>Oleh karena itu, kami pribadi sangat merindukan suatu pendidikan bagi >kami maupun putra putri kami, suatu pendidikan yg berkualitas, namun >wajar.
Kalau kita bicara soal pendidikan seperti yang lazim ada di sekitar kita, memang sulit untuk menjadi murah. Saya bagi sedikit informasinya disini - kebetulan orang tua saya anggota pelindung di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, di daerah Jakarta Selatan. Ini karena memang biaya untuk menyelenggarakan pendidikan seperti ini besar - biaya gedung saja sudah bukan main. Harga tanah juga sangat tinggi, apalagi di kota besar. Sedangkan membeli tanah untuk sekolah tidak bisa sedikit-sedikit, karena nanti masalah pada saat pengembangannya - ada sebuah SDIT yang bagus, dan diminta oleh para orang tua murid untuk membuat SMP nya juga. Tapi tidak bisa lagi menambah bangunan untuk SMP karena tidak ada lahannya lagi, karena dulu membeli tanah pada awalnya hanya sedikit. Baru kombinasi 2 hal ini saja sudah bisa menembus angka 2 milyar rupiah dengan mudah. Belum lagi kesejahteraan guru - tentu kita tidak tega jika para guru anak-anak kita hidup dengan maisyah yang pas-pasan, atau malah kekurangan. Gaji guru adalah salah satu pengeluaran terbesar sekolah. Dan berbagai biaya lainnya - fasilitas sekolah, overhead bulanan, dst. Kini sudah jelas betapa besarnya biaya sekolah, jadi memang sulit bagi sekolah itu untuk murah. Karena itu, banyak negara yang men subsidi sekolahnya, sehingga pendidikan bisa menjadi gratis. Kalau tidak begitu, ya seperti di Indonesia ini, mahalnya bukan main. Jadi kalau mau pendidikan murah, di dunia yang serba mahal begini (contoh: daerah kota); maka kita harus bisa berpikir kreatif. Thinking outside of the box, tidak terkotak/terbelenggu dengan kelaziman yang sudah ada. Kalau belum bisa begini, ya jadinya cuma bisa komplain, tapi tidak ada solusinya. Ini saya berikan salah satu contoh solusinya; sekolah swadaya. Ini dulu kami lakukan di sewaktu kami masih berdomisili di Inggris. Kami prihatin karena porsi pendidikan agama anak-anak kami tidak ada, maklum, negara sekuler / atheis ya. Sedangkan waktu kami tidak mencukupi untuk memberikan porsi pendidikan agama yang baik. Solusinya adalah dengan membuat sekolah sendiri. Lokasi sekolah: Berpindah-pindah setiap harinya, yaitu di rumah-rumah para murid. Guru: Para orang tua, secara bergilir. Materi: Menggunakan yang sudah ada. Juga ada materi agama (akidah,akhlak,dll) untuk anak-anak yang dibuat sendiri oleh kawan-kawan di Inggris. Jadinya ya meniru prinsip Aa Gym: 3M, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang kecil, dan Mulai dari sekarang; walaupun kita ketika itu belum mendengarnya. Tidak perlu menunggu subsidi dari pemerintah, sudah bisa langsung berjalan. Alhamdulillah hasilnya sangat bagus. Para anak-anak senang, karena suasana belajarnya tidak kaku seperti di sekolah. Dan mereka tetap bisa berkumpul dengan orang tua mereka. Prestasi mereka juga cukup bagus untuk usia mereka - membaca Al Quran, hafalan, doa-doa, dan berbagai materi agama lainnya. Orang tua juga senang, karena hanya perlu mengajar seminggu sekali, jadi tidak terlalu menghabiskan waktu mereka. Biayanya pun, tentu saja, sangat hemat. Dan, silaturahmi antara keluarga yang berpartisipasi jadi terjalin sangat erat. Alhamdulillah. Nah, kalau untuk sekolah konvensional, saya sudah pernah mendengar beberapa yang seperti ini juga yang dijalankan oleh para aktivis. Dulu ada yang di Bogor, sayang detilnya