspek lain dari kehidupan selain hukum (berupa ideologis politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan) adalah merupakan anak atau buah dari kehidupan hukum (dalam wujud tata dan sistem hukum negara yang bersangkutan). Jika tidak ada hukum maka yang akan muncul adalah anarki dan chaos. lbarat lalu lintas, setelah kendaraan diperbolehkan jalan, maka sarana, prasarana, ketentuan lalu lintas dengan segala rambu-rambu yang memadai harus disiapkan, agar orang yang berlalu lalang merasa nyaman, aman dan selamat sampai di tujuan. Meskipun dalam kenyataannya kehidupan negara dan masyarakat dalam keadaan tertentu tidak terlalu bergantung pada hukum formal negara yang bersangkutan. Hukum formal yang memadai pun terkadang bisa "mengatur" masyarakat, karena adanya norma informal berupa kebijakan-kebijakan dalam masyarakat itu sendiri . A. Tinjauan Historis: Krisis dan Komplikasi Hukum Sesungguhnya jika kita jujur, kehidupan hukum sejak Indonesia merdeka sampai sekarang mengalami problem (penyakit) yang komplikatif. Jika tidak segera diatasi, sangat mungkin menjurus ke arah krisis hukum. Paling tidak, kehidupan hukum sangat dipengaruhi oleh pola kekuasaan yang ada. Pada masa Orde Lama hukum tunduk pada politik dan revolusi. Pada masa Orde Baru, hukum tunduk pada pertumbuhan ekonomi. Perkembangan hukum tidak memiliki framework yang pasti. Pada akhirya, bisa mengakibatkan krisis kenegaraan atau kemasyarakatan. Beberapa kenyataan berikut menjadi saksi atas kehidupan hukum Nasional, selama Indonesia merdeka. 1. Periode 1945-1950 Pada periode ini muncul beberapa ketentuan dan peristiwa yang mempengaruhi jalannya kehidupan hukum, yaitu (1) pencoretan klausula Islami pada Piagam Jakarta 18 Agustus 1945; (2) Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 45, (3) maklumat Presiden Tahun 1945 No.2, bertanggal 10 Oktober 1945; (4) Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda, 27 Desember 1949. Adanya beberapa ketentuan dan peristiwa-peristiwa, tersebut, menimbulkan komplikasi kehidupan hukum. Pertama, komplikasi atas prinsip-prinsip hukum mana hukum Nasioanal akan dikembangkan? Hukum adatkah, Barat, ataukah Islam? Kedua, kesulitan menentukan ketentuan mana dari perundang-undangan peninggalan Kolonial yang bertentangan atau tidak, dengan UUD 45. Ketiga, komplikasi konstitusi. Antara tahun 1945-1950, ketika nyata kemudian bahwa Republik Indonesia bukan satu-satunya negara dan pemerintahan yang boleh menuntut pengakuan sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah di kepulauan ini. Hal ini terjadi karena Belanda masih mengklaim sebagai penguasa yang sah. Terjadi konflik Konstitusi, daerah yang tunduk kepada RI tunduk kepada UUD 45, sedangkan negara-negara yang semi-independen (seperti Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Madura dan lain-lainnya) tunduk kepada UUD RIS. 2. Periode 1950-1966 Dengan berakirnya riwayat RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, sebuah negara baru berbentuk Republik Kesatuan juga disebut Republik Indonesia seperti yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 lahir menggantikan RIS. UUD RIS tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh sebuah UUD baru, yaitu UUD Sementara RI. Seperti dua UUD yang ada sebelumnya (UUD 45 dan UUD RIS), UUDS ini pun mengganti asas tetap memberlakukan semua peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya (Ps 142 UUDS). Dengan kata lain, perkembangan hukum organik tidak mengalami perkembangan yang berarti. Di bawah UUDS, diadakan Pemilu 1955 yang menghasilkan Badan Kotistituante. Badan Konstituante merintis dari nol, yaitu bersidang untuk menyusun konstitusi yang permanen. Sayang Badan Konstitusnte dengan beberapa sebab "gagal" menyelesaikan tugasnya. Dengan demikian perkembangan hukum belum bisa mengakhiri kondisi-kondisi yang telah ada sebelumnya. Ditambah dengan terjadinya konflik politik di tingkat elit maupun pergolakan-pergolakan daerah, menambah kesulitan pertumbuhan hukum nasional yang sehat. Sampai memasuki tahun-tahun terakhir 1950-an, tak ada keputusan politik mengenai apa yang harus dilakukan dan diselesaikan dengan suatu kepastian mengenai pengembangan dan pembangunan hukum nasional. Cita-cita kodifikasi dan unifikasi masih jauh dari harapan. Salah satu sebabnya adalah ketidaksamaan visi dari kalangan ahli-ahli hukum sendiri. Di satu pihak, mereka yang tidak menghendaki hukum Islam, memiliki sikap ambivalensi terhadap hukum adat, yang dianggap sebagai bagian komitmen nasionalisme, tetapi dalam kenyataannya sulit mengikuti perkembangan dengan modernisme. Daripada mengambil hukum Islam, kaum nasionalis tampaknya lebih membiarkan status-quo dengan pilihan hukum Barat. Di lain pihak, mereka yang menghendaki hukum Islam sebagai sumber utama pengembangan hukum Nasional tidak memiliki dukungan politik yang memadai. Di samping pada kenyataannya pada waktu itu, lembaga-lembaga peradilan agama belum menampakkan kewibawaannya, serta masih langkanya SDM hukum Islam, yang menguasai syariat sekaligus memiliki kemampuan dalam memahami hukum Barat yang dianggap modem. Pada periode ini, perlu dicatat lahirnya UU yang cukup strategis, terutama dalam penataan pemilikan tanah, berupa UU Pokok Agraria, 1960. Dari tahun 1960-1966, kehidupan hukum semakin sulit, karena politik dan revolusi menjadi panglima terjadinya tragedi nasional G 30 S PKI tidak hanya terjadi krisis hukum, tetapi krisis politik. Baru setahun kemudian (1966) keadaan mulai terkendali. 3. Periode 1966-1998 Pada tahun 1966, perubahan besar-besaran terjadi dalam kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Terutama dalam menetapkan pilihan, nyata sekali pemerintahan Orde Baru telah bertekad untuk lebih mementingkan pembangunan ekonomi bangsa daripada usaha merebut peran politik yang progresif dan revolusioner dalam percaturan politik antarbangsa. Karena itu, indikator keberhasilan perjuangan bangsa dialihkan ke dalam indikator keberhasilan ekonomi. Maka hukum pun cenderung mengikuti pola ini. Tahun 1967, tidak lama setelah lahimya Surat Perintah Sebelas Maret, lahirlah Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dalam rangka menarik investasi dari luar. Dalam konteks kehidupan hukum, maka berapa upaya yang patut dicatat, antara lain: (1) Mengembalikan citra Indonesia sebagai negara hukum. Dalam konteks ini, telah diputuskan untuk memulihkan doktrin kepastian hukumdan disusun tata hirarki Perundang-Undangan Tahun 1966, dengan TAP MPRS XX, ditetapkan tentang sumber tertib hukum RI dan tata urutan perundang-undangan RI, dengan maksud untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam rangka rule of law, sebuah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Pokok No. 14 I'li. 1970) dibuat dan diumumkan berlakunya pada tahun 1970. (2) Hukum difungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat. Kecenderungan ini muncul, bertitik tolak dari paham sosiologikal jurisprudensi, yang banyak mengutip pendapat Roscoe Pound tentang perlunya memfungsikan law as a tool of social engineering. Sesungguhnya, tidak ada perubahan substantif pada hukum materialnya dengan paham atau keadaan sebelumnya. Yang membedakan adalah pendekatannya terhadap fungsi hukum. (3) Kodifikasi perkembangan hukum dari hukum kolonial ke hukum kolonial yang dinasionalisasi. Di kalangan ahli hukum, upaya yang paling logis adalah mengembangkan hukum nasional Indonesia dari modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan grundnormn pancasila. (4) Hukum nasional sebagai hasil