CERDIG
----- Original Message ----- 
From: Trikoyo
To: HKSIS
Cc: May Teo
Sent: Thursday, 16 November, 2006 21:38
Subject: CERDIG - .Aku anak jujur dan aku tidak pernah bohong



CERDIG  (CERITA DIGUL )

-kenangan waktu kecil yang tak terlupakan.



AKU  ANAK  JUJUR  DAN  AKU TIDAK  PERNAH  BOHONG.



Oleh : Tri Ramidjo.



Pelajaran jam akhir hari itu pelajaran sejarah. Oleh meneer Sujitno guru 
kami aku di suruh maju ke depan kelas untuk menceritakan ulang riwayat Ken 
Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Tumapel di Kediri. Selesai  aku bicara di 
muka kelas meneer Sujitno bertepuk tangan memuji. Kemudian meneer Sujitno 
bertanya : Jij Mintargo, Wie is Tunggul Ametung"?

Mintargo terkejut karena dia rupanya tertidur waktu aku bercerita di muka 
kelas.  Untung meneer Sujitno yang baik hati itu tidak marah hanya berkata. 
"Niet slapen in de klas.! "

Tidak lama kemudian bel berbunyi tanda, bahwa pelajaran telah usai berbunyi.



Seperti biasa dengan tertib kami mengemasi buku-buku dan memaasukkannya ke 
dalam tas dan dengan tertib meninggalkan sekolah. Aku berjalan pulang dengan 
adikku Rohmah. Adikku kelas 4 dan aku kelas 5 waktu itu.

Di tengah jalan persis di muka rumah oom Samingun, Rusdi temanku sudah 
menunggu. Rusdi tidak sekolah di Standard School (HIS) tapi sekolah di MES 
(Malay Enhlish School0 - sekolah partikulir (swasta) yaitu sekolahnya 
anak-anak orang buangan yang tidak mau tunduk kepada gubernemen - 
orang-orang natura yang setiap bulannya menerima catu berupa beras, gula 
merah, minyak tanah, minyak kelapa dll. dari pemerintah.

Rusdi mengajakku pergi mancing  dan katanya dia sudah menyiapkan dua pancing 
lengkap dengan bamboo walesannya.

"Rus, mana pancingnya. Aku bawa pulang dulu, bentuknya akan kurobah supaya 
udang pun bisa terpancing tidak hanya ikan." Kataku.

Rusdi memberikan dua mata kail kepadaku. Masih baru dan masih berkilat. 
Dengan membawa mata kail itu aku pulang bersama adikku. Sebelum sampai di 
rumah adikku Rohmah kubisiki.

"Jangan bilang bapak atau simbok (ibuku) ya, kalau aku akan pergi mancing 
dengan mas Rusdi, ya!"  kataku kepada adikku.

Rohmah adikku merengut. Dia tidak biasa berbohong tapi dia juga tidak suka 
dan  kasihan kalau aku dimarahi bapak. Dia diam saja tidak menjawab ya atau 
tidak.



Sesampainya di rumah kami berdua cepat-cepat cuci tangan dan cuci kaki dan 
aku tidak hanya cuci tangan dan cuci kaki tapi mengambil wudhu. Aku langsung 
sembahyang lohor dulu kemudian baru makan.

Siang itu ibuku masak sayur lodeh kacang panjang dan goreng ikan asin. Aduh, 
enak sekali. Aku makan sampai dua  kali nambah.  Ibuku senang melihat aku 
makan banyak. Sebab biasanya aku makan seperti kucing, selalu tidak 
berselera dan makan sedikit. Ya, malariaku sering  anval kadang-kadang suhu 
badanku mencapai 40 derajat Celcius. Itulah sebabnya ibu dan ayahku sangat 
memanjakanku. Sampai-sampai pamanku paklik Mahmud mengatakan  "lawong si 
Ribut kuwi anake gusti Allah, ngidak lemah wae ora entuk, kudu nganggo 
gapyak. Mbok ben ajar ngidak lemah koyo bocah-bocah liyane kae. Ora orane 
nek cacingen. Nek cacingen yo diombeni obat cacing to. Ono rumah sakit iki." 
( si Ribut itu anaknya gusti Allah. Tidak boleh menginjak tanah. Dan kalau 
menginjak tanah harus pakai gapyak (alas kaki dari kayu) . Tidak akan 
cacingan dan kalau cacingan kasih saja obat cacing. Dan ada rumah sakit. 
Yang dijawab oleh ibuku "Yo  ben, tapi Ribut rajin sinau, loro-loro yo 
sinau, jare meneer Said Ali ning sekolah yo paling pintar lan ora nakal. ora 
tau tukaran."



