http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=279234&kat_id=16

Mengantisipasi Bencana Rumah Tangga 

Oleh : 



Kustiariyah
Dosen Institut Pertanian Bogor

Harian Republika (7/1/2007) melaporkan bahwa delapan
dari 100 keluarga, bubrah. Laporan ini menunjukkan
semakin tingginya angka perceraian yang pada 2005 lalu
mencapai 8,5 persen, sedangkan tahun 2000 pada angka
6,9 persen. Banyaknya infotainmen yang menayangkan
kawin-cerai selebriti di media elektronik barangkali
lebih memperjelas hal tersebut.

Fenomena ini terjadi dengan berbagai sebab, di
antaranya adalah perubahan nilai di masyarakat. Pada
tahun 2000, cerai talak sebesar 64 persen, sedangkan
tahun 2005 cerai gugat justru meningkat menjadi 63
persen. Kemandirian (ekonomi) perempuan disinyalir
sebagai salah satu perubahan tersebut. Pada kondisi
tersebut perempuan tidak lagi takut untuk menjadi
janda atau single parent. Yang juga menarik untuk
dicermati ternyata selingkuh menjadi penyebab utama
terjadinya kasus perceraian yaitu 9,16 persen atau
rata-rata setiap dua jam ada tiga pasangan suami istri
(pasutri) bercerai karena selingkuh. Jauh melebihi
angka poligami sebagai penyebabnya, yang pada lima
tahun terakhir bertahan pada kisaran 0,5 persen.

Dampak perceraian
Dalam pandangan agama (Islam), perceraian adalah
sesuatu yang dihalalkan (boleh) tetapi dibenci oleh
Allah, atau dengan kata lain sebagai pintu darurat.
Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak
perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri,
tetapi juga anak-anak. Anak-anaklah yang sangat
merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang
tuanya. Perkembangan psikologi anak-anak brokenhome
yang tidak sehat, seringkali berujung dengan narkoba.

Kurangnya perhatian orang tua (tunggal) tentu akan
mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Merasa kasih
sayang orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan
mencari perhatian dari orang lain atau bahkan ada yang
merasa malu, minder, dan tertekan. Anak-anak tersebut
umumnya mencari pelarian dan tidak jarang yang
akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas.

Demi mendapatkan kasih sayang dari sosok sang ayah
yang tidak pernah dirasakannya, seorang siswi SMU rela
menjadi pemuas nafsu om-om hidung belang. Akibatnya,
aborsi di tingkat remaja mencapai angka yang
fantastis, yakni dari kasus aborsi yang mencapai 2,3
juta per tahun, 20 persennya dilakukan oleh remaja.
Lembar fakta yang diterbitkan oleh Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), United Nations
Population Fund dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa setiap
tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19
tahun melahirkan. 

Orang tua sebagai pendidik pertama dalam sebuah rumah
tangga, mempunyai tanggung jawab besar untuk menekan
terjadinya dekadensi moral di kalangan generasi muda
tersebut. Jika mereka (orang tua) lebih disibukkan
dengan permasalahan perceraian --soal harta gono-gini
misalnya-- maka wajar kalau masalah putra-putri mereka
terabaikan.

Antisipasi bencana
Perceraian dapat dikatakan sebagai prahara atau
bencana yang menimpa keutuhan rumah tangga. Pernikahan
yang dilangsungkan untuk membina keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah, diharapkan nantinya akan
membangun sebuah masyarakat yang tangguh. Betapa
tidak, generasi unggul akan lahir dari keluarga yang
baik dan umumnya kerusakan generasi juga berawal dari
kehancuran keluarga.

Mengantisipasi terjadinya prahara dalam rumah tangga
merupakan tanggung jawab semua pihak, baik itu negara,
masyarakat, terlebih pasutri itu sendiri. Bagi calon
pasutri, pemahaman yang mendalam tentang pernikahan
dan segala hal yang terkait di dalamnya merupakan
bekal untuk menjaga keutuhan biduk rumah tangganya,
sebesar apapun badai yang menghadang. Riak-riak kecil
yang dihadapi adalah bumbu yang akan menjadikan
hubungan suami istri semakin solid.

Rumah tangga merupakan ladang untuk memperbanyak
pahala. Bahkan di rumah tangga lah ladang jihad
perempuan, sebagaimana sabda Nabi. Pandangan yang
demikian akan senantiasa menghiasi rumah tangga yang
dibangun dengan niat untuk beribadah. Kesenjangan
ekonomi antara suami-istri yang sering terjadi karena
istri bekerja, seharusnya tidak menjadi masalah. Rumah
tangga adalah tanggung jawab bersama, tidak perlu
menonjolkan siapa yang lebih berjasa atau lebih banyak
berkorban.

Tanggung jawab berikutnya ada pada masyarakat atau
lingkungan sosial tempat pasutri tersebut berada.
Kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
akan membantu meluruskan jika terjadi penyimpangan,
misalnya kepedulian tetangga untuk turut menjaga
sebuah keluarga yang suaminya bekerja di luar kota
atau berlayar yang memakan waktu bulanan, misalnya.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan era sekarang,
di mana antartetangga pun tidak saling mengenal,
alih-alih melakukan kontrol sosial.

Berikutnya adalah negara, sebagai institusi yang
menaungi rumah tangga dan masyarakat. Departemen Agama
misalnya, bertanggung jawab melakukan pembinaan agama
bagi masyarakat termasuk di dalamnya makna pernikahan
dan hak serta tanggung jawab suami-istri. Institusi
negara harus dapat berperan mejadi pembina dan
sekaligus pengayom bagi rakyatnya.

Selain hal tersebut, negara juga dapat memberikan
sanksi bagi warga negaranya yang melanggar hukum.
Terkait dengan selingkuh sebagai penyebab terbesar
terjadinya kasus perceraian, menunjukkan bahwa negara
dapat berperan besar dalam menjaga keutuhan sebuah
rumah tangga sebagai komponen pembangun bangsa yang
kokoh. Selingkuh adalah salah satu bentuk pelanggaran
hukum, karenanya negara harus memberikan sanksi.

Pemberian sanksi tidak selalu identik dengan hukuman
atau penjara, tetapi yang terpenting adalah esensinya
untuk menjadikan pelaku (yang bersalah) dapat mengakui
kekhilafannya dan segera memperbaiki diri. Selain itu,
diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi orang lain,
sehingga tidak terjerat untuk melakukan kesalahan yang
serupa.

Peluang terjadinya perselingkuhan sangat terkait
dengan longgarnya pergaulan sosial di suatu
masyarakat, seperti orang bilang tresna jalaran saka
kulina. Masyarakat yang terjangkit TTM alias teman
tapi mesra, umumnya lebih mengarah pada pelanggaran
ketimbang muamalah yang bermanfaat.



 

Dan cinta (mahabbah) yang kita maksud adalah keinginan untuk memberi dan tidak 
memiliki pamrih untuk memperoleh imbalan. Cinta bukan komoditas, tetapi sebuah 
kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan (Toto Tasmara)
pustaka tani
  nuraulia



 
____________________________________________________________________________________
Expecting? Get great news right away with email Auto-Check. 
Try the Yahoo! Mail Beta.
http://advision.webevents.yahoo.com/mailbeta/newmail_tools.html 

Kirim email ke