pengembangan hukum adat. Pada perkembangan lain muncul paham, yang merupakan gerakan yang telah berumur tua, namun tampakya tidak sekali pun pernah bersedia mundur dalam percaturan politik hukum nasional adalah paham yang hendak memperjuangkan terwujudnya hukum nasional dengan cara mengangkat hukum rakyat, yaitu hukum adat, menjadi hukum nasional. (5). Kecenderungan integrasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Pada periode ini muncul kecenderungan, disukai atau tidak, menguatkan posisi hukum Islam menjadi hukum nasional, baik sebagai reaksi (R) UU yang diajukan oleh Pemerintah maupun dalam rangka memperkokoh kelembagaan hukum Islam yang telah lama hidup dalam praktik hukum masyarakat. Sekurang-kurangnya tiga UU yang merepresentasikan hal tersebut : (i) UU NO. 14 Th. 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman; (ii) UU No. I Th. 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). UU No. 2 Th. 1989 tentang Pendidikan Nasional dianggap mengakomodasikan realitas pendidikan Islam dan memperkokoh eksistensi pendidikan agama. Yang perlu dicatat dalam periode ini disamping beberapa kecenderungan di atas adalah kenyataan bahwa dalam perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di seluruh jajaran eksekutif ternyata mampu bermanuver dan mendominasi DPR dan MPR. Dengan kondisi demikian, hukum di Indonesia dalam perkembangannya di akhir abad 20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government social control dan berfungsi sebagai tool of social engeneering. Walhasil, hukum perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal juridis)dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan asas-asas moraldan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam. 4. Periode 1998 - Sekarang (Periode Reformasi) Kehidupan hukum di masa reformasi baru menjadi salah satu agenda utama reformasi. Agenda Reformasi : Amandemen Konstitusi, Pemberantasan KKN, Supremasi Hukum, Reposisi TNI dan Polri, Reposisi Hubungan Pusat dan Daerah dan Pemulihan dan Kemandirian Ekonomi. Dalam praktik, apa yang disebut sebagai negara hukum masih jauh dari kenyataan. Bahkan seolah-olah tidak ada pemerintah Govermentless, Lawless and Disorder. Kehidupan hukum baru muncul dalam bentuk Tap-Tap MPR dan dalam wacana diskusi dan seminar. Pembaruan hukum nasional yang dicita-citakan masih jauh dari kenyataan. B. Hukum Islam sebagai Pilihan yang Paling Realistik Kesimpulannya, selama lima puluh lima tahun Indonesia merdeka, belum banyak prestasi yang menonjol dan perkembangan hukum sebagai realisasi cita-cita kenegaraan yang termuat dalam Pembukaan UUD 45 maupun butir-butir penting yang termuat dalam pasal-pasal UUD, terutama menyangkut komplikasi tata hukum organik maupun instrumen hukum lainnya. Salah satu kesulitan besar yang muncul sejak kemerdekaan ialah adanya keragaman atau ketidakpastian atas dasar asas-asas hukum apa perundang-undangan akan dikembangkan. Ahli Hukum tetap dilladapkan pada pilihan hukum: adat, barat dan lslam. Sesungguhnya, jika kita mau merenungkan dan memikirkan dengan saksama, dengan berbagai faktor kelemahan dan kelebihannya, maka kita akan sampai pada pilihan: pengembangan hukum nasional haruslah menjadikan hukum Islam sebagai inspirasi utama, dilengkapi dengan hukum adat untuk memberi muatan "kelokalan" dan hukum Barat dalam kerangka mengambil manfaat kemajuan teknologi dan peradaban yang "terlebih dahulu" berkembang, terutama yang menyangkut ketentuan-ketentuan praktis. Hukum Islam menjadi mainstream dan hukum adat dan Barat menjadi komplementer. Inilah pilihan yang harus ditegaskan. Pilihan tersebut didasarkan pada alasan yang kuat. Salah satunya adalah kesepakatan ahli hukum, bahwa hukum yang ideal haruslah memenuhi syarat filosofis (berorientasi