Refleksi: Orang Maluku harus ingat bahwa tarian cakalele adalah tarian liar! 

http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/7/8/opini.html


Dekrit 5 Juli 1959

TARIAN Cakelele adalah tarian liar yang nyelonong pada peringatan Hari Keluarga 
Nasional (Harganas) II Jumat (29/6)  yang menggoyang kedudukan para petinggi di 
Ambon. "Bintang Kejora" adalah bendera Gerakan Papua Merdeka (GPM) yang 
dikibarkan grup penari Sampari saat Konferensi Besar Dewan Adat Papua di 
Jayapura, Selasa (3/7) lalu.

Kedua peristiwa yang tampil di layar kaca dan diulas media cetak secara detil 
itu, tak urung menyedot perhatian publik di Tanah Air. Bahkan berita tentang 
larangan terbang bagi 51 maskapai penerbangan Indonesia (termasuk Garuda) di 
wilayah Eropa, yang sebenarnya lebih mencoreng martabat bangsa, sepertinya 
kurang menarik dibanding gerakan separatis itu.

Menyimak aktivitas yang kian mencolok dari Republik Maluku Selatan (RMS) dan 
GPM yang juga melanjutkan aksinya di Yogyakarta, Rabu (4/7), mengingatkan orang 
akan kondisi negara di tahun 1950-an. Federalisme yang dikembangkan van Mook 
dengan politik divide et impera-nya sejak 1946, menghasilkan Republik Indonesia 
Serikat (RIS) merupakan embrio disintegrasi dan gerakan separatis di Indonesia.

"Baru pada 27 Desember 1949, lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan 
diserahkan Belanda ke pihak republik, kecuali Irian Barat (kini Papua Barat). 
NIS yang didukung kaum federalis yang pro Uni Indonesia-Belanda rontok satu 
persatu. Nah, sejak 17 Agustus 1950 negeri yang sempat terpecah belah ini 
kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun karena 
persatuan yang tidak berdasarkan sukarela dan didorong angin liberalisme 
ditandai sistem multipartai, maka sepanjang 1950-an terjadi pergolakan politik 
dan berbagai pemberontakan di Tanah Air.  Di antaranya PRRI-Permesta, DI-TII 
dan RMS. GPM saat itu belum ada karena Irian Barat masih dalam kekuasaan 
Belanda hingga 1 Mei 1963," tutur Wijaya.

"Kalau begitu, apakah sejak Proklamasi 1945 bangsa Indonesia tidak bisa 
langsung membangun negaranya sesuai cita-cita kemerdekaannya? Maaf, aku baru 
lahir saat Orde Baru berkuasa, sedangkan mata pelajaran sejarah tidak begitu 
populer, sehingga aku buta tentang sejarah perjalanan bangsa ini. Bahkan hingga 
kini pun, kudengar jurusan sejarah di universitas sedikit peminatnya," ujar 
Sondra.

"Aku paham karena alumnus sejarah paling-paling jadi guru atau dosen. Beda 
dengan lulusan kedokteran, arsitektur, hukum dan ekonomi. Karena menyepelekan 
sejarah, kita tumbuh menjadi bangsa yang mudah terkejut, lalu cepat marah dan 
ngamuk. Itu karena menganggap setiap peristiwa sebagai sebab, padahal itu 
akibat dari sebab-sebab sebelumnya. Coba simak huru-hara di Tanah Air sejak 
bergulirnya reformasi hingga sekarang, aku kira, penyebabnya karena sejarah 
ditinggalkan orang. Gara-gara tarian liar Cakalele, kubaca di koran, timbul 
tindakan anarkhis anti-RMS, yang bukan tidak mungkin merembet orang-orang yang 
tidak tahu masalah.  Mudah-mudahan, stabilitas yang mulai tercipta di Ambon 
pascakonflik bertahun-tahun, tidak buyar."

"Tapi mereka kan mengancam keutuhan NKRI, malah mengibarkan bendera RMS di 
depan Presiden RI bersama petinggi negara lainnya? Tindakan itu oleh sementara 
orang dikategorikan tindakan makar. Syukur demonstrasi di Yogyakarta di mana 
puluhan mahasiswa asal Papua yang juga mengibarkan bendera Bintang Kejora dan 
menuntut kemerdekaan Papua Barat, atas pengarahan Kapolri Jenderal Pol. 
Sutanto, tidak diperlakukan kasar baik oleh aparat maupun masyarakat setempat. 
Aku rasa fenomena ini cukup meresahkan, padahal sering kudengar para pejabat 
mengimbau, Tri Pusaka Bangsa yakni Pancasila, UUD 1945 dan NKRI harus 
dipertahankan."

