Indra J. Piliang: "Mega-Sutyoso kurang pas"
   
  Mega Bersedia Maju 
                 Selasa, 11 September 2007     JAKARTA (BP) - Teka-teki 
kesediaan Megawati Soekarnoputri untuk dicalonkan kembali pada Pilpres 2009 
mendatang telah terjawab. Dalam penutupan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 
PDIP kemarin malam, Megawati secara terbuka menyatakan kesediannya untuk maju 
lagi.   ’’Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, Saya … Saya Megawati 
Soekarnoputri bersedia dicalonkan sebagai presiden dari PDIP,” kata Megawati 
terbata-bata. Mendengar itu, spontan, belasan ribu kader PDIP yang memenuhi 
hall A PRJ Jakarta Utara berteriak histeris mengekspresikan kegembiraannya.
’’Terimakasih. Sampaikan hal ini…,” ujar Mega terputus karena tak kuasa 
melanjutkan kata-katanya. Dia sampai menangis terharu melihat respon luar biasa 
yang muncul dari para kadernya. Tiba-tiba, MC acara memberi aba-aba untuk 
menyanyikan lagu Maju Tak Gentar. ”Kita nyanyikan lagu Maju Tak Gentar,” 
katanya.
  
Lagu ciptaan C Simanjuntak itupun lantas membahana dari segenap penjuru 
ruangan. Para kader Mega menyanyikannya dengan penuh penghayatan dan semangat. 
Suasana haru biru melingkupi seluruh kader PDIP. Banyak di antara mereka yang 
juga tak kuasa menahan air mata. Setelah untaian lagu itu berakhir, Mega 
mencoba untuk kembali mempertegas kesediaannya itu. 
  
Tapi, lagi-lagi dia tak mampu menuntaskan kata-katanya. ’’Sekali lagi, sebagai 
Ketua Umum Partai, saya Megawati Soekarnoputri…,” ujarnya terputus. Mega 
benar-benar tak mampu menahan tetesan air matanya. Suasana ruangan kian riuh 
dengan tepuk tangan, teriakan mega presiden, dan pekik ”merdeka”.
  
Ketika Mega sedang berusaha menenangkan dirinya itu, mendadak Taufik Kiemas 
bangkit dari kursinya dan berjalan pelan ke arah podium. Dengan tenang, dia 
menghampiri Megawati dan mengecup kening sang istri. Mendapat perlakuan itu, 
Mega makin tambah terharu.
  
Ribuan kader PDIP pun tak kuasa menahan perasaannya. Kembali, mereka 
menyanyikan lagu Maju Tak Gentar hingga diulang sebanyak dua kali.
  
’’Terimakasih, saya yakin bahwa keseluruhan dari 16.400 orang ini (kader PDIP 
yang hadir, red) akan memberitahukan keputusan saya sebagai Ketum ataupun dari 
pribadi diri saya untuk disampaikan kepada seluruh warga PDIP dan masyarakat 
Indonesia dimanapun mereka berada,” ujarnya.
  
’’Apakah kalian siap? Apakah kalian akan bekerja keras?” tanya Mega lantang. 
’’Siap, kami siap,” jawab ribuan kader PDIP juga tak kalah lantang. 
Selanjutnya, Mega meminta agar sepulangnya ke daerah masing-masing, para 
peserta Rakernas segera menggelar rapat-rapat untuk menyosialisasikan keputusan 
rakernas.
  
’’Seluruh jajaran struktural, eksekutif, dan legislatif harus mulai bekerja. 
Apa (kekalahan, red) yang menjadi bahan evaluasi jangan sampai terjadi lagi,” 
tegasnya. Sebab, lanjut Mega, seiring dengan pernyataan kesediaanya, para lawan 
politiknya pasti akan segera mengkalkulasi konsekuensi dari keputusan itu.
  
’’Oleh karena itu, kita bertekad merapatkan barisan. Kita pasti bisa jika kita 
bersama rakyat. Kita pasti menang. Merdeka. Merdeka. Merdeka,” pekik Mega. 
Penegasan Megawati itu sekaligus menutup Rakornas PDIP.
  
Sekjen PDIP Pramono Anung kemudian meminta segenap kader PDIP untuk menyanyikan 
berturut-turut lagu Bagimu Negeri dan Sorak-Sorak Bergembira. Keseluruhan acara 
Rakornas lantas diakhiri dengan pembacaan doa yang dibawakan oleh Ketua Umum PP 
Baitul Muslimin Indonesia Hamka Haq. 
  