dan bervisi keadilan), juridis (berorientasi dan bervisi pada kepastian hukum) dan sosiologis (berorientasi pada manfaat dan penerimaan sosial). Secara filosofis, hukum Islam memiliki kandungan yang sarat dengan tema keadilan. Islam (hukum) adalah sistem ajaran (value sistem/qiyajn) sekaligus metodologi (minhaj) pencapaiannya. Sesungguhnya, setiap bangsa dengan "sistem nilai" (agama/ideologi/cita-cita yang dimilikinya) memiliki cita-cita yang sama dan universal, berupa : keadilan, ketertiban, perdamaian, keserasian, kesucian dan lain sebagainya. Tetapi, umumnya, sistem nilai itu tidak memiliki "metodologi pencapaiannya" yang memadai. Hanya Islamlah yang memiliki metodologi memadaidan cocok dengan fitrah manusia. Secara juridis (kepastian hukum) meskipun Islam tidak mengatur kehidupan dengan sangat rinci karena justru akan menimbulkan kekakuan tetapi ia tetap merupakan "sistem nilai" yang paling rinci yang mengatur kehidupan manusia, dibandingkan "sistem nilai lainnya", yang pernah maupun yang akan ada sepanjang sejarah umat manusia. Diikuti dengan sumber-sumber yang tekstual (manshus), termuat dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, warisan pemikiran dan yurisprudensi yang agung, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, ditambah dengan pengalaman bangsa-bangsa muslim sepanjang sejarah. Islam (syariat/hukum) bersifat universal dan modernizable. la cocok dengan segala zaman, untuk setiap tempat dan orang, tanpa kehilangan keasliannya berupa sistem keyakinan (akidah), sistem berfikir dan sistem perilaku (akhlak). Secara sosiologis, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, paling tidak secara keyakinan, mereka telah memilih lslam. Adapun penerimaan (interaksi) terhadap Islam, terutama terhadap hukum-hukumnya memang bertingkat-tingkat. Meski demikian, Islam menjadi nilai dominan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk kandungan spiritual, bahasa, budaya, praktek perilaku sampai pada pelaksanaan syariatnya. Muslimin, betapapun tipisnya penghayatan dan pengamalan mereka terhadap Islam, tetap merupakan suatu kaum yang paling banyak melaksanakan agamanya, dibanding kaum dengan agama lainnya. Hukum Islam telah menjadi living law dalam masyarakat. Maka Integrasi hukum Islam ke dalam hukum nasional secara bertahapdan didukung oleh perkembangan dakwah yang bijak, adalah alternatif terbaik untuk mengatasi komplikasi kehidupan hukum, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara itu, hampir setiap (R) UU yang diajukan ke DPR, yang tidak mengacu pada nilai Islam, selalu menimbulkan reaksi yang keras. Yang hasil akhirnya, ditarik kembali atau diteruskan dengan mengakomodasikan kepentingan nilai Islam. Apakah dengan kenyataan ini, ada dugaan sementara, adanya pihak yang berpendapat, tidak perlunya memajukan (R) UU yang bersifat strategis seperti RUU KUHP ke DPR? Karena dengan berbuat demikian, senantiasa memberi peluang kepada pihak Islam memasukkan nilai-nilai yang "mereka" yakini. Maka lebih baik status quo dengan meneruskan tradisi hukum Barat, daripada masuknya hukum Islam ke dalam hukum nasional. Secara politis (R) UU yang diajukan oleh pemerintah dan cocok dengan aspirasi umat Islam, akan menambah kokohnya hubungan antara Pemerintah dan umat Islam. Ini adalah keuntungan besar bagi bangsa ini, terlepas siapapun yang berkuasa. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, yang muncul adalah ketegangan-ketegangan yang kontraproduktif, lagi pula menimbulkan social-cost yang mahal. Apabila kita tinjau dari segi pembudayaan hukum Islam, dengan mengambil penjelasan Padmo Wahjono dalam tulisan Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Datang, beliau menyatakan: Dalam kaitannya dengan pembentukkan hukum di masa yang akan datang, serta ragam politik hukum yang mendasarinya serta suatu kerangka teoridan apabila hal ini kita kaitkan dengan struktur suatu sistem hukum, maka menjadi relevan dipahaminya teori tentang pertingkatan hukum (Stufenbau des Rechts-hierarchie hukum). Teori pertingkatan hukum beranggapan bahwa berlakunya suatu hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi kedudukannya . Apa yang dijelaskan oleh Padmo Wahjono, berarti tidak ada problema akademis menyangkut prosedur integrasi hukum Islam ke dalam hukum nasional. C. Membangun Visi dan Aksi Setelah cukup panjang kita renungkan perjalanan hukum selama 55 tahun, maka beberapa hal, segera dilakukan, 1. Penegasan Visi. Ahli hukum kita yang bekerja di berbagai bidang harus memiliki kesamaan visi tentang posisi hukum dalam bernegara dan bermasyarakat. Sekaligus menentukan visi pengembangan hukum pada masa datang, agar tidak terjebak dalam ambivalensi, bahkan trivalensi : atas nilai apakah adat, Islam atau Barat, dalam menentukan pilihannya. Penegasan visi tidak cukup dengan menentukan pilihan hukum mana yang dijadikan sumber utama pengembangan hukum nasional, tetapi juga visi pelaksanaan tentang: negara hukum, rule of law, praktik keadilan sosial, transparasi pengambilan keputusan dalam sistem politik hukum ekonomidan lain sebagainya, dengan mengambil pengalaman dari semua bangsa. 2. Deregulasi struktur. Penegasan visi harus diikuti dengan dukungan strutur birokrasi. Disini ada deregulasi departemen menyangkut ruang lingkup bidang garapnya. Deregulasi ini menyangkut sekurang-kurangnya dua departemen. Departemen Kehakiman dan Departemen Agama, yaitu pengalihan lembaga agama dari Depag ke Dep. Kehakiman. Sudah barang tentu, Menteri Kehakiman dan Ketua MA adalah orang yang kokoh imtak dan kuat iptek (Ilmu Hukum). Dengan pengalihan ini, beberapa keuntungan dapat diambil, yaitu: (i) menghilangkan dikotomi pembinaan lembaga peradilan; (ii) efisiensi pembinaan lembaga peradilan, (iii) terjadinya interaksi antar hakim peradilan umum dan peradilan agama. Interaksi ini akan meningkatkan sumber daya manusia, secara moral maupun pengetahuan umum di lingkungan hakim, (iv) memudahkan penyusunan (R) UU secara terpadu; dan (v) mempermudah cita-cita unifikasi dan kodifikasi hukum nasional. 3. Deregulasi pendidikan hukum Lembaga pendidikan hukum kita mewarisi tradisi pendidikan kolonial, yaitu meneruskan otonomi kehidupan hukum, sekaligus pemborosan SDM. Paling tidak ada dua lembaga pendidikan hukum, yaitu Fakultas Hukum yang mendalami hukum sekuler (Barat dan beberapa perundang-undangan produk nasional) dan Fakultas Syariat yang mendalami hukum Islam. Kedua lembaga ini menghasilkan lulusan yang kurang "utuh". Dengan integrasi (Penggabungan) antara dua lembaga tersebut, dengan mengambil nama salah satudan mengintegrasikan muatan mata kuliah, maka akan lahir lulusan yang menguasai kedua "kecenderungan ilmu hukum" tersebut. Ini berarti melahirkan SDM hukum yang ramping. Sedikit jumlahnya, tetap memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang ilmu hukum. Merekalah yang akan menjadi penerus pembangunan hukum nasional yang kita cita-citakan. D. Pilihan-Pilihan Strategis Komitmen memperjuangkan syariat Islam bukanlah karena mengandalkan kewijiban negara semata, tetapi lebih merupakan konsekuensi logis semua orang yang telah mengaku Islam dan beriman. Dalam konsteks itu maka pilihan strategis dapat dilakukan antara lain : (1) Gerakan individual, yaitu gerakan melaksanakan Islam mulai dari dirinya sendiri dan keluarga. Hal ini seperti sering diucapkan para da'i: kalau kau ingin menegakkan negara Islam, tegakkan negara Islam dalam dirimu. Metode ini tidak terlalu memerlukan campur tangan negara. Betapa banyaknya ruang lingkup syariat Islam