assalamu 'alaikum wr.wb..

saudara2ku..
di BSD City terdapat German Center,
dan seringkali saya menemukan beberapa orang Jerman yg bule2 dgn rambut pirang 
seperti pemain2 bola di teve itu yang sedang melaksanakan shallat Jumat di 
masjid As Syarif komplek sekolah Al Azhar BSD..

seusai shallat terlihat mereka berdoa dengan sangat khusyu',
sampai terpejam matanya dengan bibir berkomat-kamit..
betul2 mengharukan buat saya..

semoga kebenaran dan hidayah dari ALLAH semakin meluas terhadap umat manusia di 
seluruh penjuru bumi,
dan menambah keimanan bagi kita yang menyaksikannya..

pak ONY ada informasi lain ttg bule2 tersebut..?

wassalam,

adji

------------

Dunia Islam: Jerman Bertabur Mualaf 
Posted by: "[EMAIL PROTECTED]" [EMAIL PROTECTED]   esmaila1 
Tue Feb 20, 2007 8:24 pm (PST) 
Republika: Jumat, 09 Februari 2007 

Jerman Bertabur Mualaf 


Angst-Ridden German Mencari Jawaban dan Menemukannya di dalam Quran." 
Demikian judul besar di Del Spiegel, harian terkemuka di Jerman, edisi 18 
Januari 2007. Penulisnya, Lutz Ackermann, mengawalinya dengan mengisahkan 
pria perlente bernama Kai Luhr. 


Dengan bercelana jins dan jaket abu-abu bermerek, pria berwajah bersih 
tanpa kumis dan janggut ini memasuki gerbang Masjid Berlin. Ackermann 
mengira dia menuliskannya dengan kalimat "publik Jerman pasti menduga" Luhr 
adalah utusan pihak gereja untuk hadir dalam dialog lintas agama yang kerap 
digelar di masjid itu. 


Tapi, ups, dia salah. Luhr bergegas menanggalkan jaketnya, dan mengambil 
air wudlu. Dia merapatkan diri dengan barisan shalat -- di sebelahnya pria 
bertampang Timur Tengah dengan janggut dan jubah putihnya. 


Dalam catatan Ackermann, Luhr melakukan 33 gerakan dalam ibadahnya hari 
itu. "Bahasa Arabnya sangat fasih ketika memanjatkan doa," tulisnya. Ia 
hanya mengucap satu kalimat dalam bahasa Jerman, "Allah mendengar siapa 
yang memohon pada-Nya, kabulkan doaku ya Tuhanku." 


Kai Luhr adalah seorang dokter. Ia dan istrinya menjadi Muslim sejak dua 
setengah tahun lalu. Seiring dengan pernyataan syahadatnya, ia mengganti 
namanya menjadi Kai Ali Rashid dan istrinya menjadi Katrin Aisha L?hr. 


Lelaki 43 tahun ini biasa mengikuti aktivitas keagamaan di sebuah masjid di 
Frechen, dekat Cologne. Di situ pula ia mengikrarkan Islam sebagai agama 
barunya. Bersama dengannya, seorang mantan petinju nasional Jerman dan 
seorang insinyur juga turut bersyahadat. 


Saat dikuntit Del Spiegel, Luhr usai menunaikan shalat Jumat dan shalat 
sunah lain sebelumnya. "Anda akan menjumpai banyak Muslim kelahiran Jerman 
di beberapa masjid di Berlin pada hari ini," ujar Luhr. 


Luhr besar dalam tradisi Kristen yang ketat. Namun ia beruntung, keluarga 
yang membaptisnya saat dia kanak-kanak itu adalah keluarga yang demokratis. 
"Tak ada masalah saya memeluk agama ini," ujarnya. 


Baginya, Islam adalah agama yang benar-benar baru. Ketika kecil hingga 
remaja, ia yang besar di lingkungan kelas menengah di Berlin, mengaku tidak 
pernah mengenal atau bahkan mendengar ada agama bernama Islam. 


