[mediacare] Jembatan Itu Bernama Film Dokumenter
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=292145kat_id=306 REPUBLIKA Minggu, 06 Mei 2007 Jembatan Itu Bernama Film Dokumenter Kalau diminta mendeskripsikan sosok orang Papua, apa yang akan Anda jabarkan? Bisa jadi, Anda akan menggambarkan orang tanpa busana dengan koteka sebagai penutup kemaluan. Jika memang itu yang terbesit di pikiran, Anda benar-benar tidak sendiri. Sebagian besar orang Indonesia dan masyarakat di negara lain juga masih memiliki gambaran yang homogen tentang orang Papua. Di Indonesia, rezim Orde Baru yang menempelkan embel-embel daerah tertinggallah yang menyembulkan citra 'terbelakang' pada Papua. Sementara itu, mata warga dunia terbiasa melihat masyarakat Papua yang difilmkan seperti itu. James Bourk Hoesterey merasakan betul adanya stereotipe tersebut. Bahkan, Discovery Channel dan Travel Channel sekalipun masih berpandangan sesempit itu. ''Meski sudah saya beri pandangan yang lebih luas, mereka tak peduli,'' sesal Hoesterey, antropolog yang kerap menjadi konsultan pembuatan film dokumenter di Indonesia dan Afrika. Desakan pasar, lanjut Hoesterey, membuat film dokumenter lebih sering menyorot orang Papua yang berkoteka. Lantas, narasi barat menuntut adanya konflik, klimaks, dan resolusi. ''Mereka juga menuntut judul yang terdengar 'menjual' dan menetapkan sejumlah parameter yang harus dipenuhi seperti genrenya mesti etnografik televisi, pengambilan gambar yang short cuts, serta time frame tertentu.'' Film Pig, Plane, and Brideprice mewakili stereotipe yang berkembang di pihak produser film dokumenter. Film ini masih berkutat pada sosok orang Papua yang berkoteka. Hanya segelintir orang yang sudah berpakaian lengkap. Film yang awalnya diberi judul Cargo Cult Comes of Age itu menggambarkan penggalan kehidupan sebuah keluarga dari suku Me yang tinggal di pegununugan. Meski jauh dari jamahan moderenisasi, hidup mereka ternyata tidak sederhana. Sama seperti komunitas lainnya, orang-orang primitif di Papua juga terbelit kompleksitas hidup dan persoalan sosial. Mililu, salah satu tokoh, tertangkap kamera sedang bersitegang dengan istrinya. Rupanya, ia ingin memiliki istri kedua. ''Satu istri saja tak cukup buat saya,'' kata Mililu. Istri Mililu geram. Ia lantas mempertanyakan mahar yang belum juga dibayarkan kepadanya. Di tengah pembicaraan tanpa nada tinggi itu, putra mereka berujar, ''Saya mau pindah ke rumah paman saja. Ayah dan ibu bertengkar melulu.'' Mencoba mematahkan stereotipe terhadap orang Papua, Aryo Danusiri memfilmkan kehidupan pemuda yang tinggal di pesisir. Lukas' Moment mewakili sisi lain sosok orang Papua. ''Selama ini, secara imajinasi, Papua pantai jarang terekspos,'' kata direktur Ragam Media Network itu. Lukas' Moment yang berdurasi 60 menit menampilkan citra lain Papua. Ini menggambarkan kehidupan keseharian yang intim dan observasional suku Marind yang bermukim di pinggiran kota Merauke, selatan Papua. Ceritanya difokuskan kepada Lukas, seorang nelayan muda. Untuk mendobrak stereotipe, Lukas' Moment digarap Aryo dengan ritme anti-TV yang serba cepat. Tokoh Lucas dibiarkan tampil apa adanya. ''Kamera menjadi alat menangkap sosok Lucas yang memiliki jiwa wirausaha namun kurang perhitungan dengan lebih berempati,'' urai Aryo. Lukas ingin sekali membangun usaha distribusi udang yang mandiri, lepas dari ketergantungan pada jaringan bisnis tengkulak. Bersama kawan-kawannya, ia menjala udang --pekerjaan berat yang membuat perutnya cepat lapar. ''Perjalanan bisnis Lukas yang tersendat-sendat menunjukkan betapa pentingnya orang Papua mengenyam pendidikan,'' ungkap Aryo. Para pembuatnya menggantungkan harapan besar pada film dokumenter. Mereka ingin sekali film dokumenter dapat menjadi katalis pemahaman multikulturalisme. ''Sayangnya, sampai sekarang, itu belum kesampaian,'' cetus Aryo yang menjadikan Lukas' Moment sebagai master tesisnya di jurusan Antropologi Visual di salah satu universitas di Norwegia. Sementara itu, Hoesterey berpendapat film dokumenter tak bisa berdiri tunggal. Kemunculannya harus ditemani dengan publikasi besar-besaran serta tulisan-tulisan pendukung di media massa. ''Tak cukup film dokumenter saja untuk membuat multikulturalisme dipahami,'' paparnya. Pemutaran film dokumenter koleksi Ragam Media Network di Teater 1 Bioskop Taman Ismail Marzuki yang sepi pengunjung memperkuat teori Hoesterey. Tanpa publikasi yang sonor jadilah film tanpa peminat. ''Hampir 10 menit pertama pemutaran Lukas' Moment, Kamis (26/4) lalu, saya tonton sendirian,'' kata Ariana Ardin, penonton. Ajang Jakarta International Film Festival (JIFFEST) 2005 menjadi cerminan betapa potensi film dokumenter bisa membuat sesuatu yang berbeda dari arus utama dapat diterima tanpa pretensi. Lewat kuisioner pendek yang disebarkan Aryo pasca pemutaran Lukas' Moment, seorang pelajar SMU mendapat pencerahan. ''Rupanya, anak muda Papua tak ada bedanya dengan remaja Jakarta yang jajan ketika ditimpa stres,'' demikian komentarnya.n reiny dwinanda -- crossing boundaries
