----- Original Message ----- From: Tomodihardjo Soeprijadi To: Sent: Monday, 3 September, 2007 0:02 Subject: Resensi buku
Resensi buku oleh Soeprijadi Tomodihardjo ALHAMDULILLAH Roman Memoar Pengarang Abangan Pengarang: Asahan Aidit Penerbit: Lembaga Sastra Pembebasan Tebal: I-X plus 419 + 29 halaman gambar HANYA ada satu makna bila seseorang mengucap Alhamdulillah, yakni merasa bersyukur kepada Allah karena merasa menerima berkahNya. Ucapan ini terkait erat dengan nurani Islam di mana para pemeluknya percaya, segala harapan dan cita-cita maupun pahala tak terduga dalam hidup ini hanya terlaksana berkat rahmatNya. Namun manusia kerap mengucap Alhamdulillah sekedar sebagai cetusan spontan karena kebiasaan. Toh bukan kebetulan ketika Asahan Aidit memilih ALHAMDULILLAH sebagai judul buku roman memoarnya. Dengan sadar ia benar-benar merasa bersyukur ke hadirat Allah ketika terbebas dari belenggu otoritas partai yang terasa menindasnya, dan ini terjadi berkali-kali selama 17 tahun bermukim di Vietnam, seperti terungkap dalam roman memoar ini. Siapakah Asahan? Bagi penentang azas dan ideologi marxis-sosialis-komunis, kenyataan bahwa ia adik kandung mendiang Ketua Partai Komunis Indonesia (DN Aidit) yang terdidik sejak muda di Tanahair ditambah 5 tahun belajar di Uni Sovyet dan 17 tahun di Vietnam, mungkin memberi kesan, pengarang ini seorang marxis-komunis. Belum tentu juga. Ia memang Marxis abangan seperti pengakuannya sendiri: "... saya memang pantas termasuk yang Marxis abangan, Patriot abangan, Islam abangan, Nasionalis abangan dan semua saja yang abangan..." (hlm.179). Namun apa yang diakunya belum tentu miliknya. Dalam wawasan sejarah kolonial Belanda di Indonesia, predikat abangan sering memicu penafsiran rancu. Pertama, Islam abangan adalah mereka yang hanya terdaftar dalam cacah-jiwa sebagai beragama Islam tetapi tidak melaksanakan rukun Islam dan karenanya lazim disebut juga "golongan Islam Statistik". Kedua, Islam abangan adalah semacam ejekan bagi mereka yang beragama Islam tetapi menganut ideologi Marxis yang (dicap) atheis. Sarkasme ini sangat disukai lawan-lawan ideologinya, kalangan penguasa kolonial Belanda maupun bangsa sendiri, untuk menyudutkan dan mengisolasi gerakan kiri (PKI) dari masyarakat Hindia Belanda yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi karena Marxis itu sendiri adalah merah, maka Marxis abangan bisa punya makna ekstrem: kelewat merah. Dalam kajian sastra Indonesia orang mengenal sarkasme jenis ini pada karya prosa karangan Iwan Simatupang: Merah, Merahnya Merah. Dalam kajian serajah Hindia Belanda, nama Haji Misbach dikenal sebagai eksponen desiden yang ikut memelopori pemberontakan PKI melawan kekuasaan penjajah Belanda (1926-1927) tanpa meninggalkan keyakinan agamanya. Islam abangan? Mengapa bukan? Bagi setiap bangsa yang mengalami penindasan kolonial, pemberontakan melawan penjajah pada dasarnya merupakan sikap mulia. Namun kegagalan pemberontakan itu sendiri justru menyingkap kekurangan bahkan pelbagai kesalahan, terutama pada diri para pelopornya. Barangkali kesalahan ini tergolong penyakit kekiri-kirian, kekanak-kanakan, an infantile disorder, seperti kata guru besarnya: Lenin. Mekanisme dalam filsafat mengenal hukum sebab-akibat. Dalam wacana ini setiap kekalahan berasal dari kesalahan besar, ibarat anak kecil yang tak menyadari akibat perilakunya yang keliru. Realitas tragis ini malah diperparah dengan pengakuan Asahan bahwa predikat abangan yang disandangnya "adalah juga imbas dari perbuatan abang-abang saya yang bagi saya juga adalah para abang-abangan." (hlm. 179). Kalimat ini memperkuat kesan, pengarang roman memoar ini bersikap sangat kritis terhadap perilaku masalalu abang-abangnya sebagai orang abangan. Kesan ini mencuat dalam narasi pengarang sepanjang roman memoar ini, yang tanpa ragu membongkar haluan dan langgam kepemimpinan partai yang sangat dibencinya. Menelusuri garis besar roman memoar setebal 420 halaman ini pembaca dengan mudah bisa mengambil kesimpulan sederhana: dari awal sampai akhir Asahan menempatkan diri sebagai pembelot, melancarkan kecaman dan kritik-kritik tajam terhadap pimpinan kelompok partainya di Vietnam yang tunduk kepada pimpinan lebih tinggi di Beijing di mana mereka menempatkan ajaran Ketua Mao sebagai haluan partai secara membabibuta (fanatik). Sudah pada bab-bab pertama buku ini Asahan memuntahkan keluhan emosional karena merasa diperlakukan sebagai sampah politik. Di Moskow dicap Maois, di Beijing dianggap revisionis, dan di Hanoi tentu saja dicap Maois juga karena partai penguasa negeri Vietnam cenderung berkiblat ke Moskow, bukan Beijing. Posisi Asahan sebagai pembelot menyebabkan dirinya dikucilkan atau merasa dikucilkan oleh kelompoknya. Celakanya, otoritas penguasa negeri Vietnam hanya mengakui kelompok pimpinan PKI sebagai satu-satunya wakil kaum eksil Indonesia. Namun pembelotan pada dasarnya adalah pembawaan pribadi Asahan seperti pengakuannya sendiri: "Dalam keluarga sendiripun saya seorang desident" (hlm. 179). Kolektivisme sebagai pola dan langgam kerja partai baginya merupakan azas penindas nilai-nilai individu kemanusiaan kader-kader bawahan. Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan senior LIPI, menilai kritik-kritik pengarang ini terhadap ideologi partai "sangat efektif" (Pengantar, hlm. vii – Otokritik Terhadap Komunisme). Pengertian efektif dalam persepsi ini layak dicerna lebih mendalam karena bisa berarti positif maupun negatif, tergantung sudut pandang para pembaca. Bagi kelompok partai sang Abang, se-efektif apapun jika kritik-kritik dan kecaman dilancarkan ketika PKI sudah menjadi sejarah dan bukan ketika masih berjaya, hanya akan terdengar bak suara tong kosong yang menggelinding berbunyi bising. Toh sejarah tidak berakhir hari ini. "Perang memang tidak pernah usai bagi seorang yang kebetulan dilahirkan sebagai adik dari seorang Ketua Partai yang dinyatakan terlarang oleh penguasa untuk selamanya," kata Dr. Asvi (hlm. vii). Sementara itu pembaca roman memoar ini boleh bertepuk tangan ketika Asahan membandingterbalik dirinya dengan Dr. Ciptaning. Jika Dr. Ciptaning dengan lantang mengaku "Aku bangga jadi anak PKI", maka Dr. Asahan Aidit menebah dada, "Saya bangga dipecat dari PKI" (hlm. 298). Dipecat atau tidak, tetap saja pengarang ini merasa sebagai orang buangan, tak berbeda dengan kawan-kawan ideologinya yang diasingkan di Pulau Buru oleh rejim Orde Baru. Bahkan domisili kaum eksil di Vietnam maupun di Cina dan beberapa negeri Eropa bagi Asahan adalah "cabang-cabang Pulau Buru"-nya Suharto (hlm. 218) Cerita-cerita sekitar wanita yang mangasyikkan di sela-sela problematik kehidupan pengarang ini sejak Moskow hingga Vietnam bisa ditemukan juga hampir di tiap bab dari dua buku Asahan yang terdahulu: "Perang dan Kembang", "Cinta, Perang Dan Ilusi". Tetapi "Alhamdulillah" jauh lebih padat mengungkap affair-affair percintaan di sela-sela pergulatan ideologi dan politik yang menyudutkan Asahan sebagai korban pengucilan oleh pimpinan kolektif partai. Setting cerita percintaan di sebuah negeri yang sedang menjadi ajang perang melawan Amerika ditambah kontrol kolektiv partai yang sangat ketat plus pengawasan keras dinas rahasia Vietnam, tentu saja bisa mengundang kesan fiktif bagi sebagian pembaca, termasuk penulis resensi ini. Namun, fiksi dan fantasi sudah bukan barang langka dalam novel maupun roman memoar. Garis besar pesan dan gagasan Asahan dalam buku ini layak dinilai sebagai terobosan berani dalam pergeseran ideologi kiri (Marxis, Komunis, Sosialis) yang sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum Uni Sovyet bubar. Sosialisme dan Komunisme sebagai ideologi ternyata bukan barang sakral yang tanpa cacad dan karenanya perlu ditinjau dan dinilai kembali. Sartre, Milovan Djilas, Boris Pasternak, Solschenitzin, Zackarov, bahkan pun Boris Yelzin, hanya sederet garda depan yang coba memelopori reformasi, bahkan rebelli. Hanya, mereka tak sempat menjadi saksi, "kucing-kucing" Deng Xiao Ping banyak berjasa bukan karena warna bulunya melainkan kemampuannya menerkam tikus-tikus sejarah yang merongrong proses perkembangan negerinya menjadi sebuah negara adikuasa yang kini sangat disegani. Kini Dr. Asahan Aidit bermukim di negeri Belanda, tanah pemukiman baru di mana kebebasan dan sorga ternyata hanya impian. Di sini Asahan terbentur kenyataan yang tak pernah ia bayangkan ketika meninggalkan Vietnam. Impian untuk berkumpul kembali dengan keluarganya memang terlaksana saat istri Vietnamnya menyusul bersama putranya. Ia sempat mengucap Alhamdulillah ketika menjemput mereka di bandara Schiphol, Amsterdam (1983). Tetapi pada 29 Mei 1998, satu-satunya putra Asahan itu meninggal dunia pada usia 23 "atas kemauan sendiri secara amat jantan dan sadar" (teks di bawah gambar makamnya ketika sang ayah berziarah). Pengarang ini kehilangan satu-satunya anak lelaki yang sangat dicintainya. Dengan 2 Kata Pengantar, masing-masing ditulis oleh Eep Saefulloh Fatah dan Dr. Asvi Warman Adam, berarti karya yang mengasyikkan ini pernah singgah di 2 tangan yang berpengalaman. Tak penting amat mengapa yang satu menyebutnya "novel" dan yang lain "roman". Dalam percaturan sastra masa kini di Indonesia, perbedaan kedua genre sastra ini masih selalu diperdebatkan. Sayang buku ini dikemas secara tergesa-gesa dan kurang provesional oleh para penyuntingannya. ** Köln, Agustus 2007 Soeprijadi Tomodihardjo cerpenis, tinggal di Jerman.