[mediacare] Re: �BERBAGI CERITA� - MENGAPA KATA 'CINA' DIANGGAP . . . . .

2006-10-26 Terurut Topik Martin Widjaja
Mas Ibrahim yg baik,

Panjang dan lengkap nih ulasan soal Cina dan Tionghoa.
Sebenarnya masalahnya bisa dibuat sangat sederhana dan saudaraku
yg ber etnis Tionghoa juga nggak usah 'cengeng' dengan istilah2 
Cina dll  itu.

Sederhana bagaimana kalau orang hitam AS misalnya mggak suka 
dibilang black american , lebih suka di sebut afro american padahal
kenyataannya hitam ya hitam gitu kan ?
Kalau yg senengnya nyakitin orang lain barangkali milih nyebut 
orang hitam amerika , tapi kalau lagi kampanya pemilu yah banyak
yg mau nyenengin si hitam itu dengan nyebut afro american...
Jadi seperti yg suka saya tulis, kita termasuk mau berbuat yg menyenang
kan orang lain , atau maunya nyakitin orang lain.
Jelas orang etnis Tionghoa di Indonesia lebih seneng dipanggil tionghoa
dibandingkan dipanggil cina atau cainis [ chinese ] apalagi cinak .
Apa susahnya menyenangkan orang Tionghoa dengan nggak manggil 
cinak ? Ruginya apa sih ?
Sebaliknya buat yg etnis Tionghoa , ruginya apa sih dipanggil cinak , 
ya biarkan aja, nggak semua yg kita seneng bisa kita dapat , nggak semua
yg kita nggak seneng bisa kita tolak gitu kan ?
Kalau afro american disini , kebanyakan memang kalau disebut hitam, 
merasa terhina , apalagi kalau dihubungkan dengan bodoh, kriminal dll
Kalau orang Tionghoa , paling2 digolongkan tkg nyogok, komunis [ dulu ?]
nggak nasionalis, sapi perahan dll yg nggak jelek2 amat kali yah ...
Jadi pendapat saya biarkan aja,suka2 masyarakat dah mau tionghoa, cina
cainis, cines, cinak , malah jadi tahu orang simpati atau tidak pada anda...

Salam , martin - indiana






- Original Message 
From: IBRAHIM ISA <[EMAIL PROTECTED]>
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Sent: Monday, October 23, 2006 12:13:42 PM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS]IBRAHIM ISA -- “BERBAGI CERITA” - MENGAPA KATA 
'CINA' DIANGGAP . . . . .

IBRAHIM ISA -- "BERBAGI CERITA"
Senin, 23 Oktober, 2006.

Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?
Sekitar 'KEBEBASAN' Media kita.

BELUM LAMA KUTULIS sebuah 'Kolom' -- mempersoalkan sekitar
masalah apa sesungguhnya yang menyebabkan penggunaan kata 
'Tiongkok' dan 'Tionghoa' diubah oleh Orba, menjadi 'Cina'. Paling
sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik 
artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu
juga dimuat di media di Indonesia? 

Satu tanggapan lagi, oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia 
setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari
pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa
kata 'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap
golongan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam
bahasa asing untuk kata 'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan juga
kata yang hampir serupa dengan kata 'Cina', misalnya 'China' –
dalam bahasa Inggris, atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda, atau
'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja.

* * *

Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai
tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja, melakukannya dalam satu
ruangan atau rubrik, yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'.

Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah
tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia.
Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa
senang bila tulisanku itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan
keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca
orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang betanya sambil
menegaskan, bila menulis-nulis di pelbagai mailist di media internet
itu, atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional, 
apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas:
Tidak. Aku tidak pernah dapat imbalan uang. Penyebabnya mengapa aku
menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA' 
dengan pembaca. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang
dianggap benar dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin
disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku
suatu hoby, belajar berani bertanggung- jawab terhadap apa yang
ditulis. Juga karena berniat untuk ambil bagian dalam proses
'pelurusan sejarah' negeri kita.

Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku
begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku
itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Sehingga ia
mengirimkannya kepada temannya untuk dimuat di surat kabarnya, yang
kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau
Sinar Harapan. Temanku itu kecewa dan mengeluh. Pimpinan redaksi 
yang ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat
kabarnya, --- tanpa penjelasan apa-apa.. 