Selesai makan aku segera mengambil tang di tempat alat-alat tukang bapak. 
Pancing itu kupanaskan dulu  dan kubentuk dengan tang sehingga berubah 
bentuknya menjadi bentuk bungkuk udang tidak seperti pancing biasa. Kata 
ayahku dengan bentuk kail seperti itu udang pun bisa dipancing,



Kemudian aku segera mengerjakan PR. Aku tak bisa belajar malam hari karena 
di rumah sedang kehabisan minyak tanah dan kami tidak bisa menyalakan lampu 
"aladin" yang biasa kami pakai bersama di meja makan untuk belajar.

"Sudah hampir jam tiga. Cepat berangkat ngaji." Kata ibuku.

Aku segera pamitan dan berangkat. Juzama  kututupi daun pisang  kutaroh di 
bawah pohon di semak-semak.

Temanku Rusdi sudah menunggu di belik oom Kadirun.

"Aku sudah lama menunggu. Kok lama sekali makannya. Berapa piring sih, 
makannya?"  katanya.

"Piringnya sih Cuma satu, tapi beberapa kali tanduk (tambah).  Aku 
mengerjakan PR dulu." Jawabku.

"PR nanti malam kan bisa. You are stupied". Kata Rusdi.

"Jij ook, je ben dom als een ezel." Kataku.

Aku ngerti bahasa Inggris sebab aku dulu sampai klas 3 blajar di MES dan 
setelah ayahku berhenti jadi  natura dan tunduk kepada pemerintah dan masuk 
kerja menjadi - daggelder (buruh harian ) -  aku masuk sekolah di standard 
school. Dan temanku Rusdi  pintar bahasa Inggris  tapi belum  mengerti 
bahasa Belanda.

"Zo dom als een ezel, apa artinya sih?" tanyanya.

"Very stupied like a dunkey". Jawabku.

"Ribut, (ribut adalah nama panggilanku waktu kecil) kamu untung ya, bisa 
Inggris dan Belanda. Aku Cuma bisa Inggris. Aku mau belajar ah, Ikut  yu 
Rollah dan mbak Darsini di tempat oom Hatta. Oom Hatta juga oom Sjahrir 
sering memberi kita  coklat, kok selalu punya uang untuk beli coklat, ya. 
Bapakku beli minyak tanah saja susah, gak punya duit." Kata Rusdi.

"Tak usah iri. Oom Hatta dan oom Sjahrir kata bapak steuning (mendapat 
tunjangan dari pemerintah) sedang ayahmu kan natura. Dan bapakku  daggelder 
yang hanya dapat seketip  (f.0,10) - sepuluh sen sehari. Kalau sakit dan 
tidak masuk kerja tidak dibayar. Maka itu aku tak pernah minta belikan 
pinsil dan aku pakai pinsil sambungan.  Grip juga pakai grip (grip = alat 
untuk menulis di batu tulis. Dulu anak-anak sekolah memakai batu tulis tidak 
langsung memakai buku tulis dan pinsil seperti sekarang).   Biarlah yang 
penting rajin belajar." Jawabku.

Kami berjalan bersama lewat ladang oom Prawiro dan akhirnya  sampai di tepi 
sungai Dugul.



Rupanya di pinggir kali di atas tunggul  kayu tua  Bedjo kecil sudah duduk 
di situ memancing. (di Tanah Merah - Digul ada dua orang anak yang namanya 
Bedjo. Bedjo besar yang pernah dipanah  orang kaya-kaya  anaknya oom Sumo 
Taruno dan Bedjo kecil anaknya oom Prawiro. Orang kaya-kaya adalah sebutan 
untuk penduduk asli Papua. Suku Papua ini sangat banyak. Ada suku Mandobo, 
auku Kalimuyu, suku Kalikau, suku Jahe, suku Mapi dll. Masing-masing punya 
ciri-ciri sendiri. Di waktu aku masih di Digul tahun 1940 suku Kalikau, 
Kalimuyu, Mandobo masih suka memakan daging manusia sedang  suku Jahe dan 
Mapi tidak memakan daging manusia tetapi mengayau. Tetapi sekarang mungkin 
kebiasaan seperti itu sudah hilang dan tidak ada lagi karena bukankah 
Republik Indonesia ini sudah berumur  lebih 60 tahun dan pernah menyatakan 
Indonesia sudah bebas buta huruf? Semoga saja sampai ke Papua semuanya 
benar-benar sudah bebas buta huruf.).



"Mas Bedjo, sudah lama, ya? Sudah dapat berapa ekor?" tanyaku.

"Belum lama. Aku sudah dapat 8 ekor,  semuanya kakap. Kalau dapat 2 ekor 
lagi aku pulang." Jawabnya.

Rupanya di tempat mas Bedjo melemparkan pancingnya ikan-ikan kakap sedang 
"konferensi" dan karena lapar lahap memakan cacing umpan yang dilemparkan 
mas Bedjo. Benar juga belum sampai kira-kira sepuluh  menit dia sudah 
mendapat dua ekor kakap lagi.