[mediacare] Diskusi Filming Fact and Fantasy: Discovery Channel Goes to Papua
kineforum Dewan Kesenian Jakarta (d/h Artcinema) mengundang Anda pada program film kineforum Dewan Kesenian Jakarta (d/h Artcinema) cordially invites you to film program Diversity on TV Planes, Pigs, and the Price of Brides, 52 menit. Sutradara: John Bulmer (English, Indonesian with English Subtitle) Tentang tradisi dan modernisasi di tengah masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Papua. Judul film ini menunjukkan betapa kompleksnya hidup mereka dan persoalan sosial yang dialami komunitas kecil ini. About tradition and modernization among a society in the highlands of Papua. The film title shows how complex their life is and the social problems inside this small community. Diskusi Filming Fact and Fantasy: Discovery Channel Goes to Papua Speaker: James B. Hoesterey, Anthropologist Moderator: Olin Monteiro Antropolog James B. Hoesterey membagi pengalamannya sebagai konsultan antropologi untuk beberapa proyek film dokumenter di Indonesia dan Afrika. Diskusi akan mengangkat tema bagaimana kekuatan pasar dalam dunia televisi dan imajinasi Barat tentang orang-orang primitif di Papua membentuk genre tertentu dalam film dokumenter maupun dokumenter televisi. Anthropologist James B. Hoesterey shares his experiences as consulting anthropologist on several documentary film projects in Indonesia and Africa. After screening the 2003 documentary film Planes, Pigs, and The Price of Brides about tradition and modernity in the highlands of Papua, Hoesterey will discuss the ways in which market forces of television and the Western imagination of primitives in Papua shape a particular documentary film/television genre. This event part of SILANG PANDANG | CROSSING VIEW! Koleksi Film Dokumenter RAGAM Media Network, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Kineforum, 23 – 30 April 2007 Dalam keberagaman budaya, menjadi Berbeda itu mudah. Tantangannya adalah bagaimana dalam perbedaan itu kita bisa saling mengerti dan saling menghidupi. Fokus program ini ialah memperbincangkan berbagai masalah dan tantangan dalam mendayagunakan media audio visual sebagai katalis dari kerja-kerja lintas batas demi pemahaman multicultural. It is easy to be Different in a highly differenciated culture. The challenge is how to tolerate each other and coexist within that difference. The focus of this program is to talk about many problems and challenges in empowering audio-visual media as catalyst and inter-disciplinary works for multicultural understanding. RAGAM Media Network crossing boundaries, negotiating diversity www.ragam.org Jalan Kebon Kacang XI Rumah Susun Kb. Kacang Blok III Lantai 1 No. 8 Jakarta 10240 INDONESIA T. +62-21-31924446 M. +62-8159965705 e. [EMAIL PROTECTED] / [EMAIL PROTECTED]
[mediacare] COMING SOON Koleksi Film Etnografi RAGAM @kineforum 23-30 april 07
kineforum Dewan Kesenian Jakarta (d/h Artcinema) mengundang Anda pada program film kineforum Dewan Kesenian Jakarta (d/h Artcinema) cordially invites you to film program SILANG PANDANG | CROSSING VIEW! Koleksi Film Etnografi RAGAM Media Network 23 – 30 April 2007 Dalam keberagaman budaya, menjadi Berbeda itu mudah. Tantangannya adalah bagaimana dalam perbedaan itu kita bisa saling mengerti dan saling menghidupi. Fokus program ini ialah memperbincangkan berbagai masalah dan tantangan dalam mendayagunakan media audio visual sebagai katalis dari kerja-kerja lintas batas demi pemahaman multicultural. Silakan mengunjungi website ragam: www.ragam.org It is easy to be Different in a highly differenciated culture. The challenge is how to tolerate each other and coexist within that difference. The focus of this program is to talk about many problems and challenges in empowering audio-visual media as catalyst and inter-disciplinary works for multicultural understanding. Please visit the website: www.ragam.org Jadwal Pemutaran: Senin, 23 April 2007 14.15: Ragam1 17.30: Ragam 2 19.30: Ragam 3 Selasa, 24 April 2007 14.15: Ragam 4 17.30: Ragam 1 