----- Original Message ----- 
From: Trikoyo
To: HKSIS
Sent: Tuesday, 8 May, 2007 20:32
Subject: Fw: Anjing kami Si Tupon nakakal tapi pintar.




MAAF,
Sejak kecil saya mengikuti paman saya yang bekerja di perkebunan karet milik 
orang Jepang dan sudah terlalu terbiasa mengucapkan kata "maaf", "sumimasen" 
atau "gomen nasai"  kalau melakukan  sesuatu perbuatan yang kiranya 
menyentuh atau menyinggung perasaan orang lain.
Sama seperti kebiasaan orang kita Indonesia umumnya yang mudah sekali 
berucap "insyaallah" kalau membuat janji walau sebesar atau sekecil apa pun 
tapi sering tidak menepati janjinya  karena sudah berucap "insyaallah" yang 
arti harfiahnya kira2 "jika Allah mengizinkan", apakah benar begitu ya?
Kali ini saya kirimkan (lampirkan) cerita kenakalanku waktu kecil. Masa 
kecil memang indah, aku yang sekarang sudah kakek2 81 th kadang2 merasa 
menyesal kenapa aku tidak bisa menyenangkan dan membahagiakan ayah ibuku 
yang penuh kasih sayang mengasuhku.
Saya ucapkan maaf karena orang lain terpaksa menyisihkan waktunya yang 
sangat berguna hanya sekedar membaca kenanganku di masa kecil. Ya. Benyamin 
Franklin (1706 - 1790) mengatakan, bahwa "time is money" bukan? Saya baca 
itu dari buku New Method English Readers ketika kecil di Malay English 
School di Digul Tanah Merah, diajari guru kami oom Zainal Abidin (oom 
Nanang) yang di perutnya ada bekas luka kelewang serdadu Belanda dalam 
pemberontakan di Silungkang. Sumatra Barat.
Silakan baca cerita kenakalanku dan anjingku si Tupon.
Senantiasa,
Tri Ramidjo.

CERDIG 050807
ANJING KAMI SI TUPON MEMANG NAKAL TAPI PINTAR
Oleh : Tri Ramidjo.



Digul di bulan-bulan  April Mei  udaranya cerah. Angin bertiup dari arah 
timur ke barat, Sungai Digul airnya surut tapi  aliranya tetap deras dan 
berbahaya. Tapi aku yang nakal ini tanpa setahu orang tuaku berperahu 
menyeberangi sungai Digul. Dari rumah aku pamitan untuk pergi mengaji tapi 
karena merasa sudah hafal apa yang diajarkan aku  pergi ke rumah temanku 
Rusdi. Ketika aku sampai di rumah Radi, kulihat dia sedang memberi makan 
ayam-ayam peliharaannya. Ayamnya banyak dan di petarangan kulihat ada 
beberapa butir telur.

"Tri" katanya.

"Besok aku akan menjual telur-telur ini ke warung oom Tambi. Dan nanti kita 
beli benang dan kertas  layangan di toko Tan Tui. Aku sudah menumbuk beling 
dan nanti kita bikin benang gelasan. Masak tidak ada yang bisa mengalahkan 
layangan oom Karman." Katanya.

"Ya, layangan oom Karman selalu menang karena gelasannya pakai pecahan 
piring porselen  jadi lebih tajam dari pecahan beling botol. Dan layangannya 
besar dua lembar kertas layanmgan dijadikan satu. Gambarnya hebat,, bintang 
dan ditengahnya palu-sabit " Kataku.

"Ya. bintang itu kan bendera Turki, ya." Kata Rusdi.

"Bukan. Turki  bintang-bulan. Bintang dengan  sabit dan palu itu simbolnya 
Rusia. Kemarin mas Suroso membuat lukisan gambarnya Stalin dari Rusia, mas 
Darsono membuat gambarnya Rosevelt dari Amerika, mas Lukman menggambar 
Hitler dari Jereman, dan mas Sayuti menggambar Musolini dari Itali. Nanti 
katanya akan di pasang di dinding sekolah kita. Oom Nurati yang mengajar 
menggambar itu pintar melukis, ya." Kataku.

"Besok kita ajak mas Supad, Triharsono dan mas Djufri, Mas Supad pintar 
mengadu layangan, dia bisa mengulur dan menarik layangan mengikuti arah 
angin dan bisa  menyirukkan layangan tepat pada waktu layangan lawan sedang 
kehilangan keseimbangan. Pasti layangan lawan putus. Kemarin layangan oom 
Padeh juga bisa dikalahkan." Kata Rusdi.