Menurut dugaan temanku, mungkin karena artikelku mengenai tema
pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia, itu terlalu
'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu penulis
artikel yang bersangkutan tergolong atau dianggap 

[mediacare] MALAYSIA: Debate over tycoon's newspaper monopoly

2006-10-26 Terurut Topik Holy Uncle
MALAYSIA: Debate over tycoon's newspaper monopoly
Chinese groups say press freedom will suffer after Tiong Hiew King's latest 
acquisition of two more major Chinese dailies

Straits Times
Saturday, October 21, 2006

By Leslie Lau

Kuala Lumpur --- The sale of Nanyang Press Holdings to timber tycoon Tiong 
Hiew King has sparked concerns among the Chinese community here over his 
near monopoly of the Chinese newspaper market.

Tan Sri Tiong, from Sarawak, this week added the publisher of Nanyang Siang 
Pau and China Press to his stable of Chinese newspapers worldwide.

Critics of the purchase are concerned that Tan Sri Tiong, 70, who also owns 
the top-selling Sin Chew Daily and Guangming Daily, now controls Malaysia's 
four major Chinese dailies.

His close association with the Malaysian Chinese Association (MCA), from 
which he bought Nanyang, has also raised concerns about the independence of 
the Chinese newspapers.

"That all top four Chinese dailies are now concentrated in the hands of a 
party-business alliance is detrimental to press freedom and democratic space 
in Malaysia," a group of 45 Chinese associations said in a joint statement 
issued after the acquisition was announced late on Tuesday.

"This calls for reforms in media laws and the introduction of anti-monopoly 
clauses."

Signatories include influential Chinese associations such as the Civil 
Rights Committee of the Selangor Chinese Assembly Hall and the education 
movement Dong Zhong.

A spokesman for the group told The Straits Times: "The Chinese media has 
always been more independent than the English and Malay press. Now there 
will be no avenue for stories which are critical of the government."

Nanyang Siang Pau, considered an icon of Chinese Malaysian culture and 
language, was bought by the MCA in 2001 in a move which sparked similar 
protests over a political party controlling the newspaper.

This led to a serious split in the party, which was resolved only when party 
president Ling Liong Sik, who supported the purchase, and his rival, deputy 
president Lim Ah Lek, who opposed it, stepped down in 2003.

Datuk Seri Ong Ka Ting, who took over as MCA president, is said to have 
close ties with Tan Sri Tiong. The sale of the paper had been expected by 
many here.

"Why sell it to Tiong? The Chinese knew it would happen in 2001. Time has 
revealed all," former MCA vice-president Datuk Chua Jui Meng said.

And Federation of Chinese Associations in Malaysia president Lim Gait Tong 
said: "For the past few years, Nanyang Siang Pau and China Press were 
considered to be MCA party papers. This acquisition may be a good thing but 
the community is worried about a monopoly."

Tan Sri Tiong is listed by Forbes Magazine as the 20th richest man in 
South-east Asia, with assets last year estimated to be worth US$1.1 billion 
(S$1.7 billion).

He has timber concessions in Papua New Guinea, central Africa, Brazil, New 
Zealand and Malaysia and owns one of the world's biggest salmon producers, 
the New Zealand King Salmon Company.

He also controls the Hong Kong Ming Pao and Chinese news magazine Yazhou 
Zhoukan. Observers say his interests in Chinese newspapers around the world 
reflect his ambition to build a global Chinese publishing empire.

And in a statement issued this week following his purchase of Nanyang, Tan 
Sri Tiong appeared to confirm this.

"Chinese-language media companies need strong group power to compete. We 
hope to continue expanding the Chinese media industry," he said.

http://www.asiamedia.ucla.edu/article.asp?parentid=55943

_
Find a local pizza place, music store, museum and more…then map the best 
route!  http://local.live.com?FORM=MGA001




Web:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

Klik: 

http://mediacare.blogspot.com

atau

www.mediacare.biz

Untuk berlangganan MEDIACARE, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/mediacare/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
mailto:[EMAIL PROTECTED] 
mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/