bisa dikerjakan terutama menyangkut hukum-hukum private, seperti sholat, puasa, zakat, haji, hukum-hukum keluarga, wakaf, hibah dan beberapa hukum jual beli (Kitabul Buyu'). (2) Gerakan sosial dan pendidilan, yaitu gerakan menebarkan ajaran Islam kepada masyarakat awam melalui jalur pendidikan, kesehatan dan lainnya, sebagai pembuktian bahwa ajaran Islam rahmatan lil 'alamin dakam bentuk praktik. Disini berlaku kaidah dakwah: lisanul hal afshahu min lisanil maqaal (bahasa praktik lebih tajam daripada bahasa teori/tulisan). Contoh-contoh dalam kehidupan yang praktis seperti cara keluarga Islami, cara shalat, cara zakat, cara hajidan seterusnya lebih mudah dipahami dan diikuti daripada teori dan retorika. Memang kaidah sosial mengatakan, kebanyakan manusia lebih mudah memahami praktek daripada teori. Gerakan inilah yang menjadi kekuatan strategis sepanjang sejarah perjalanan Islam. Gerakan pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mempersiapkan SDM secara kuantitatif dan kualitatif. (3) Gerakan sosial politik, yaitu kalangan Islam memasuki berbagai institusi sosial, politik, birokrasi, bisnis, teknologidan lainnya. Di sini diperlukan mobilitas vertikat dan horizontal secara bersama-sama. Pada saat diperlukan, potensi dan aktualisasi Sumber Daya Manusia telah siap. Apa yang kita saksikan sekarang ini secara sosiopolitik, kalangan muslim mendapatkan posisi strategis dalam penyelenggaraan negara. Posisi yang belum pernah dicapai sejak Indonesia merdeka. Sayang pada posisi itu belum dibangun sinergi wacana yang sama tentang masa depan Indonesia. (4) Gerakan legislasi, yaitu perjuangan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam perundang-undangan, baik Undang-Undang maupun Perda. Cara ini ditempuh dengan adanya beberapa peluang. Pertama, secara yuridis dijamin oleh hukum, seperti jaminan konstitusi pasal 29 dan Tap No. IV Tahun 1999 tentang GBHN menyangkut Arah Kebijakan Hukum yang bunyinya "Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukun adat serta memperbarui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi". Dalam konteks gerakan legislasi, H. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Penulis Buku Piagam Jakarta 22 Juli 1945 Sebuah Konsesus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), menyatakan: ".....seyogianya hukum Islam dijadikan sekurang-kurangnya salah satu sumber perujukan (referensi) dalam pembentukan dan pembinaan hukum nasional. Memperjuangkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam dalam kerangka konstitusi yang berlaku melalui saluran konstitusional pula dengan menempuh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan diakui dan dibenarkan: - baik oleh Undang-Undang Dasar 1945 sendiri - maupun oleh para pendiri (the founding fathers) Negara Republik Indonesia; baik oleh para nasionalis muslim 'sekuler' (seperti Soekamo, Hatta, L.A. Soebarjodan Yamin), maupun/apalagi oleh para nasionalis Islami (seperti haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujodo, Haji Abdul Wahid Hasjimdan A.Kahar Muzakkir). Sementara itu, apakah nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam itu tercantum dalam perundang-undangan negara atau tidak, namun nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam itu tetap mengikat jiwa setiap muslimdan mereka itu berkewajiban berusaha dalam batas-batas kemampuan dan kemungkinan mereka masing-masing untuk menerapkannya dalam masyarakat muslim Indonesia, sebagai rahmat dan untuk kesejahteraan manusia dan alam lingkungannya" (halaman 251 dalam 17 Maklumat tentang Islam dan Umat Islam dalam Negara RI). Kedua, gerakan legislasi relatif lebih mungkin, karena lebih mudah untuk melakukan dialog dengan kalangan lain di parlemen, lebih bersifat spesifik dan berhadapan