Pakai Dasi Merah, Sutiyoso Tegaskan Dia PDIP 
 Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PDIP yang digelar sehari di Gedung PRJ 
Jakarta Utara, kemarin, benar-benar menjadi puncak konsolidasi moncong putih. 
Maklum saja, agenda yang menghadirkan sekitar 16.000 kader PDIP itu melibatkan 
seluruh jajaran struktural partai, mulai DPP (Dewan Pimpinan Pusat) sampai PAC 
(Pimpinan Anak Cabang).
  
Hadir juga 196 Kepala Daerah dan ratusan anggota legislatif dari PDIP. Agenda 
ini merupakan satu rangkaian dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP 
yang dihelat 8-9 September di tempat yang sama. Hanya bila Rakernas menggunakan 
Hall A, maka Rakornas ini berpindah ke Hall B yang ukurannya lebih besar hampir 
dua kali lipat. Ada delapan layar raksasa yang terpasang di bagian depan.
  
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso terlihat duduk dalam deretan kursi terdepan untuk 
para undangan bersama para kepala daerah lainnya. Hadir juga, Gubernur DKI 
periode 2007-2012 terpilih, Fauzi Bowo yang sebentar lagi akan memulai masa 
tugasnya menggantikan Sutiyoso. Selain itu, tampak sejumlah petinggi partai, 
seperti Sekjen Partai Golkar Soemarsono, Wakil Ketua FPKS DPR RI 
Zulkiflimansyah dan Sekretaris FPKS Mustafa Kamal.
  
Sutiyoso yang disebut-sebut mulai dijajaki PDIP untuk menjadi cawapres Megawati 
mengatakan kehadirannya tidak berkaitan sama sekali dengan persoalan itu. ”Saya 
ini ’kan kader. Saya jadi Gubernur dicalonkan PDIP. Masa partai punya gawe 
begini, saya nggak datang,” katanya seusai pembukaan Rakornas.
  
Sutiyoso yang kemarin mengenakan setelan jas hitam dan dasi merah menyala itu 
menyebut dirinya belum merasa diproyeksikan PDIP untuk mendapampingi Mega. 
”Belum dikatakan itu. Saya kira kita jangan berandai-andai dulu-lah,” ujarnya.
  
Menanggapi pertanyaan para wartawan yang menyebut Sutiyoso mendapat apresiasi 
positif dari para kader PDIP, Sutiyoso tak banyak berkomentar. ”Amin aja. Saya 
bilang amin aja,” tegasnya. Apakah ini karena besarnya keinginan dirinya untuk 
maju sebagai R1? ”Saya belum bisa komentar itu, masih jauh,” jawabnya lantas 
tersenyum.
  
Ketua FPDIP DPR RI Tjahjo Kumolo mengatakan, bila Megawati bersedia dicalonkan 
sebagai capres 2009, maka mekanisme penentuan cawapres juga akan diambil 
melalui Rakernas. Kebetulan PDIP memang masih punya dua agenda Rakernas lagi, 
yaitu di Makassar pada akhir 2007 ini dan Sulawesi Selatan pada awal 2008.
  
”Kami akan menginventarisir nama-nama dan melihat bagaimana respon kader,” 
katanya. Selain memperhatikan kesamaan platform, jelas dia, PDIP tetap mencoba 
realistis. ”Kami akan melihat cawapres yang punya nilai tambah dan potensi 
suara,” imbuhnya.
  
Tjahjo sendiri mengusulkan, pasangan capres dan cawapres sebaiknya dari satu 
partai yang sama atau paling tidak dengan sosok non partisipan. Koalisi dengan 
partai lain dapat dibangun pada level kabinet. Sehingga, keseimbangan 
pemerintahan bisa dijaga sejak awal mulai berjalan. ”Untuk figur non partisipan 
itu, bisa dari birokrasi, pengusaha, purnawirawan militer, atau calon 
independent lain,” tegasnya.
Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) 
Indra J.Pilliang menilai kombinasi Mega-Sutiyoso kurang pas. Dia beralasan 
Sutiyoso sebenarnya memiliki ambisi untuk maju sebagai presiden pada 2009. 
  
Indikasinya, jelas Indra, Sutiyoso kerap menghadiri dan mendukung deklarasi 
sejumlah partai-partai baru. ”Mungkin jumlahnya kalau ditotal sudah lebih dari 
20 partai politik,” katanya ketika dihubungi, kemarin.
  
