Kredo Alternatif Wilson Lalengke - Menggugat Kesaktian Pancasila

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070930024122

Oleh : Wilson Lalengke 

30-Sep-2007, 02:41:22 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Daya tarik perbincangan tentang Pancasila bagi 
sebagian besar kalangan, terutama kaum intelektual, masih cukup 
besar. Walau pada dekade terakhir, Pancasila seakan 
kehilangan "trah"-nya, namun ia masih melekat kuat sebagai sesuatu 
yang bernilai untuk ditinggalkan begitu saja. Bahkan, bagi kita yang 
masih memiliki nasionalisme Indonesia yang kuat, mempertahankan 
Pancasila sebagai bagian dari eksistensi negara adalah harga mati. 
Penetapan dan peringatan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila 
adalah salah satu penanda bagi "lestari"-nya Pancasila di hati 
bangsa Indonesia. Namun, adalah hal yang wajar bila terbesit sebuah 
pertanyaan, benarkah Pancasila itu sakti? Apakah standar penetapan 
Pancasila sebagai sesuatu yang sakti dapat diterima secara nalar 
keilmuan dan moralitas? Perlukah kesaktian bagi sebuah ideologi 
seperti Pancasila? Dan seterusnya, dan lain sebagainya.

Hakekatnya, Pancasila dipandang dan diletakkan sebagai suatu 
idealisme atau sesuatu keadaan ideal bagi sebuah tatanan 
kemasyarakatan bangsa Indonesia. Ia kemudian diadopsi menjadi sebuah 
ideologi negara yang secara kontekstual akan menjadi acuan ideologis 
bagi setiap elemen penyelenggara negara, yakni pemerintah dengan 
semua perangkat-perangkatnya yang tergabung dalam eksekutif, 
yudikatif, dan legislatif; dan juga elemen masyarakat seluruhnya. 
Dalam bahasa lain, Pancasila biasanya disebut sebagai falsafah hidup 
bangsa Indonesia, yang lebih berkonotasi sebagai pandangan dan 
pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Sampai pada titik ini, 
hampir tidak ada persoalan yang ditemukan pada Pancasila.

Masalah kemudian muncul ketika kita menganalisa secara mendalam 
tentang apa itu falsafah dan apakah Pancasila cukup pantas untuk 
dikategorikan sebagai sebuah falsafah hidup? Secara singkat, 
falsafah adalah hasil berfilsafat atau berpikir atau kontemplasi. 
Menurut asal katanya, filsafat berarti mencintai dan pencinta 
kebijaksanaan (Bahasa Yunani, phílos: teman atau pencinta, dan 
sophía: kebijaksanaan). Dari pengertian ini kemudian orang 
memberikan julukan kepada para filosof sebagai "orang bijak", yang 
selalu berpikir "bagaimana sebaiknya" sebelum mereka melakukan 
sesuatu tindakan.

Terdapat empat bidang yang menjadi fokus filsafat. Pertama disebut 
ilmu etika, yakni bidang ilmu filsafat yang mempelajari tentang 
bagaimana seharusnya seseorang bersikap dan bertingkah laku. Kedua 
adalah ilmu metafisika yang mempelajari tentang esensi alam dan 
segala isinya, termasuk hukum-hukum alam yang ada di dalamnya. 
Ketiga, epistemologi yang biasa disebut juga teori ilmu pengetahuan. 
Cabang ilmu filsafat ini berhubungan dengan kebenaran dan keyakinan 
yang menjadi dasar penerimaan sesuatu yang disebut pengetahuan. 
Keempat adalah ilmu logika, yang fokus kajiannya menyangkut logis 
tidaknya sebuah alasan dari sebuah tindakan atau fenomena. 