dengan persoalan yang real. Gerakan legislasi sesungguhnya memberi peluang besar. Sayang, selama 55 tahun Lembaga Legistatif kurang termanfaatkan secara optimal. Beberapa produk yang bisa dicatat dalam konteks legislasi antara lain yang langsung maupun tidak langsung. Yang langsung terkait dengan kepentingan umat Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Perbankan, UU Haji. Sedangkan yang tidak langsung seperti UU Pendidikan Nasional. (5) Gerakan Konstitusionalisme Yang dimaksud dengan Gerakan Konstitualisme adalah upaya memasukkan teks-teks Islam dalam konstitusi. Termasuk gerakan konstitualisme adalah upaya mengubah pasal 29 dengan memasukkan tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta, yakni kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perjuangan ini sungguh sangat berat. Jika kita perhatikan negeri-negeri Islam, teks-teks Islam dalam konstitusi mereka adalah hasil perjuangan kemerdekaan. Tetapi setelah Perang Dunia II, hampir tidak ada negeri Islam yang berhasil dalam gerakan konstitualisme melalui cara-cara demokratis, seperti apa yang terjadi di Turki, Aljazair dan beberapa negara lain termasuk Indonesia, pada awal kemerdekaan dan perjuangan di Badan Konstituante. Perjuangan konstitualisme memerlukan dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, masyarakat sudah memiliki kematangan, sehingga resistensinya lemah. Kedua, muslimin harus memiliki grend power. Artinya secara politis de facto harus memiliki kekuatan di atas kaum resistenis. Jadi bukan mengandalkan mayoritas. Kemayoritasannya tidak dapat dijadikan jaminan bahwa secara de facto yang mayoritas itu mampu menundukkan penentangan kaum resistenis. Dengan kata lain, baik NU, Muhammadiyah, maupun para politisi dalam partai Islam harus bersatu dalam satu kepemimpinan yang kokoh. Reaksi kaum resistenis inilah yang menimbulkan konflik baru. Benar bahwa syariat Islam secara normatif tidak menyebabkan desintegrasi nasional, tetapi juga benar bahwa secara de facto terdapat kelompok dan daerah yang tidak percaya atau tidak dapat menerima gerakan konstitualisme itu. Ini artinya muslimin belum dipercaya oleh orang lain dan muslimin tidak dapat "mengatasi" mereka. Jika kondisi kita masih lemah, tetapi hal ini dipaksakan, akan menimbulkan akibat panjang. Melahirkan resistensi baru. Kaum resistenis akan konsolidasi. Akibatnya, mereka bukan saja resisten terhadap syariat Islam,' melainkan meluas terhadap masalah-masalah lain yang "berbau" Islam. Jika isu ini mau diangkat benar-benar secara demokratis, maka referendum menjadi salah satu pilihan. Karena agama di samping hak asasi, juga menyangkut pilihan yang paling dalam bagi setiap individu, menyangkut pertanggungjawabannya di dunia dan di akhirat. Dengan referandum, umat Islam sendiri dapat melihat peta yang real, berapa orang sebenarnya yang memilih atau menolak syariat Islam. Sebelum dilakukan referendum, diadakan sosialisasi secara besar-besaran. Perlu disadari perjuangan konstitusionalisme menyangkut Pasal 29 UUD 45 adalah agenda umat secara bersama. Bukan agenda satu dua partai. Karena itu diperlukan titik temu antara pimpinan ormas Islam, tokoh-tokoh Islamdan pimpinan partai berbasis Islam untuk memastikan satu rumusan final, yang mendekati kebenaran. Kemudian diserahkan kepada wakil rakyat dan disosialisasikan secara bersama dan besar-besaran kepada publik selama dua tahun. Insya Allah dengan demikian mudah-mudahan berhasil. Jika agenda ini hanya ditonjolkan oleh satu dua partai, maka peluang kalah besar dan berarti umat juga dikalahkan. Umat menang berarti partai menang. Tetapi tidak sebaliknya. Wallahu a'lam bishshawab. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design. http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/