Refleksi: Kalau miskin dan perut keroncong, apakah halal/haram perlu menjadi persoalan sorga/neraka?
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=138986 Selasa, 19 Juni 2007 Kenapa Mesti Halal? RIBUT-RIBUT mengenai persoalan sertifikasi halal tentu saja tidak ada habisnya. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro mengemukakan alasan bahwa sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, sudah semestinya memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram. Adapun yang kontra mengemukakan alasan bahwa sertifikat halal ini bukan bersifat wajib dan tentu saja akan merugikan perusahaan, karena untuk mendapatkannya, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai LP-POM MUI (Majelis Ulama Indonesia) melakukan penelitian sampai tertibnya sertifikat halal. Tentu masih segar dalam ingatan kita, kira-kira tiga tahun lalu, salah satu perusahaan bumbu masak terkenal yang ketahuan di ragukan kehalalnya, terpaksa menarik produknya dari pasar, meminta maaf, dan penjualan langsung merosot tajam, yang paling merugikan tentulah menurunnya kepercayaan konsumen. Image yang dibangun dengan susah payah, terhapus dalam sehari. Berdasarkan pengalaman, akan butuh waktu lama untuk memulihkan keadaan. Meskipun bersifat intangible, kepercayaan merupakan aset yang terbesar bagi perusahaan. Perlu diketahui, persaingan bisnis dewasa ini dapat dikategorikan sebagai pertarungan pembentukan kepercayaan di mata konsumen. Perusahaan yang unggul dimata konsumen adalah yang memiliki kepekaan sosial. Salah satu caranya, dengan mendapatkan Sertifikat Halal yang merupakan syarat mutlak untuk mencantumkan label halal pada setiap produk yang dihasilkan. Meskipun penerapannya dianggap sebagai cost, pada dasarnya hal itu tidak akan mengurangi laba, bahkan merupakan investasi jangka untuk meraih tambahan keuntungan di masa mendatang. Keuntungan lain, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya secara aman dan nyaman. Memang, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia. Tetapi, persoalan halal tentu saja bukan hanya perkara mengandung babi atau tidak, tetapi banyak yang lainnya. Sampai saat ini, jangankan perusahaan mau untuk memberi label halal, untuk mencantumkan komposisi bahan-bahan suatu produk pun belum tentu jujur. Malah, banyak produk yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan tidak dicantumkan dalam labelnya bahkan disembunyikan. Seperti mengandung formalin, menambahkan bahan pewarna tekstil, bahan karsiogenik penyebab kanker dan sebagainya, yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menjadi maut, tentu produk tersebut akan diharamkan juga oleh agama. Selain makanan, dalam industri kosmetik dan farmasi banyak produk yang di ragukan ke halalnya. Ada kosmetik yang dibuat dari placenta manusia, mengandung khamar (alkohol) dan sebagainya. Untuk obat, coba lihat komposisinya, kalau bukan bidangnya tentu kita tidak tahu apa yang terkandung didalamnya. Celakanya sebagian besar obat tidak menyertakan label halal. Contoh yang paling mudah _ meski tidak semua _ yaitu obat yang berbentuk kapsul. Kebanyakan kapsul tersebut bungkusnya terbuat dari gelatin yang terbuat dari tulang babi. Di sinilah pentingnya sertifikat halal, adalah agar dapat menentramkan batin yang mengkonsumsinya. Dengan adanya sertifikat halal, jelas bahwa produk tersebut dijamin sehat dan aman untuk dikonsumsi. Cara ini bukan hanya melindungi konsumen yang mayoritas muslim saja, tetapi juga non muslim Sayangnya sampai saat ini, sebagian besar konsumen yang mayoritas muslim dalam membeli produk hanya melihat kedaluarsa, kemasan bagus dan harga murah. Tentu saja lambat laun diharapkan, konsumen muslim untuk lebih peduli terhadap produk halal. Kelak, perusahaan-perusahaan juga akan patuh kalau konsumen muslimnya menuntut, atau minimal "memboikot" dengan cara tidak membeli. tetapi sebaliknya, kalau masih juga cuek, ya mau bilang apa.** Darmanto SE Pelaksana pada Bank BTN Cabang Pontianak