Persinggungan pertamanya dengan Islam adalah saat ia masuk universitas 
untuk belajar ilmu kedokteran. Beberapa rekan kuliahnya adalah Muslim. 
Namun saat itu ia belum tergerak mempelajari Islam. 


Usai kuliah, ia membuka praktik sambil mengambil spesialisasi pengobatan 
naturopatik di universitas yang sama. Saat penghasilannya mulai bagus, ia 
menikahi pacarnya, Katrin, seorang penari profesional. 


Hingga suatu hari, kedua pasangan ini mengalami kegelisahan dalam hidupnya. 
Kejadian bermula saat suatu hari datang pasien dalam kondisi kritis ke 
ruang praktiknya, akibat terjatuh saat pemancangan sebuah pilar. "Tiba-tiba 
ada kekosongan dan keputusasaan dalam hidup kami," ujarnya. 


Ia dan istrinya memutuskan untuk kembali menekuni agama yang telah lama 
ditinggalkannya, Kristen. Bahkan, pasangan ini pun mempelajari Buddhisme 
dan ajaran Dalai Lama. Tapi ia tak kunjung menemukan jawaban 
kegelisahannya. 


Ingin tampil beda 


Menurut laporan Ackermann, proses penjalanan batin seorang Mualaf di Jerman 
umumnya sama; mereka adalah penganut Kristen, yang menemukan kebingungan 
tentang ajaran agamanya. Setelah mencari di banyak keyakinan, hati mereka 
tertambat pada Islam. 


"Memang ada beberapa ajaran yang membuat penganutnya malah jadi ragu dengan 
kebenaran ajaran itu," ujar Mohammed Herzog, imam di Masjid Berlin yang 
sebelumnya adalah seorang pendeta. Ia sendiri pernah mengalami kebuntuan 
pemikiran, sampai akhirnya menemukan Islam tahun 1979. 


Ia mengakui, jumlah mualaf di Jerman kini berlipat. Satu dasawarsa lalu, 
jumlah mualaf baru di Masjid Berlin paling hanya 10 orang pertahun. "Kini 
jumlahnya lebih dari dua kali lipatnya," ujar Herzog. Sebagian penganut 
baru Islam adalah orang-orang seperti Luhr, dan sebagian lagi adalah ateis. 


Sebuah kajian mengenai kehidupan Muslim di Jerman menunjukkan fenomena 
pindah agama di kalangan masyakarat kelas menengah Jerman yang angkanya 
cukup mencengangkan. Kendati media "rajin" memberitakan tentang terorisme 
yang dikaitkan dengan Islam, kekerasan dalam rumah tangga Muslim, dan bom 
bunuh diri, namun sedikitnya 4.000 warga negara Jerman menjadi Muslim 
antara bulan Juli 2004 hingga Juni 2005, saat penelitian dilakukan. 


Penelitian yang didanai Kementerian Dalam Negeri Jerman ini menyebut, 
jumlah mualaf meningkat empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya. 
"Justru di saat kebencian di Barat terhadap Islam makin memuncak," tulis 
laporan itu. 


Mereka berislam atas kesadaran sendiri, dan sebagian besar mualaf adalah 
dari kalangan terpelajar. "Bila tiga tahun lalu kebanyakan converter adalah 
wanita yang berpindah agama karena pernikahan, maka sekarang banyak juga 
kaum pria dari kalangan kelas menengah Jerman yang beralih menjadi Muslim" 
tulis laporan itu. 


Hasil penelitian ini tak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang 
dilakukan Monika Wohlrab-Sahr, seorang sosiolog agama. Bedanya, dia tak 
hanya memotret fenomena ini di Jerman, tetapi juga Amerika Serikat. Di dua 
negara ini, Islam tumbuh dengan pesat justru setelah Tragedi 11 September. 


Menurut pengamatan Wohlrab Sahr, para mualaf sebelum berislam umumnya 
mengalami "krisis personal" dan menemukan kedamaian justru dalam Islam, 
agama yang dicap banyak orang sebagai agama teroris. Motifasi lainnya 
adalah pencarian agama yang lebih "pas" buat dirinya. "Dia ingin beda dari 
yang lain," ujarnya. 