"Semua yang kau katakan benar! Namun akar masalahnya sangat kompleks. Saat 
kemerdekaan diproklamasikan 17 Agustus 1945, Belanda yang terusir Jepang dalam 
Perang Pasifik setelah menjajah negeri ini selama 3,5 abad, ingin kembali 
menduduki Indonesia ketika Dai Nippon takluk pada Sekutu. Nah, untuk itu 
Nederland Indische Civil Administration (NICA) dengan serdadu KNIL-nya 
mendompleng pasukan sekutu, yang datang ke Indonesia untuk melucuti senjata 
serdadu Jepang. Sejak 1946- 1949 terjadi perang gerilya antara pasukan 
Indonesia dengan persenjataan seadanya melawan serdadu KNIL dan Inggris. Saat 
itu lah van Mook memecah belah NKRI menjadi Negara Pasundan, Jawa Timur, Jawa 
Tengah, Madura, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Kalimantan, Sabang dan...," 
papar Wijaya sembari menyambar air karena kerongkongannya kering.

"Dan Indonesia Timur, dimana Bali termasuk di dalamnya serta Republik Indonesia 
yang ibukotanya pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, yang semuanya disebut 
Republik Indonesia Serikat (RIS)," sela Nuarta.

"Sekarang aku mulai paham, apa yang dimaksud Wijaya dengan akar masalah. 
Seperti borok yang hanya tampak sembuh di permukaan kulit, tiba-tiba keluar 
nanah akibat benturan tak disengaja. Cuma yang aku herankan, apa para penari 
Cakalele dan Bintang Kejora itu tahu akar masalah, karena usia mereka tampak 
rata-rata masih muda? Kukira para orangtua mereka pun mungkin masih kecil 
ketika van Mook merekayasa RIS," kilah Sondra.

"Maybe yes, maybe no! Sekarang hampir pada setiap kerusuhan para pelakunya 
rata-rata tidak memahami masalah. Karena melupakan sejarahlah, masyarakat atom 
mudah terbentuk dan briyuk siyu menjadi landasannya. Solidaritas, korporatisme, 
ikut-ikutan atau dibayar, lebih menjadi alasan daripada ideologis. Kemungkinan 
lain, bisa jadi mereka paham, apa yang mereka lakukan dan siap menerima risiko. 
Sebab, setelah kembali menjadi NKRI tahun 1950, negara ini menggunakan UUD 
Sementara tahun 1950 yang berpaham liberal. Makanya Pemilu 1955 dikatakan 
paling demokratis dan liberal, yang kontestannya bukan hanya parpol tapi juga 
perorangan, yang bahkan mendapat kursi di parlemen. Semangat liberal itu kini 
mulai bangkit dengan usulan santer tentang calon independen, baik untuk 
legislatif maupun jabatan bupati, walikota dan gubernur," Rubag mulai ikut 
bicara.

"Lalu, apa kaitannya dengan Cakalele dan Bintang Kejora atau separatisme?"

"Liberalisme tidak selalu berarti bersikap demokratis dan menerima kekalahan 
secara ikhlas. Karena pergolakan politik untuk merebut kekuasaan, tidak hanya 
terjadi di kalangan sipil, juga di kalangan militer sehingga terjadi friksi 
akibat ketidakpuasan. Maka, pasca Pemilu 1955 muncul pemberontakan bersenjata 
di berbagai wilayah Indonesia, baik karena pengaruh Perang Dingin yang 
menggelora saat itu maupun karena hantu perpecahan yang disebarkan van Mook 
sebelumnya. Bukti-bukti keterlibatan pihak asing dalam memecah-belah Indonesia 
lewat pemberontakan bersenjata diungkap blak-blakan oleh penulis Amerika 
seperti Audrey R. Kahin, George Mc T. Kahin dan Paul F. Gardner."

"Wah, benar kata orang bahwa sejarah itu pasti berulang, meski aktor-aktornya 
berbeda namun motivasinya mirip. Kisah tahun 1950-an, kini agaknya terjadi lagi 
di Indonesia.  Lalu, apa yang dilakukan para pemimpin saat itu sehingga negara 
ini tidak bubar?" tanya Sondra.

"Apa yang dilakukan tempo dulu mungkin tidak cocok diulang sekarang. Zaman 
sudah berubah. Malah militer di Indonesia tetap kompak. Karena liberalisme kian 
kebablasan, sementara konstituante yang ditugaskan untuk membuat UUD Permanen 
tidak berhasil menunaikan tugasnya, maka Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 
pada 5 Juli 1959. Membubarkan konstituante dan kembali ke UUD Proklamasi atau 
UUD 1945," ujar Rubag.

Kirim email ke