Soal DKP menyulut yang menyulut “perseteruan” antar SBY dan AR berakhir 
antiklimaks. Saya bukan mau berpanjanglebar soal masalahnya tetapi lebih 
menyorot ke gaya media massa menyikapi hal ini. Ketika titik didih 
“pertengkaran” sudah mencapai kadar “terkesan ancaman”, beberapa media massa 
mengambil sikap : wah, jangan menghabiskan energi hanya untuk debat kusir hokum 
dibawa ke ranah politik. Namun ketika situasi sudah mendingin, eh kayaknya 
beberapa media nggak puas dech dengan penyelesaian yg katanya terkesan 
sembunyi-sembunyi. 
   
  Kok jurnalis berita politik ikut-ikutan gaya wartawan infotainment sich ?! 
Semisal ada kasus berantem artis, bukannya berusaha didamaikan, eh malah ketika 
mereka kelihatan akur, justru dikomporin lagi, biar ada gossip baru bahwa 
mereka berdua “sebenarnya” masih mangkel.
   
  Mbok, yach kalo mau tambah manas-manasin, minta capres lain tahun 2004 dulu 
buka-bukaan juga. Yang paling silent please, siapa lagi kalo bukan mbak Mega. 
Nggak usah takut dibilang tebar pesona. Tapi apa daya, wong untuk kasus 27 Juli 
aza waktu si mbak jadi presiden nggak “bergigi”. Mungkin komentar yg muncul 
saat mencermati ribut2 beginian, njiplak punya mbak Megakarti yg dikit2 
nyeletuk : “itulah kalo presidennya laki-laki !” J
   

       
---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

Kirim email ke