terselip di komputer saya (harus dicari dulu). Lalu, ada juga kawan saya yang sekarang sedang menjalankan sekolah swadaya khusus untuk anak-anak jalanan di Menteng Atas. Biayanya hanya Rp 200.000 sebulan untuk sekitar 50 murid. Tapi, mencari aktivis seperti ini agak sulit, karena biasanya mereka hanya bisa melakukan ini ketika masih bujangan. Ketika sudah berkeluarga, maka biaya hidup mereka meningkat drastis, sehingga terpaksa harus ganti pekerjaan yang menghasilkan pemasukan finansial. Jadi, yang cukup feasible adalah yang swadaya dari para orang tua sendiri, seperti yang kami lakukan sebelumnya. Ini hanya satu ide saja, saya yakin tentu ada solusi lainnya yang mungkin malah lebih bagus lagi. Silahkan dibagi di forum ini, supaya bisa bermanfaat untuk saudara-saudara kita disini. >Ikhwan wal akhwat rahimakulullah >Marilah kita ber-istighfar dan menjauhi, hal2x yg berbau materialistis, :-) menghakimi materialistis, ini perlu berhati-hati. Karena manusia cenderung subyektif, dan kita juga tidak diberi kemampuan untuk mengetahui isi hati seseorang. Jadi, adakalanya kita menuduh seseorang materialistis, ternyata niat dia sebenarnya adalah mengumpulkan harta agar bisa disalurkan kembali kepada yang tidak mampu. Dst. Kalau ternyata kasusnya begini, maka walhasil kita jadi terjerumus ke budaya klise bangsa Melayu yang diingatkan oleh pak Mahathir Muhammad : "saling menjatuhkan / mengecam antara sesama melayu, bukannya saling mendukung". Well, kalau saya lihat, sepertinya ini juga budaya umat Islam di berbagai tempat. Makanya musuh-musuh Islam bisa berjaya, karena kita sibuk gontok-gontokan antara kita sendiri :-) Juga, kita harus ingat, bahwa kita hidup di dunia. Karena itu, kita memerlukan dunia agar bisa menjayakan agama ini. Jangan kita malah meniru para sufi, yang sampai menafikan dunia :-) Coba kita ingat, bagaimana akan beratnya dakwah Rasulullah saw, kalau tidak ada kaum muslimin yang berada seperti Utsman bin Affan ra, Abdurrahman bin Auf, dll. Saya pernah dinasehati oleh seorang ustadz, agar mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, sehingga umat Islam bisa pindah ke posisi yang di atas; menjadi subyek, tidak lagi menjadi obyek. Yang penting adalah, agar kita bisa selalu menggenggam dunia di tangan kita, dan tidak menaruhnya di hati kita. Sekali lagi, saya menghimbau (terutama diri saya sendiri yang sering khilaf ini), agar berhati-hati sebelum men cap / menghakimi sesuatu. Coba dulu melihat permasalah ybs dari berbagai sudut pandang. Jangan baru melihat dari satu sisi, lalu langsung menjatuhkan fatwa :-) contohnya barusan ini, ada ulama-ulama yang sampai mengharamkan suami istri dalam kondisi tanpa busana (padahal Nabi saw tidak pernah mengharamkannya). Padahal ini ulama yang terpelajar, dan sehari-harinya hanya mengurusi agama, tapi masih bisa juga terjerumus. Satu contoh lagi adalah fatwa MUI mengenai HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang kurang berpihak kepada umat; kelihatannya karena kurang mendapatkan masukan dari bawah. Tapi saya yakin jika ada yang bisa menyampaikan, MUI tidak akan segan untuk merevisinya. Dst. >pemahaman pola pikir kapitalis, sosialis Hm.. setahu saya, Islam itu termasuk adalah agama yang paling sosialis lho. Sangat berpihak kepada rakyat kecil, dan adil. Ini salah satu sebab saya bahagia beragama Islam. Wallahua'lam. Salam, Harry ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah. Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/