Kemudian Rusdi mengajakku ke tepian sungai Digul.

Perahu oom Samingun, ayah Rusdi yang ditambatkan di rakit kecil di lepaskan. 
Aku duduk di belakang mengemudikan perahu itu dan Rusdi mengayuh di depan. 
Perahu oom Samingun ini  sangat oleng dan tidak stabil seperti perahu 
ayahku.

Kami menyusuri tepian sungai Digul ke arah hulu. Tepat sampai di ujung 
pemakaman kampung B. tepatnya presis di bawah makam oom Aliarcham kami mulai 
menyeberangi sungai Digul. Jarak penyeberangan itu kira2 500 meter tapi 
arusnya sangat deras. Haluan perahu kuhadapkan ke arah hulu dan sambil 
mendayung kukemudikan perahu itu sambil mengikuti dersnya arus air 
menyeberangi sungai Digul. Hanya beberapa menit kami sudah sampai di 
seberang di tepian berpasir sungai Digul.

Perahu kami tambatkan di tepian pasir yang berwarna kelabu kehitam-hitaman 
bercampur  pasir berwarna keemas-emasan.  (Ketika aku sudah dewasa dan 
berada di Kalbar, baru kuketahui bahwa pasir yang berwarna keemas-emasan itu 
memang benar emas dan di Kalbar dilimbang dengan dulang dan di jual di toko 
emas; rupanya pasir sungai Digul itu mengandung emas).

Kami mulai melemparkan pancing ke sungai Digul. Tak lama kemudian datang mas 
Darmo, mas Bedjo Kecil ( di Digul ada dua anak yang bernama Bedjo, Bedjo 
besar anaknya oom Sumo Taruno dan Bedjo kecil anaknya oom Prawiro, semuanya 
tinggal di Kampung B) mas Supad  dan adiknya Triharsono dan Mudakir anaknya 
oom Mohammad Isa dari Banten. Kami memancing bersama-sama.

Mas Darmo membawa periuk, beras, garam dll. Kami membuat api dan masak di 
tepian berpasir itu.

"Kurang ramai ya. Lain kali kita ajak teman lain yang lebih banyak. Kita 
piknik di Gisik  Salamah saja. Kita ajak anak2 oom Mohamad Amin mas Djufri, 
Khamsinah dan Siti Natura. Juga yu Sutiyah, Sutimah dan Sutomo anak2nya oom 
Ahmad Sulaiman. Yah lebih baik kita ajak semua anak2 kampung B dan kampung 
C." kataku.

"Baik nanti kita rundingkan dengan mas Lukman dan mas Suroso dan yang 
 lain2." Kata mas Darmo.

Kami meneruskan memancing dan selain pancing biada kami memasang pancing 
rawe. (Pancing rawe ialah beberapa mata kail yang dengan tali kail pendek 
diikatkan pada sepotong kayu nibung yang dibuat seperti sumpit lalu sumpit2 
yang sudah bermata kail itu diikatkan ke tali pancing yang panjangnya 10 
sampai 20 meter. Nah berjejerlah pancing2 itu di tali kail yang panjang, 
ditarik  dengan perahu ke tengah sungai lalu dilepas ke dalam air. Tentu 
saja dengan diberi bandul supaya bisa tenggelam.).

Kebetulan hari itu memang sedang mujur. Dalam waktu yang singkat kami sudah 
mendapat banyak ikan, Ada ikan kakap, baung , sembilang dan lain2.

"Kita dapat ikan banyak. Lebih baik kita bawa ke tempat oom Tambi biar 
dijual di tangsi militer. Nanti uangnya kita belikan benang layangan dan 
kertas layangan." Kata Rusdi.

Kami semua setuju dan segera berkemas unrtuk menyeberang sungai Digul ke 
kampung B. Di tepian Kampung B anjing kami si Tupon menyalak-nyalak. Rupanya 
ibuku menyuruh si Tupon mencariku yang tidak pulang-pulang  selesai mengaji.

Aku segera turun dari perahu dan naik ke darat. Si Tupon rupanya tidak sabar 
lagi. Ujung celana monyetku digigitdan ditarik-tarik mengajak pulang.

"Tupon, tunggu. Jangan gigit dan tarik2 celanaku nanti robek. Nanti dimarahi 
simbok", kataku.

Rupanya si Tupon tanggap dan tidak menggigit dan menarik2 lagi.

Aku segera bergegas pulang.  Sesampai di rumah kulihat ibuku sedang menyapu 
latar (halaman).

