Banyak Yang Belum Tuntas, Kasus Korupsi Di Banten 08 Juli 2007
www.bantenlink.com <http://www.bantenlink.com/> Serang Pekerjaan besar kini dihadapi para penegak hukum di Provinsi Banten. Betapa tidak, kasus dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat maupun murni hasil penyelidikan penegak hukum masih banyak yang belum tuntas dalam proses hukum. Oleh : Haji Rahmat Setidaknya, tercatat 26 perkara korupsi yang mencuat ke permukaan sejak terbentuknya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dengan Undang-undang No.23 tahun 2000. Status perkara itu beragam, di antaranya tahap penyelidikan 10 perkara, tahap penyelidikan 10 perkara, perkara yang tengah menjalani proses persidangan 3 perkara, tahap kasasi 1 perkara dan telah dihentikan penyelidikannya (SP3) satu perkara. Perkara yang paling menarik perhatian dan menyita sebagian besar kekuatan penegak hukum adalah kasus korupsi dana perumahan dan kegiatan penunjang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banten periode 2001-2004. Kasus ini melibatkan 75 anggota DPRD, termasuk pimpinan dewan dan pejabat di lingkungan pemerintahan. Tahun ini mulai ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten tahun 2004. Hingga tahun 2007, perkara ini belum tuntas, dalam pengertian belum seluruh 75 anggota DPRD Banten yang menerima dana korupsi itu diseret ke pengadilan. Perkara korupsi ini adalah penggunaan dana tidak tersangka (TT) dalam APBD Banten tahun 2003 sebesar Rp 14 miliar. Uang itu digunakan untuk dana perumahan Rp 10,5 miliar serta kegiatan penunjang atas perubahan cara penyusunan APBD dari manual keuangan daerah (Makuda) ke kode rekening sesuai dengan Kepmendagri No.29/2002 sebesar Rp 3,5 miliar. Kenyataannya, dana perumahan itu dibagikan kepada 75 anggota dewan dengan besaran bervariasi Rp 130 juta hingga Rp 170 juta per orang. Sedangkan dana kegiatan penunjang dibagikan kepada 28 anggota Panitia Anggaran Legislatif (PAL) DPRD Banten masing-masing Rp 100 juta Rp 150 juta per orang. Selama persidangan terbukti, penggunaan dana TT untuk dana perumahan dan kegiatan penunjang DPRD itu melanggar PP 105 yang mengatur dana TT hanya boleh digunakan untuk bencana alam, bencana sosial dan kegiatan yang berkaitan langsung dengan masyarakat serta pemerintahan dalam kondisi yang darurat. Di kalangan eksekutif, Pengadilan Negeri (PN) Serang telah memvonis Djoko Munandar (Gubernur Banten 2001-2006) dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda sekitar Rp 200 juta. Vonis juga dijatuhkan ke Tardian (almarhum), Sekretaris DPRD Banten denngan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 220 juta. Sedangkan dari kalangan legislatif, "pedang" hukum pun memperlihatkan kekuatannya. Pengadilan Negeri Serang memvonis Dharmono K Lawi (mantan Ketua DPRD) dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 460 juta. Sedangkan Mufrodi Muchsin (mantan wakil ketua) divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 430 juta. Almarhum Muslim Djamaludin (mantan wakil ketua) juga dikenakan 4 tahun penjara dan denda Rp 450 juta. Anggota DPRD lainnya adalah Tuti Sutiah Indra (mantan Sekretaris Panitia Anggaran Legislatif) yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Sayangnya, penanganan kasus ini diwarnai dengan 5 mantan anggota DPRD dari 14 mantan anggota DPRD yang dilimpahkan ke pengadilan lolos dari jerat hukum dengan putusan bebas pada pertengahan Mei 2007. Penyebabnya tim jaksa penuntut umum (JPU) kurang cermat dalam menyusun dakwaan yang mengakibatkan majelis hakim yang dipimpin Syaefoni memvonis dakwaan batal demi hukum. Kelima terdakwa itu adalah Iwan Rosadi, Riril Suhartinah, John Maulana, Ahdi Samlani dan Jaenal Novani. Empat terdakwa lainnya sudah dijatuhi