19.30: Ragam 2 Rabu, 25 April 2007 14.15: Ragam 3 17.30: Ragam 4 + Diskusi 19.30: Ragam 1 Kamis, 26 April 2007 14.15: Ragam 2 17.30: Ragam 3 19.30: Ragam 4 Jumat, 27 April 2007 14.15: Ragam 1 17.30: Ragam 2 19.30: Ragam 3 Sabtu, 28 April 2007 14.15: Ragam 4 17.30: Ragam1 19.30: Ragam 2 Minggu, 29 April 2007 14.15: Ragam 3 17.30: Ragam 4 19.30: Ragam 1 Senin, 30 April 2007 14.15: Ragam 2 17.30: Ragam 3 19.30: Ragam 4 Sinopsis | Synopsis Ragam 1: Dokumenter Observasi A Mail / Sebuah Surat (2005), 5 menit. Sutradara: Aryo Danusiri (MiniDV, in English and Norwegian) Sebuah surat untuk istri di Kampung… The video itself is the letter from the title, sent from a dark, cold and lonely Norway. A Norway with clean elevators that always function. With friendly and helpful public servants who still cannot help with your wife's immigration. A Norway that is so far away from Indonesia. An Indonesia where ice doesn't form on the windowpanes and where they have so little, but that you still miss so horribly. LUKAS' MOMENT / Kala Lukas (2005), 60 menit. Sutradara: Aryo Danusiri (Indonesian with English Subtitle) Papua sudah terlalu sering ditampilkan dalam wajahnya yang primitif. Tapi film ini, memunculkan citra yang lain: tentang kehidupan keseharian yang intim dan observasional. Kisahnya befokus pada seorang anak muda nelayan dari suku Marind bernama Lukas. Dia tinggal di pinggiran kota Merauke di selatan Papua. Drama dibangun dari tekadnya membangun usaha distribusi udang yang mandiri, lepas dari ketergantungan jaringan bisnis tengkulak yang menjerat… This is about a piece of contemporary everyday life in West Papua, one of the conflict areas in Indonesia. Instead of reproducing Papua with stereotyping in chilling and horror images of conflict, the filmmaker is more interested to treat his camera to create an intimate, observational and emphatic story about Lukas, a young Marind fisherman who is trying hard to finance his own education. Ragam 2: The Moment The First Step / Langkah Awal (2006), 30 menit. Sutradara: Aryo Danusiri IGK Trisna Permana (Indonesian with English Subtitle) Konflik antar suku yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat, 1999, meninggalkan trauma yang mendalam bagi sebagian besar imigran di sana. Beberap perempuan Madura berusaha membangun kembali hubungan dengan orang-orang Melayu di Sambas. Namun sampai saat ini, langkan pertama menuju perdamaian masih terasa berat ditempuh… Conflicts between different ethnic groups in Sambas, West Kalimantan, 1999, have left indelible traumas for most of the immigrants there. Throughout the years, some Madurese women have been trying to patch up their relationship with local Malay people. But after all this time, the first time, the first step to a peaceful life is still difficult to take. VILLAGE GOAT TAKES THE BEATING / Kambing Kampung Yang Kena Pukul (1999), 45 menit. Sutradara: Aryo Danusiri (Indonesian, Acehnese with English Subtitle) Film ini dibuat di Aceh pada akhir tahun 1999. Film ini merupakan kumpulan data pelanggaran HAM yang terjadi di Tiro, sebuah wilayah di Pidie, yang didapatkan dari wawancara dengan para korban atau keluarga korban. The Village Goat Takes the Beating, filmed in Aceh in late 1999, through lengthy interviews with victims or with relatives of deceased victims, and through partial re-enactments, records allegations of human right abuses perpetrated by the Indonesian army in Aceh during the 1990s, particularly in the Tiro subdistrict of Pidie. ABRACADABRA! / Abracadabra! (2003), 40 menit. Sutradara: Aryo Danusiri (Indonesian, Acehnese, English with English Subtitle) Dokumenter tentang proses perdamaian di Aceh. Pembuat film memadukan footage mengenai spiral kekerasan dan hasil wawancara berbagai pihak yang terlibat dalam negosiasi dengan footage seorang penjual
[mediacare] Cari Buku Tentang Perempuan Aceh
Halo Temans, Ada yang urgent nih. Gw cari buku ini: Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-Operation and Resistance By Jacqueline Aquino Siapno Kalo ada yang punya, Asli maupun Copy, mohon kiranya untuk bisa kontak gw via japri. Buku hanya akan saya pinjam beberapa jam untuk di fotocopy setelah itu langsung dikembalikan. Terima kasih sebelumnya, Aryo Danusiri -- crossing boundaries, negotiating diversity www.ragam.org
Re: [mediacare] Mohon Info Tentang Festival Film Independent
Dear WS, Silakan mengunjungi: www.jiffest.org www.konfiden.or.id www.in-docs.com www.ragam.org Tabik, Aryo Danusiri -- crossing boundaries, negotiating diversity www.ragam.org