"Mbok kalau main jangan jauh-jauh." Kata ibuku.

Aku yang merasa bersalah diam saja.  Kubantu ibuku membakar sampah-sampah di 
lobang jugangan yang dibuat ayahku khusus  untuk membakar sampah.  Jugangan 
itu nantinya kalau sudah penuh abunya digali kembali dan ditanami pisang 
raja, pisang muli, pisang emas atau pisang lainnya. Tapi aku akan minta 
ayahku agar aku boleh menanam pohon sirsak yang bijinya kutanam beberapa 
bulan lalu dan sudah tumbuh sekitar setengah meter.  Daunnya lebat dan hijau 
karena setiap pagi kuberi pupuk extra. Apa pupuk extra itu? Setiap pagi aku 
seni di pohon sirsak itu. Hahaha pupuk extra dan aku tertawa sendiri 
mengingat  kenakalanku di masa kanak2. Tentu saja tak ada anak2 yang nakal 
seperti aku ini bukan?



"Tupon,tupon.. ke sini" panggil ibuku.

"Sekarang sudah sore. Sebelum magrib mbakyumu Darsini harus sudah pulang. 
Mbakyumu di rumah oom Hatta, tahu kan?" kata ibuku kepada Tupon.

 Lipatan  kerta dimasukkan ke dalam kantong kecil di leher Tupon.



"Susul mbakyumu Darsini" perintah ibuku kepada si Tupon.

Tupon menyalak dua kali  lalu pergi berlari-lari anjing. Sesampai di rumah 
oom Hatta di pintu masuk Tupon menyalak pelan dua kali. Si Tupon tidak 
langsung masuk ke dalam rumah oom Hatta.  Rupanya si Tupon tahu betul, bahwa 
oom Hatta tidak suka anjing.

"Oom, mag ik even naar buiten." Kata kakakku Darsini kepada oom  Hatta.

Kakakku Darsini keluar dan mengambil  kertas kecil di kalung leher Tupon.

"Wat is dat?" Tanya oom Hatta.

"Een brief van mijn moeder" jawab kakakku.

'Wonder, een buitengewoone hond." Kata oom Hatta.

Kertas kecil  itu isinya, ibuku menyuruh kakakku Darsini supaya sebelum 
pulang mampir ke rumah yunda Lasmikin (isteri kakanda Yahya Malik Nasution 
yang juga diinternir ke Digul  karena anggota Partindo).  Yunda Lasmikin 
masih keponakan ibuku dan juga sama-sama  berasal dari daerah Bagelen.

Oom Hatta  dan oom Sjahrir adalah interniran yang diasingkan ke Digul 
sekitar tahun 1935 tetapi setelah setahun di Tanah Merah dipindahkan ke 
Banda Neira dan di Banda Neira ini juga ada interniran lainnya yaitu Dr.Iwa 
Kusumasumantri dan Dr. Tjipto Mangunkusumo.

Anak2 Digul yang sempat belajar bahasa  Belanda dengan oom Hatta dan oom 
Sjahrir antara lain ialah : mas Lukman, yunda Siti Rollah Sjarifah  (putra 
putri mbah Kiyahi Haji Mukhlas), mas Suroso, yunda Siti Niswati (putra putri 
Oom Kadirun ), Darsono, Darsini  abang dan kakakku  (anak2 pak Ramidjo) dan 
banyak lagi anak2 Digul yang umumnya sudah remaja mendekati dewasa. Aku 
tentu saja tidak ikut belajar sebab aku masih terlalu kanak2 yang lebih suka 
bermain layangan atau mincing daripada belajar. Hehehe, ngaku ya  si anak 
beling dan bandel. Pantas digebuki interrogator sampai ringsek.

Cerita Tupon akan disambung di kesempatan lain kaslau kakek2 yang ngetik ini 
masih berumur panjang. Ngetik sebelah tangan ini  banyak salahnya, Di gudang 
maaf masih tersedia persediaan maaf kan? Ya aku minta maaf, tangan kananku 
belum juga mau berfungsi. Hahahaha.., rupanya yang membaca tulisanku ini 
semuanya baik hati dan mau memaafkanku.  Subhannallah. Semoga Allah selalu 
membimbing kita ke jalan yang lurus, jauh dari sifat iri dan dengki apalagi 
korupsi yang merugikan rakyat banyak.  Alhamdulillahirobbilamamin.***



Tangerang, Selasa Kliwon 08 Mei 2007.-

Kirim email ke