Dia segera pamitan pulang duluan sambil berkata. "Dik Ribut, kalau nanti 
tidak dapat ikan pulaangnya mampir ya. Akan kuberi 2 ekor yang sudah 
digoreng. Tapi aku kira pasti dapat. Ikan kakapnya sedang galak kok."

"Ya, baiklah. Aku mampir nanti kalau tidak dapat." Jawabku.

Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak Digul selalu menepati janji dan 
tidak mau enak sendiri. Makanan apa saja kami selalu berbagi dengan teman.

Berkelahi? O, itu sifat yang sangat jelek kami benci dan kami baik anak 
laki-laki atau perempuan  jarang sekali berkelahi.

Pernah Sukarno (anak oom Kadirun) dan Kamisan (anak oom Kasan) berkelahi di 
bawah pohon jambu di depan rumah oom Padmo yang suka membikin balon kertas 
dengan kertas layangan dan diterbangkan memakai api spiritus.  Kami yang 
melihat segera melerai perkelahian itu. Baju Karno merah terkena debu karena 
dia dibantung dan ditindihi Kamisan.  Mereka kami suruh bersalaman. Tapi 
rupanya hanya di depan kami mereka mau damai tapi dalam hatinya tidak. 
Mereka jotakan (tidak mau saling menegur sampai berhari-hari. Soalnya Cuma 
rebutan kenikker (gundu).

Aku mempunyai keniker (gundu) lebih dari 20 butir. Suatu hari kedua anak itu 
kutemukan di halaman rumahku.

"Sudah wawuh (mau saling tegur) belum. Masak soal keniker saja mesti jotakan 
(tidak saling tegur).  Lihat kucingku si Telon, anjingku si Tupon dan 
kakaktuaku si Jakob, kok mereka bisa rukun makan dalam satu piring. Coba 
mana kenikermu ada berapa.  Karno punya 7 Kamisan punya 6 dan aku sendiri 
punya 23. Jadi semuanya ada 36 kenikker. Keniker itu kami bagi bertiga 
sehingga masing-masing mendapat  12 biji. Kami bertiga bersalaman dan 
selesailah perselisihan Sukarno dan Kamisan.

Kulanjutkan cerita mancing tadi. Aku dan mas Rusdi duduk berdampingan di 
tunggul itu. Pancing kulemparkan. Mas Rusdi pun berbuat begitu.

Sore itu aku mendapat 5 ekor ikan kakap dan seekor udang galah sebesar 
lengan bayi dan mas Rusdi juga mendapat jumlah yang sama. Hanya ikan yang 
kudapat lebih besar. Maka kami berdua membagi perolehan kami supaya sama 
besar dan sama kecil.

Setelah mandi di sungai Digul dengan airnya yang jernih dan segar itu kami 
pulang. Kami mandi tanpa sabunan karena niatnya bukan pergi mandi tapi 
mancing.

Ibuku senang. Ikan-ikan itu digoregnya dan udang itu juga digoreng.



Mslam itu seperti biasa kami makan bersama. Ayahku, ibuku, mas Darsono, 
Mbakyu Darsini, adikku Rohmah dan aku. Setelah selesai makan ayahku 
bertanya.

"But, Ribut, tadi mancingnya sesudah ngaji atau sebelum ngaji? Tanya beliau.

"Sesudah ngaji, pak. Aku mancing dengan mas Rusdi dan mas Bedjo." Jawabku.

"Bagus. Tadi bapak dapat buku tulis dari oom Kadir. Lihat bukunya  merk ABC. 
Dan ini pinsil cap buaya. Buku tulisnya bagus dan pinsilnya juga bagus. 
Bapak sudah kasih contoh tulisan di sini. Coba kamu contoh tulisan ini. 
Tidak usah banyak,  cukup menulisi  3 halaman saja.  Nanti tulisanmu akan 
menjadi bagus seperti tulisan masmu Darsono." Kata beliau.

Buku tulis dan pinsil itu kuterima. Aku senang mendapat buku tulis dan 
pinsil baru. Biasanya akai pinsil sambungan.



Kubuka halaman pertama. Di baris pertama ada tulisan bapak dengan 
huruf-huruf yang sangat indah  yang bunyinya :

"Aku anak jujur, aku tidak pernah bohong."

Aku menulisi buku itu sesuai dengan kata ayahku. Sejak itu aku berjanji 
dalam hatiku aku tidak akan berbohong lagi. Sebab bohong adalah perbuatan 
dosa.

Sekali berbohong pasti akan menutupinya dengan bohong yang lain dan bohong 
itu akan menjadi bertimbun-timbun. Kalau sudah begitu siapa yang rugi? Tentu 
saja diri sendiri.

Peribahasa Melayu berkata "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak 
dipercaya." *********



Tangerang Kamis Pahing 16 November 2006.

------------------------------------------------------- 




Kirim email ke