hukuman masing-masing 1 tahun penjara dan denda rata-rata Rp 50 juta-Rp 100 juta. Sedangkan 5 mantan anggota DPRD lainnya berkasnya belum dilimpahkan ke PN Serang. Alasan Kejati Banten, berkas itu masih perlu dilengkapi. Selain menempuh jalan hukum ke pengadilan, Kejati Banten rupanya menempuh "jalan damai", yaitu 23 mantan anggota DPRD Banten 2001-2004 meneken perjanjian dengan Kejati. Ke-23 mantan itu harus mengembalikan dana korupsi yang pernah diterimanya. Namun ke-23 anggota dewan itu hingga sekarang belum mengembalikan dana tersebut dan Kejati Banten belum mengambil sikap tegas soal ini. Terlepas soal ke-23 anggota dewan itu, Kejati Banten berhasil mengumpulkan kembali uang APBD Banten yang dikorupsi mereka. Totalnya Rp 7,9 miliar dari Rp 14 miliar dana TT. Dari Rp7,69 miliar sebesar Rp 6,94 miliar kini menjadi barang bukti dipersidangan perkara korupsi dana perumahan dan tunjangan operasional di Pengadilan Negeri Serang. Secara keseluruhan, penegak hukum di Banten tengah menangani antara lain pembuatan perda non perda fiktif Rp 1,5 miliar yang berkasnya siap dilimpahkan ke pengadilan, pengadaan logistik KPUD Banten Rp 1,2 miliar, pengadaan benda-benda pos di kantor Pos dan Giro Tangerang Rp 1,5 miliar, penyalagunaan dana APBD Tangerang Rp 1,9 miliar untuk kegiatan umroh anggota dewan, pembangunan jalan lingkar selatan Kabupaten Tangerang Rp 95,8 miliar, penjualan kertas suara Rp 59,2 juta. Perkara yang berstatus penyelidikan dalam pengertian sudah terdapat tersangka dalam kasus itu antara lain pembangunan penyimpanan air (resorvoir) PDAM Tirta Kerta Raharja Tangerang Rp 4 miliarn, pembngunan gedung DPRD Kabupaten Pandeglang Rp 6 miliar, gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pandeglang Rp 1 miliar, terimnal tipe A Pandeglang Rp 2,7 miliar, pembangunan interchange jalan tol Kabupaten Serang Rp 14 miliar dan sebagainya. Dari kasus yang ditangani penegak hukum ternyata hanya sedikit tersangka yang berasal dari kalangan swasta. Hampir 90 persen tersangka kasus korupsi berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memangku jabatan di pemerintahan dan anggota DPRD. Khusus untuk korupsi yang berkaitan dengan proyek pembangunan fisik, penikmat dari proyek tersebut adalah para pengusaha yang nota bene memperoleh keuntungan besar dalam proyek-proyek yang dijalankan di lingkungan pemerintahan. Boleh jadi, ini berkaitan dengan pasal-pasal kerugian negara yang tercantum dalam Undang-undang (UU) No.31/1999 yang direvisi dengan UU No.20/2001 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor). Sebab pasal kerugian negara dipastikan melibatkan pejabat pemerintah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam memproses dan mengeluarkan anggaran pemerintahan. Simaklah kasus dugaan korupsi interchange jalan tol di Desa Julang, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang Rp 14 miliar. Dari 4 tersangka yang disebutkan Kejati Banten, semuanya berasal dari pejabat di Serang mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Kejaksaan tidak menyebutkan soal pengusaha yang melaksanakan proyek tersebut. Kasus interchange jalan tol lebih menekankan pada soal pembebasan tanah dan dugaan penggelembungan harga (mark up). Dari dana Rp 14 miliar yang bersal dari APBD Provinsi Banten dan APBD Kabupaten Serang, ternyta hanya mendapatkan 7 hektare tanah. Seharusnya, dana itu untuk membeli 14 hektare tanah. Pelaksana pembebasan tanah itu justru dari kalangan swasta yang hingga sekarang belum tersentuh hukum dan berkeliaran bebas. Karena itu, berbagai kalangan di Banten mulai dari LSM dan elemen masyarakat lainnya meminta kejaksaan maupun kepolisian menindak tegas para pengusaha atau swasta yang ikut serta dalam tindak pidana korupsi. (nr)