Pendapat para ahli boleh saja berbeda antara ahli yang satu dengan 
yang lainnya tentang falsafah atau hasil kongkrit dari filsafat yang 
baik dan sempurna. Namun umumnya dipahami bahwa sebuah falsafah yang 
ideal semestinya merupakan perpaduan dari keempat sub elemen dari 
filsafat seperti disebutkan di atas. Sebagai contoh, Deontologi-nya 
Immanuel Kant (1724-1804) mengajarkan tentang "perbuatlah kepada 
orang lain apa yang anda inginkan orang lain perbuat terhadap anda" 
sebagai dasar ia bersikap dan berbuat sesuatu. Ini jelas sebuah 
ajaran etika dalam filsafat Barat, yang karena esensi alamiah setiap 
manusia adalah sama derajatnya maka perlakuan terhadap orang lain 
juga mesti sebanding dengan apa yang kita harapkan dari orang lain 
perbuat terhadap kita; dan ini adalah alur berpikir yang logis. 
Kebenaran dari pernyataan itu hampir tidak dapat terbantahkan, dan 
ketika ajaran itu diyakini oleh seseorang, maka ia kemudian menjadi 
ilmu pengetahuan.

Kembali kepada Pancasila; sebagai sebuah hasil berpikir mendalam, 
maka ia dapat dikatakan sebagai falsafah bagi komunitas yang 
membenarkan dan meyakininya. Namun pada tataran nilai per nilai di 
dalam Pancasila, perlu dilakukan kajian dan analisis yang lebih dari 
sekedar pemenuhan selera politis negara untuk mengklaim Pancasila 
sebagai suatu falsafah. Apalagi untuk mengatakan bahwa Pancasila 
adalah sebuah ideologi tanpa cacat yang harus diadopsi dan diyakini 
secara buta bagi warga negaranya.

Sebagai contoh, Sila pertama dari Pancasila berbunyi "Ketuhanan yang 
Maha Esa". Bicara ketuhanan, langsung atau tidak, pasti akan 
bersentuhan dengan yang namanya kepercayaan dan agama. Benar ada 
filsafat agama, namun pada titik kajian tentang eksistensi "Tuhan" 
dan "kekuasaan-Nya" yang bekerja mengatur alam semesta menjadi sumir 
dan tidak mendapatkan jalan keluar yang memuaskan secara logika. 
Akhirnya, pada setiap diskursus agama yang terbentur pada tembok 
besar "siapa tuhan?", setiap orang berargumen bahwa ketuhanan sesuai 
dengan "ajaran agama" yang harus diyakini tanpa perlu 
bertanya "mengapa?" Contoh lain, Sila ketiga "Persatuan Indonesia". 
Esensi yang dikandung pada sila ini dapat dipahami sebagai suatu 
idealisme persatuan dan kesatuan semua unsur, manusia, tanah, laut, 
kekayaan alam, dan segalanya, yang ada di nusantara dari Merauke di 
Timur hingga ke Sabang di sebelah Barat. Keadaan "satu Indonesia" 
itu hampir tidak bermakna apa-apa secara filosofis, karena bilapun 
ada rasa saling menghormati antar sesama suku, antar masyarakat di 
Indonesia, dan kerjasama di antara mereka, hal tersebut bukan semata-
mata dilakukan karena sila ketiga itu.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Pancasila sebagai sebuah kesatuan 
antar sila-silanya pada titik tertentu memiliki kelemahan filsafati 
untuk disebut sebagai falsafah karena tidak seluruhnya mencerminkan 
kriteria filsafat secara teoritis maupun praktis. Namun pada sila-
sila tertentu, seperti Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetap 
mengandung nilai falsafah yang tinggi dan dapat diterima di setiap 
komunitas manusia di manapun berada. Sila Keadilan Sosial bagi 
Seluruh Rakyat Indonesia juga merupakan unsur falsafah yang perlu 
dijadikan pedoman berbangsa dan bernegara.

Terlepas dari benar tidaknya, diterima atau ditolaknya argumen di 
atas, yang paling penting bagi kita adalah memahami secara baik 
sebuah konsep nilai sebagai ilmu filsafat. Ketika konsep nilai itu 
tidak memenuhi standar keilmuan, yang salah satunya adalah memenuhi 
standar logika, maka konsep tersebut kurang tepat dikatakan sebagai 
falsafah. Ia hanya sebuah konsep keyakinan belaka yang tidak perlu 
dibuktikan kebenarannya secara logika, sebagaimana halnya konsep 
agama dan aliran-aliran kepercayaan.

Kita ibaratkan Pancasila dapat dikategorikan sebagai sebuah falsafah 
hidup. Dalam kondisi ini, Pancasila semestinya juga dapat menjadi 
dasar pengembangan teori-teori filsafat selanjutnya 
sebagai "turunan" dari Pancasila itu sendiri. Sebagai contoh, teori 
keadilan-nya John Rawls (1921-2002) yang banyak jadi rujukan bagi 
kebijakan politik di negara-negara maju merupakan elaborasi lebih 
lanjut dari teori Utilitarianisme-nya Jeremy Bentham (1748-1832 ) 
dan John Stuart Mill (1806-1873). A theory of Justice (teori 
keadilan) hasil pemikiran filsuf Amerika, John Rawls, ini kemudian 
dijadikan landasan berpikir oleh pemikir lainnya untuk memunculkan 
idealisme "turunan" selanjutnya seperti Global Distributive of 
Justice (distribusi keadilan global) yang dikemukakan oleh salah 
satunya Prof. Goran Collste, seorang filsuf berkebangsaan Swedia.

Dalam konteks ini, Utilitarianisme sebagai sebuah falsafah hidup 
telah berperan aktif dalam mengatur tata nilai sebuah masyarakat, 
umumnya masyarakat Barat, dan falsafah tersebut dalam perjalanan 
sejarahnya mengalami pengembangan sesuai kebutuhan jaman dan 
kemajuan berpikir masyarakatnya. Dengan argumen ini, ingin 
ditegaskan bahwa bila memang Pancasila adalah sebuah falsafah hidup 
bagi sebuah bangsa bernama Indonesia, maka seharusnya konsep nilai 
tersebut dapat dijadikan landasan berpijak bagi 
menghasilkan "falsafah-falsafah turunan" selanjutnya sesuai dengan 
keadaan kekinian masyarakat Indonesia. Bila ia tidak mampu 
menjembatani kebutuhan pengembangan filsafat ke masa depan, maka 
Pancasila tidak lebih dari sebuah doktrin mati yang tidak bernyawa, 
yang justru tidak dapat dijadikan pandangan hidup berbangsa dan 
apalagi bernegara dalam jangka waktu yang lama.

Keberadaan Pancasila sebagai sebuah falsafah hidup mengundang tanda 
tanya besar ketika 1 Oktober dijadikan sebagai hari Kesaktian 
Pancasila. Sebagian orang memandang keinginan untuk mempertahankan 
peninggalan kebijakan orde baru itu justru melemahkan esensi 
Pancasila sebagai falsafah, penuntun manusia untuk hidup sebagai 
layaknya manusia beradab. Betapa tidak, bila Kesaktian Pancasila itu 
lahir atas dasar peristiwa berdarah, yang merupakan lembaran hitam 
bangsa ini. Logika mana yang dapat membenarkan bahwa Pancasila 
dianggap sakti ketika militer dan rakyat berhasil "menyelamatkannya" 
dengan melenyapkan jutaan nyawa manusia Indonesia yang notabene 
mengakui Pancasila sebagai miliknya juga? Jikapun yang dibunuh itu 
adalah kaum komunis, adakah Pancasila menuntun bangsa ini untuk 
menghabisi nyawa mereka?

Bukan hasrat ingin mengecilkan arti gugurnya beberapa jenderal di 
Lubang Buaya, namun apakah Pancasila mengajarkan untuk membunuhi 
orang lain (baca: rakyat) sebagai bayaran bagi tujuh jenderal itu? 
Tidaklah salah jika ada kalangan yang berpandangan bahwa pembunuhan 
besar-besaran pasca peristiwa 30 September 1965 itu bukan atas 
arahan atau tuntunan Pancasila, tetapi dilakukan oleh "oknum" 
pemerintah transisi saat itu. Artinya, Pancasila tidak harus menjadi 
kambing hitam sebagai "terdakwa" dalam diskursus ini. Jika logika 
tersebut boleh kita adopsi bersama sebagai sebuah kebenaran, maka 
sesungguhnya yang sakti itu bukan Pancasila, tetapi "oknum" 
pemerintah transisi masa itu alias pemerintah orde baru. Jadi 
seharusnya bukan hari Kesaktian Pancasila, tetapi hari Kesaktian 
Orde Baru.***

Penulis adalah alumnus program pascasarjana bidang studi Global 
Ethics (Inggris) dan Applied Ethics (Belanda, Swedia)

Blog: http://pewarta-kabarindonesia.blogspot.com 
Alamat ratron (surat elektronik): [EMAIL PROTECTED] 
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: 
http://kabarindonesia.com

Kirim email ke