Audifax:
Ada hal penting yang mau saya angkat, yaitu
masalah `Pemikiran Hegelian". Seperti bisa dilihat pada beberapa
artikel yang saya posting, bahwa Georg Wilhelm Friedrich Hegel,
filsuf Jerman itu, adalah tokoh penting yang mempengaruhi pemikiran
filsafat masa kini. Bukan saja karena ia merupakan guru langsung
dari Karl Marx, tetapi dialektika hegelian itu juga mempengaruhi
banyak sendi kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. Sebagian dari
para ilmuwan atau orang awam barangkali sudah tak asing lagi dengan
dialektika Tesis-Antitesis-Sintesis (di mana sintesis inipun
meerupakan tesis yang nantinya kembali bertemu antitesis). Hegel
percaya bahwa perputaran dialektika itu, nantinya akan berhenti pada
semacam "kemutlakan".

Inilah yang mengilhami pemikiran Marx yang percaya akan
adanya "Masyarakat tanpa kelas" di kemudian hari. Para pemegang
modal (Tesis) akan dilawan oleh kaum buruh (Antitesis), namun
ketika kaum buruh ini berhasil menduduki posisi pemegang modal,
mereka juga akan mendapat perlawanan dari mereka yang sub-ordinat,
begitu seterusnya hingga akhirnya terjadi masyarakat tanpa kelas.

Goen:
Sebelum tiba pada pengartian masyarakat tanpa kelas, kita mesti
mengerti esensi makhluk hidup. Esensi Makhluk hidup itu adalah
mencari makan.

Pada jaman dulu makanan itu tidak bisa diawetkan, jadi dibagi-bagi
ke kelompoknya. Namun akhirnya bisa diawetkan menjadi dendeng,
kebab, lama kelamaan menjadi duit, tanah, emas, dan minyak bumi.

Esensinya adalah mencari makan [duit].

Nah, kemakmuran itu timbul oleh keajaiban alam yang namanya
multiplier effect. Itu didasarkan pada teori comparative
advantage.

A Tukang roti dan B tukang cukur.

Bila A ingin cukur, mana yang lebih bagus, minta tolong B dan bayar,
atau cukur sendiri?

Bila a mencukur di B, apakah A rugi? tidak.

Bila B ingin makan roti, mana yang lebih baik, bikin sendiri atau
beli di A?

Bila B membeli roti ke A apakah B rugi? tidak.

Ternyata kemakmuran meningkat pada saat masing-masing memperdalam
keahliannya, dan memperdagangkannya. A tentu lebih efektif bila
terus membuat roti, dapipada mencukur.

Sebaliknya lebih efisien bila mencukur, daripada membuat roti.
Maka perdagangan akan menciptakan kemakmuran, itu dasarnya dari
kapitalisme.

Bagaimana kalau A ingin terus, terus, terus membuat roti? dia
menciptakan value added, roti keju, roti misis, roti ham, harganya
naik, naik, naik seperti Gillette double edge, menjadi GII, menjadi
Contour plus, menjadi Sensor, Sensor Excel, Gillette Mach 3.
Harganya berlipat-lipat.

akhirnya A menjadi kaya.

apakah ada yang rugi?

tidak.

Audifax:
(Inilah yang sering diterjemahkan ngawur dengan "Sama rata sama
rasa"). Memang lalu tak ada Tuhan di sini, apalagi agama, karena
memang tidak ada urusannya dengan baik Tuhan maupun agama.
Pemikiran Marx inilah yang kemudian diradikalkan oleh
Engels, Lenin, Mao, dll menjadi Komunisme. Di Indonesia memang
pernah muncul Komunisme di era Soekarno, dengan tokohnya D.N.
Aidit. Tapi, konon, D.N. Aidit pun sebenarnya tidak tuntas membaca
Das Kapital-nya Marx. Buku Aidit itu sebenarnya ya manifestonya
sendiri. Dalam buku itu hanya ada sekalimat dua kalimat yang
dikutipnya dari Marx untuk pembenaran apa yang ditulisnya. (Tapi
yang kayak gini biasalah di Indonesia…liat aja penelitian-
penelitian sejumlah ilmuwan di Indonesia)

Goen:
Ini tambah blunder, dicampur Atheis. Menjadi Komunis, blunder. Pada
saat makhluk hidup dilepas dari esensinya mencari makan [duit] maka
efek kemakmuran akan hilang, efek comparative advantage, masing-
masing tidak mengejar efektivitas, efisiensi. Makanya komunis cepat
bubar, seperti di Rusia, atau Germany dan Vietnam.

Deng Xiao Phing lebih cepat melihat gelagat, segera berpendapat
bahwa uang itu mulia.

Menjadi kaya itu mulia

Tidak peduli kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap
tikus.

Makanya sistem segera berubah cepat, manusia segera mencari makan.

Audifax:
Tapi….coba kita renungkan juga pada mereka yang berpegang
pada "Tuhan" atau "agama". Tidakkah mereka juga sama hegeliannya
dengan Marx? Tidakkah mereka juga membayangkan sebuah masyarakat
tanpa kelas pada apa yang mereka percayai
sebagai "Surga", "Pengadilan di hari terakhir", dan sejenisnya itu?

Goen:
Jangan salah mas, surga itu bukannya nanti, tapi sekarang,
neraka itu bukannya nanti, tapi sekarang. Kalau saya mencubit anda,
anda menabok saya, itu hukumannya.

Bagaimana kalau saya menolong anda? anda akan membalasnya bukan?
Itulah surga.

Surga itu bukannya masyarakat tanpa kelas bung. bukan.

Dia itu seperti handphone, pakai bluetooth, pada saat seseorang
hidup dengan jati dirinya yang sejati, menggunakan jiwanya, maka dia
akan mendapat pencerahan, penerangan, menjadi jelas, menjadi tahu.
kemana mau mengarah. seperti matahari, semua terlihat terang,
menjalani hidup semestinya.

apakah itu?

Ternyata hidup itu adalah lewat orang lain. Dia hidup supaya bisa
menolong orang lain. Menjadi berguna bagi nusa dan bangsa. Efek
manfaat itu yang harus dikejar. semakin besar, semakin tinggi
manfaatnya, semakin hidup dia. Kehidupan itu namanya kehidupan
sejati, kehidupan kekal, sekarang juga.

Itu bukan berarti manusia dilepaskan dari esensi mencari makan,
justru tugas kita itu menolong manusia lain mencari makan, bagaimana
caranya? supaya mereka menolong yang lainnya.

ada tukang cat, yang menolong mengecat, mengecat, mengecat.

ada tukang melukis, dia melukis, melukis, melukis untuk orang lain

ada tukang menyanyi, menyanyi, menyanyi, menyanyi untuk orang lain

ada tukang manajemen, dia manajemen, amanjemen terus untuk orang
lain.

begitu lho.....

lalu dapat uang, uangnya untuk apa?

terserah, mau untuk beli Nokia, Vertu, untuk anak-anaknya, untuk
istrinya, boleh, itu namanya buah kehidupan, asal jangan merugikan
orang lain

salam,
GG

Kirim email ke