Dalam opini Wohlrab-Sahr, meski Kristen juga menawarkan kedamaian batin, 
namun Islam lebih menarik sebagai jalan keluar dari keruwetan hidup. Hal 
ini ditunjang dengan media yang terus-menerus memperdebatkan tentang 
Muslim. "Islam menjadi makin menarik sebagai sebuah genuine alternative 
tambah Wohlrab-Sahr. 


Namun, alasan seseorang berislam tentu berbeda-beda, meski Wohlrab-Sahr 
bilang mirip. Salim Abdullah ia menolak menyebutkan nama aslinya menyatakan 
tertarik pada Islam karena ajaran ini paling jelas merinci tuntunan hidup 
bagi umatnya. Sedangkan Luhr yang selalu membawa sajadah di mobil Alfa 
Romeo GT terbarunya menyatakan, "Meski Islam dinilai mundur dari peradaban 
Barat, namun ajarannya tetap relevan hingga saat ini." 


Bagaimana para Mualaf menyesuaikan diri dengan lingkungannya setelah 
menjadi Muslim? Dalam banyak hal, tak perlu disangkal, pasti terjadi 
benturan. Islam mempunyai banyak aturan yang bertentangan dengan budaya 
Barat. Sebut misalnya dalam penyikapan terhadap alkohol, seks bebas, dan 
ibadah yang dalam sehari sampai lima kali jumlahnya. 


Namun Wohlrab-Sahr menyatakan tidak ada kendala yang berarti. "Tergantung 
bagaimana cara mereka menafsirkan ayat-ayat Alquran," ujarnya. Menurut dia, 
para mualaf ini tidak menunjukkan "kerepotan" harus beribadah lima kali 
sehari. 


Beda dengan persepsinya bahwa busana untuk beribadah umat Islam sangat 
"ruwet" ia justru menemukan pada mualaf dengan gampang beribadah dengan 
memakai celana jins atau busana yang biasa mereka kenakan sehari-hari. 
"Bagi wanita, mereka hanya perlu menambahkannya dengan kaus kaki saja," 
ujarnya. Ia justru menyebut, Muslim yang dari lahir sudah berislam justru 
lebih liberal. 


Di akhir laporannya, Ackmenn memotret fenomena seperti yang diceritakan 
Wohlrab-Sahr: 


Suatu siang di sebuah kantor pengacara di Hamburg. Nils Bergner, pria 
berusia 36 tahun, menjaga shalatnya sebanyak lima waktu, kendati kesibukan 
kantor menyita waktunya. Di kantor itu, Bergner satu ruangan dengan 
rekannya, seorang Muslim asal Turki bernama Ali Ozkan. Mereka kerap pergi 
shalat Jumat ke masjid terdekat, namun di luar hari Jumat, Bergner lebih 
sering shalat seorang diri. "Urusan pekerjaan selalu menyita waktu saya," 
ujar Ozkan, "Shalat pertama pukul 06.00, ...itu terlalu pagi bukan? 


Cerita Ackmenn tak berhenti sampai di sini. Malam harinya, ia mengundang 
dua nara sumber Muslimnya itu untuk makan malam di sebuah rumah makan. 
Bergner menolak rumah makan pertama karena "menyajikan terlalu banyak bahan 
haram." 


Akhirnya mereka sepakat di sebuah rumah makan mentereng di pusat kota 
Berlin. Makanan utama telah habis dilahap, kemudian pelayan datang membawa 
desert berupa tiramisu. Bergner menolak. Alasannya, "Terima kasih. Dalam 
resepnya, memakai alkohol." Ozkan mulai tak sabar dengan ulah sahabatnya. 
"Ayolah, jangan terlalu serius," ujarnya sambil mengigit cake itu, "Makan 
saja, tidak apa-apa. Alkohol hanya digunakan sebagai aroma." 


Bergner mendelik. Dia tetap membiarkan tiramisunya tak tersentuh, sampai 
mereka keluar dari rumah makan itu... n tri/del spiegel 


(tri ) 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke