Mas Ibrahim yg baik,
Panjang dan lengkap nih ulasan soal Cina dan Tionghoa.
Sebenarnya masalahnya bisa dibuat sangat sederhana dan saudaraku
yg ber etnis Tionghoa juga nggak usah 'cengeng' dengan istilah2
Cina dll itu.
Sederhana bagaimana kalau orang hitam AS misalnya mggak suka
dibilang black american , lebih suka di sebut afro american padahal
kenyataannya hitam ya hitam gitu kan ?
Kalau yg senengnya nyakitin orang lain barangkali milih nyebut
orang hitam amerika , tapi kalau lagi kampanya pemilu yah banyak
yg mau nyenengin si hitam itu dengan nyebut afro american...
Jadi seperti yg suka saya tulis, kita termasuk mau berbuat yg menyenang
kan orang lain , atau maunya nyakitin orang lain.
Jelas orang etnis Tionghoa di Indonesia lebih seneng dipanggil tionghoa
dibandingkan dipanggil cina atau cainis [ chinese ] apalagi cinak .
Apa susahnya menyenangkan orang Tionghoa dengan nggak manggil
cinak ? Ruginya apa sih ?
Sebaliknya buat yg etnis Tionghoa , ruginya apa sih dipanggil cinak ,
ya biarkan aja, nggak semua yg kita seneng bisa kita dapat , nggak semua
yg kita nggak seneng bisa kita tolak gitu kan ?
Kalau afro american disini , kebanyakan memang kalau disebut hitam,
merasa terhina , apalagi kalau dihubungkan dengan bodoh, kriminal dll
Kalau orang Tionghoa , paling2 digolongkan tkg nyogok, komunis [ dulu ?]
nggak nasionalis, sapi perahan dll yg nggak jelek2 amat kali yah ...
Jadi pendapat saya biarkan aja,suka2 masyarakat dah mau tionghoa, cina
cainis, cines, cinak , malah jadi tahu orang simpati atau tidak pada anda...
Salam , martin - indiana
- Original Message
From: IBRAHIM ISA <[EMAIL PROTECTED]>
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Sent: Monday, October 23, 2006 12:13:42 PM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS]IBRAHIM ISA -- âBERBAGI CERITAâ - MENGAPA KATA
'CINA' DIANGGAP . . . . .
IBRAHIM ISA -- "BERBAGI CERITA"
Senin, 23 Oktober, 2006.
Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?
Sekitar 'KEBEBASAN' Media kita.
BELUM LAMA KUTULIS sebuah 'Kolom' -- mempersoalkan sekitar
masalah apa sesungguhnya yang menyebabkan penggunaan kata
'Tiongkok' dan 'Tionghoa' diubah oleh Orba, menjadi 'Cina'. Paling
sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik
artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu
juga dimuat di media di Indonesia?
Satu tanggapan lagi, oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia
setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari
pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa
kata 'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap
golongan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam
bahasa asing untuk kata 'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan juga
kata yang hampir serupa dengan kata 'Cina', misalnya 'China' â
dalam bahasa Inggris, atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda, atau
'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja.
* * *
Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai
tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja, melakukannya dalam satu
ruangan atau rubrik, yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'.
Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah
tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia.
Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa
senang bila tulisanku itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan
keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca
orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang betanya sambil
menegaskan, bila menulis-nulis di pelbagai mailist di media internet
itu, atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional,
apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas:
Tidak. Aku tidak pernah dapat imbalan uang. Penyebabnya mengapa aku
menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA'
dengan pembaca. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang
dianggap benar dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin
disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku
suatu hoby, belajar berani bertanggung- jawab terhadap apa yang
ditulis. Juga karena berniat untuk ambil bagian dalam proses
'pelurusan sejarah' negeri kita.
Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku
begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku
itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Sehingga ia
mengirimkannya kepada temannya untuk dimuat di surat kabarnya, yang
kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau
Sinar Harapan. Temanku itu kecewa dan mengeluh. Pimpinan redaksi
yang ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat
kabarnya, --- tanpa penjelasan apa-apa..
Menurut dugaan temanku, mungkin karena artikelku mengenai tema
pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia, itu terlalu
'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu penulis
artikel yang bersangkutan tergolong atau dianggap