Tak hanya itu, Indra juga mengaku sering mendengar Sutiyoso secara ”guyon” 
dalam sejumlah acara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta sejumlah anggota DPD 
untuk menjadi manajer campaign-nya di masing-masing provinsi. ’’Jadi, ego 
aslinya Sutiyoso itu menuju RI 1, bukan wapres,” tegasnya.
  
Kendati demikian, Indra melihat adanya kecenderungan penurunan ego Sutiyoso 
dalam beberapa bulan terakhir. Khusunya, ini tampak dalam proses penunjukan 
Mendagri pengganti M Ma’ruf oleh SBY beberapa waktu lalu. ”Ketika itu muncul 
sinyal Sutiyoso nggak ada masalah kalau diangkat SBY menjadi pembantunya selaku 
Mendagri,” bebernya.
  
Karena itulah, dia menduga Sutiyoso masih bisa ”dijinakkan” dan disandingkan 
dengan Megawati. Tapi, lanjut dia, melihat karakter Sutiyoso yang terbiasa 
menjadi pengambil inisiatif, maka kemungkinan pergesekan seperti SBY-JK bisa 
saja terulang pada pasangan Mega-Sutiyoso kalau memenangi pilpres. ”Bahkan, 
mungkin lebih keras,” tandasnya.
  
Namun, sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta dua periode, Indra mengakui Sutiyoso 
memang memiliki infrastruktur yang cukup kuat, baik secara politik, maupun 
logistik. ”Ini akan menjadi faktor yang signifikan. Dari sisi itu, dia punya 
peluang,” katanya.
  
Lebih lanjut Indra menyebut, bila PDIP benar-benar memutuskan Sutiyoso menjadi 
cawapres buat Mega, maka loyalitas Sutiyoso pasti akan kembali diuji. Apalagi, 
imbuh dia, PDIP sempat punya ”trauma” juga dengan manuver Sutiyoso pada 
sekitaran 2004 yang banyak melakukan penggusuran di Jakarta. 
”Peristiwa itu berdekatan dengan Pemilu. Megawati yang menjadi presiden 
kelabakan. Soalnya, masyarakat langsung menilai itu seizin Mbak Mega. Makanya, 
suara PDIP anjlok di Jakarta,” jelasnya. 
  
Gus Dur Tak Hadir
Dari sederetan tokoh di luar PDIP yang diundang, hanya Abdurrahman Wahid atau 
Gus Dur yang berhalangan hadir. Padahal, Ketua Dewan Syura PKB yang didaulat 
untuk menyampaikan materi tentang ”Peran Agama dalam Penguatan Nasionalisme” 
itu sangat ditunggu-tunggu kehadirannya. ”Kami dengar, karena Gus Dur harus 
check up rutin,” jelas salah seorang panitia.
  
Sementara itu, para pejabat negara dan para ketua dewan penasihat partai 
lainnya datang secara bergiliran untuk memberi sambutan. Dimulai dari Ketua MK 
Jimly Ashidiqie, lalu Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar Surya Paloh, 
Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufiq Kiemas, dan Ketua Majelis 
Pertimbangan Partai (MPP) PPP Bachtiar Chamsjah. Setelah itu dilanjutkan dengan 
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Ketua MA Bagir 
Manan.
  
Dengan semangat mereka semua mengawali dan mengakhiri sambutannya dengan pekik 
”merdeka”. Bahkan, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang sudah mengakhiri 
pidatonya dan menerima cinderamata kalung berlogo PDIP, menyempatkan diri untuk 
kembali ke podium, karena lupa menyampaikan salam nasional itu. ”Oh ya, ada 
yang lupa. Merdeka, Merdeka, Merdeka,” pekiknya yang langsung disambut meriah 
oleh seluruh kader PDIP.
  
Bachtiar Chamsjah yang sejak zaman pemerintahan Mega sampai SBY menjadi Menteri 
Sosial mengingatkan agar PDIP terus menjaga soliditas internal partai. ”Jangan 
ketika ada musyawarah partai dan kalah, terus bikin partai baru. Sudah kalah, 
bikin partai lagi. Malu sama rakyat,” katanya.
  
Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyebut demokrasi Indonesia sebenarnya jauh lebih 
maju dari demokrasi di AS. Alasannya, kata Hidayat, di AS tidak pernah ada 
presiden perempuan. Sedangkan, Indonesia pernah memiliki pengalaman itu di 
bawah kepemimpinan Mega. (pri/jpnn)

       
---------------------------------
Tonight's top picks. What will you watch tonight? Preview the hottest shows on 
Yahoo! TV.    

Kirim email ke